21 Desember 2008

Seni, Budaya, dan Pembangunan



 Jhon Mc Glynn

A. Pendahuluan
Sejak tahun 1998, Indonesia telah mengalami transisi bersejarah. Maka, tidak mengherankan jika di dalam masa transisi tersebut, banyak perubahan besar yang terjadi—termasuk penggantian pemerintahan beberapa kali, krisis ekonomi, munculnya kelompok-kelompok agama yang fundamentalis, peningkatan kesadaran terhadap hak otonomi daerah dlsb.

10 Desember 2008

Dialog Antar Tradisi

/Mudji Sutrisno/
1
Ada 3 tradisi yang membuat seseorang mengembangkan dirinya dalam
kebudayaan. Pertama, tradisi lisan. Ketika tuturan dan wacana serta yang umumnya
disebut diskursus menjadi tempat berekspresi, disitulah orang menyusun pengetahuan dan
menghayati norma atau nilai dalam etos ataupun estetika. Tradisi adalah ruang budaya
dimana ia merupakan rahim tempat belajar hidup, bersikap dan memaknai realitas dari
warisan yang diterima dalam pepatah, gurindam, peribahasa dan seni-seni bernafaskan
ajaran hidup baik dan hidup bahagia. Tradisi lisan merupakan ruang ekspresi lisan dan
wacana sebelum ditulis dalam tradisi tulisan. Dengan kata lain, kelisanan merupakan
ruang bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup bermakna sebelum
keberaksaraan dituliskan.

07 Desember 2008

Muda Balia: Still around to tell the tale

Hotli Simanjuntak, The Jakarta Post, Banda Aceh

With his sturdy build and skin darkened by hours toiling under the sun, Muda Balia looks more like a farmer than a storyteller. Muda, 29, who comes from Senebok Alur Buloh village in South Aceh, did work as a farmer for a while after returning to his village to take care of his sick mother.

06 Desember 2008

Pengembangan Tradisi Lisan Butuh Kreativitas




WAKATOBI, JUMAT--Pengembangan tradisi lisan perlu kreativitas dan imajinasi untuk melahirkan kreasi baru sehingga menarik minat masyarakat. Dengan demikian, tradisi lisan bisa menjadi penopang kehidupan.

17 November 2008

Tradisi Lisan Diabaikan

Punya Potensi Besar bagi Industri Kreatif


Jakarta, Kompas - Tradisi lisan saat ini masih diabaikan, baik dari sisi kajian ilmu pengetahuan maupun aspek ekonominya. Padahal, tradisi lisan warisan budaya bangsa Indonesia yang sangat beragam, mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dari sisi budaya maupun ekonomi.

”Tradisi lisan juga bernilai ekonomis bagi masyarakat,” kata Ahli Menteri Bidang Pranata Sosial Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sekaligus salah seorang Pembina Asosiasi Tradisi Lisan, Mukhlis PaEni, dalam jumpa pers yang diselenggarakan Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Sabtu (8/11) di Jakarta. Kegiatan itu terkait dengan penyelenggaraan Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara Ke-VI dan Festival Tradisi Lisan Maritim di Wakatobi pada 1-3 Desember 2008.

Menurut Mukhlis, pewarisan budaya berlaku sebagai proses sosial dan umumnya secara lisan, sebelum orang mengenal budaya tulis. Tradisi lisan antara lain narasi, legenda, anekdot, pantun, atau syair. Dalam cakupan lebih luas, tradisi lisan dapat berupa pembacaan sastra, visualisasi sastra dengan gerakan dan tari, hingga penyajian cerita melalui aktualisasi adegan oleh pemeran. Tradisi lisan juga berkaitan dengan sistem kognitif masyarakat, seperti adat istiadat, sejarah, etika, sistem geneologi, dan sistem pengetahuan.

Menurut Mukhlis, tradisi lisan merupakan deposit penting dalam khazanah tambang budaya Indonesia. Terdapat ratusan etnik dan budayanya di Tanah Air.

”Di era ekonomi dan industri kreatif, deposit ini seharusnya dikelola untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Sumber inspirasi

Mukhlis menambahkan, memasukkan tradisi sebagai bagian dari industri kreatif bukan berarti mentah-mentah mencabut tradisi itu dari akarnya dan ”menjualnya” atau mengomersialisasikannya begitu saja. Namun, tradisi lisan itu menjadi sumber inspirasi untuk penciptaan produk kreatif, misalnya musik, program televisi, film, teater, opera, dan produk lain yang mempunyai nilai ekonomis. Dapat pula dibuat semacam duplikasi yang khusus untuk industri kreatif. Dia mencontohkan naskah I La Galigo dari Makasar.

”Naskah tersebut pernah dijadikan pertunjukan oleh Robert Wilson dan dipentaskan di luar negeri. Untuk menonton I La Galigo, orang Indonesia harus nonton di teater di Amsterdam, Belanda, dan membayar puluhan euro,” ujarnya.

Memiliki nilai tambah

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Pudentia MPPS, mengatakan, pada intinya bagaimana tradisi lisan yang sangat kaya di Indonesia tersebut agar mempunyai nilai tambah dan kekuatan untuk masuk ke industri kreatif. Asosiasi Tradisi Lisan sendiri, setelah merevitalisasi sejumlah tradisi lisan, kini mulai memikirkan bagaimana agar tradisi lisan tersebut dapat terus teraktulisasi di dalam masyarakat dan memberikan nilai tambah.

”Terkadang setelah revitalisasi, tradisi tersebut tetap sulit untuk mendapatkan tempat di masyarakat dan dilupakan kembali,” ujar Pudentia.

Untuk itu, Asosiasi Tradisi Lisan mulai membuat sejumlah film, salah satunya tentang Teater Mak Yong, sebuah teater Melayu yang hampir punah. Lembaga nirlaba tersebut juga mengumpulkan ratusan hasil penelitian mengenai mitos, cerita daerah, kesenian tradisional, bahasa, kajian etnografi, dan komunikasi yang didokumentasikan lembaga tersebut.

Bupati Wakatobi Hugua, dalam kesempatan yang sama, berpendapat, tradisi lisan bagian dari eksistensi manusia. Kabupaten Wakatobi yang merupakan daerah kepulauan tidak hanya kaya akan alam bawah lautnya, tetapi juga budaya termasuk tradisi lisannya. (INE)
Sumber Kompas

10 Oktober 2008

SEMINAR INTERNASIONAL DAN FESTIVAL TRADISI LISAN NUSANTARA VI

LISAN VI

1.Latar Belakang
Salah satu kekayaan kultural masyarakat Indonesia sebagaimana sering diungkapkan orang, adalah apa yang biasa disebut intangible cultural heritage (ICH). Salah satu perwujudan ICH yang penting untuk diperhatikan adalah tradisi lisan. Sebagai produk kultural, tradisi lisan mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, yang disampaikan melalui tuturan dan sebagiannya ada yang kemudian diabadikan dalam naskah.
Sebagai produk kultural pula, tradisi bukanlah sesuatu yang statis tanpa perubahan dan perkembangan. Tradisi selalu mengalami transformasi seiring dengan dinamika sosial masyarakat itu sendiri, baik transformasi isi, bentuk, maupun keduanya dan berganti dengan tradisi yang baru yang dirasakan oleh masyarakatnya lebih cocok dengan situasi, kondisi , dan minat yang berlaku.

08 Oktober 2008

CERITA I DARAMATASIA SEBAGAI MEDIA AJARAN MORAL BAGI MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN

Oleh
DRA. DAFIRAH, M.HUM
Cerita I Daramatasia adalah salah satu cerita rakyat lisan yang ada di tengah-tengah masyarakat Sulawesi-Selatan. Cerita ini masih hidup hingga sekarang apalagi di daerah pelosok. Karya ini merupakan tergolong dalam cerita rakyata yang berbentuk Legenda keagamaan yaitu legenda mengenai orang-orang beriman.
Cerita Daramatasia di sosialisasikan ke dalam masyarakat Bugis melalui tuturan. Penuturan dilakukan oleh seorang atau lebih tukang tutur dan dihadiri atau didengar oleh sejumlah orang dari komunitas mereka. Masyarakat yang mendengar pelisanan cerita tersebut merasa terhibur dengan keindahan bahasa dan teknik penuturan yang biasanya dinyanyikan dengan lagu tertentu.

14 Agustus 2008

Festival: Nara and Kunama Oral Traditions Hosted for the First Time


Simon Mesfun , Aug 9, 2008


Nara and Kunama ethnic groups’ oral tradition was hosted at Expo Hall at the National Festival 2008 today Saturday 9, 2008. Oral tradition of the two ethnic groups was presented for the first time since the start of the oral traditions presentation in the National Festival in 2004.

Two senior oral tradition professionals from each ethnic group along with others presented their respective oral traditions to a large number of participants.

Pepaosan

Tradisi Lisan Masyarakat Lombok
Tembang merdu lantunan Purnifah memecah gumpalan kabut dan menghangatkan tubuh dari cengkraman dinginnya malam yang menyelimuti Sembalun Bumbung, desa hijau di kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Larik demi larik, dadanggula, sinom, dan pangkur terus berlanjut syahdu. Alunannya semakin malam kian memukau penonton; mereka terlena, hanyut dalam cengkukan-cengkukan guru lagu cerita “Jatiswara”.

05 Juli 2008

ASOSIASI TRADISI LISAN (ATL) or ORAL TRADITIONS ASSOCIATION




Background
ATL actually started from a project named Proyek Tradisi Lisan Nusantara (PLTN) or Indonesian Oral Traditions Project (OTP) in 1992. It was a collaborative work between the Dutch and the Indonesian governments with the support of The Ford Foundation, whose goal was to publicize and publish texts which were the outcome of oral traditions transcription. The project advanced, and three approaches were developed, i.e. science, documentation, and publication or performance.

01 Juli 2008

Mencermati Tradisi Lisan Dayak

Oleh Yohanes Supriyadi

Tradisi lisan adalah cerita dan non cerita yang dituturkan secara langsung oleh nenek moyang suku Dayak secara turun temurun. Tradisi lisan ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat Dayak, sebab dari tradisi lisan inilah dapat diketahui pemikiran, sikap, dan perilaku masyarakat Dayak. Selain itu dalam tradisi lisan ini mengandung filsafat, etika, moral, estetika, sejarah, seperangkat aturan adat, ajaran-ajaran agama asli Dayak, ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, serta hiburan rakyat. Bagi suku Dayak tradisi lisan menghubungkan generasi masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang.

29 Juni 2008

Sistem Multimedia dan Keberaksaraan

Oleh Riri Satria
Mana yang lebih disenangi? Membaca berita atau ulasan politik melalui surat kabar atau menonton talk show politik di televisi? Membaca novel atau menonton film? Jika ingin mengemukakan pendapat atau opini, jalan manakah yang akan pilih, menuliskan opini di media atau berkampanye bicara di sana sini? Jika Anda memilih membaca surat kabar atau novel, serta menulis opini, maka beruntunglah Anda karena sudah termasuk golongan masyarakat yang memiliki tradisi tulis atau beraksara.

Membangun Opera Batak Bersama PLOt

Oleh: Thompson Hs*
Orang Batak di wilayah Sumatera Utara sejak 1920-an sampai akhir 1980-an pasti masih mengenal seni pertunjukan Opera Batak. Gaya seni pertunjukan ini muncul dalam situasi transisi kebudayaan yang ditandai oleh upaya mempertahankan tradisi dan masuknya pengaruh dari luar. Unsur-unsur tradisi dalam Opera Batak dapat dikenal melalui instrumen musikal seperti taganing, ogung, hasapi, sarune, dan hesek. Ensambel musikal ini secara umum dikenal dengan gondang. Namun sebutan gondang itu juga dapat merujuk kepada suasana ritual dan jenis repertoar yang dimainkan. Apabila dikaitkan lagi dengan konteks ritualnya, gondang terbagi menjadi gondang sabangunan dan gondang uning-uningan. Gondang terakhir kelihatannya lebih menonjol penggunaannya dalam pertunjukan Opera Batak ditambah dengan seruling yang bernada diatonis dan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari tradisi asli Batak.

28 Juni 2008

Why the long face?

Native art exhibit hosted by Evergreen’s Longhouse Education, Cultural Center

by Paul Schrag
Jun 26, 2008

The Washington State History Museum and the Longhouse Education and Cultural Center at The Evergreen State College will host the third annual “In the Spirit Northwest Native Arts Market and Festival” June 28 and 29. Hosted at the History Museum, In the Spirit will showcase North American native culture as it moves into the new millennium, says curator Mellissa Parr, who characterizes artistic offerings such as Seneca artist Linley Logan’s Mosquito Mask as gifts rather than commodities. The values of the gifts, she says, are in their power to provoke feeling — awe, revulsion, elation — sometimes all at once. And while many arts festivals promise to move your soul, only to fall embarrassingly short, “In the Spirit” sounds like it just might deliver on its name.

“Artists are special people because they tell us what they see,” says Parr. “And you can relate to it or you don’t. If you relate, you can hate it or love it, but it makes you feel something. Then, sometimes, you see something that is beyond your conception, but it speaks to our soul.”
A quick description of Linley Logan’s Mosquito Man Feeding From Himself Out of Gluttony Mask will provide a clear picture of what Parr means. The simultaneous complexity, schism, holism and simplicity of the Mosquito Mask represents so many aspects of what “In the Spirit” is about — the gentle complexity of native cosmology, the colonization of native lands, the colonization of native consciousness, the struggle to conserve tradition while emerging with the world — all these themes are nested within the work of Logan and other artists.

Logan describes his contribution — a mask of the archetypal Mosquito Man crafted from materials ranging from grass to plastic cowboys and Indians — as a meditation on the duality that emerges as concepts are filtered through native oral traditions. The Mosquito Man emerges in oral traditions on both coasts, despite physical separation by thousands of miles. The archetypal story of the Mosquito Man — its form anyway — emerges in dozens of other traditions as well, beginning with the story of Tiamat, the great dragon of Babylonian mythology, who is slain by the warrior Marduk, her body becoming the universe we live in.
In Haudenosaunee oral traditions, the meta-story emerges as a giant mosquito who feeds on the blood of the bodies of humans, killing entire villages full of people. Warriors set out to destroy the mosquito, hunting it down and hacking the dead monster’s body into tiny pieces. From the blood of the giant mosquito small swarms of insects emerge — mosquitoes, which continue to feed on human blood. Pacific Northwest natives tell the story of the Dzoonekgwa, a cannibal man-monster who stole children and ate human flesh. When Dzoonekgwa was finally killed, his body was burned in a bonfire, the sparks of his burning body giving birth to mosquitoes who carry on the cannibal’s work on a smaller scale.

The construction of the Mosquito Mask, and the materials used, reveal further layers upon layers, upon layers …

The red frame of the mast represents the Southeast Alaskan and Northwest coast dance robe border, the red ribbon border incorporated in Haudenosaunee clothing encloses the face and Mosquito figure as if in a coffin. The grass headdress represents the home of the mosquitoes, and red forks represent both the antennae of the mosquito and the pointed, needle-like utensils that many humans use to devour their food. The Mosquito Man’s headdress, made from plastic Indians and cowboys, elucidates the continual battle waged with mosquitoes today, as well as the Mosquito Man’s coupe — bites symbolizing the insect’s success in battle. The plastic men also represent stereotypes that native peoples are challenged to escape and survive.

Like the blood drained by the mosquito, “We seem to be swallowed up by the dominant stereotypes that typecast who we are as a people,” says Logan.

Red bottle caps signify deer hooves used to make traditional leggings and rattles used during sacred dance. Metal tobacco can lids supplant shells and other natural trinkets used to create bangled, traditional women’s dresses. Logan uses seemingly tawdry materials as substitutes as “an artistic statement of our (native people’s) static culture in a contemporary environment of survival.”

Is your soul stirring yet?

The “In the Spirit Arts Market & Festival” will feature works and demonstrations by Northwest carvers, printmakers, weavers and bead artists, to name a few. Native singers, musicians, dance groups will perform throughout the weekend, and specialty food vendors will offer native cuisine. A special collector’s seminar and art appraisal will help patrons select and collect quality native artworks. All outdoors festival activities are free.

[Washington State History Museum, In the Spirit: Contemporary Northwest Native Arts Market & Festival, 10 a.m.-5 p.m., June 28, noon to 5 p.m., June 29, 1911 Pacific Ave., Tacoma, 253.272.3500, outdoor events free]

08 Juni 2008

Wayang Citra


Ingsung miwiti andhalang
Wayang ingsun minangka citra
Layarmaya jagat pramudhita
Ingsun ki dhalangmaya
Pirantiningsun multimedia

27 April 2008

Kesenimanan dalam revitalisasi kesenian

Oleh Rahayu Supanggah


Keprihatinan terhadap kehidupan seni (tradisional) oral yang semkin hari semakin meredup telah menggugah hasrat dari berbagai fihak untuk melakukan kegiatan revitalisasi kesenian. Kegiatan tersebut telah menghabiskan tenaga, waktu, pemikiran dan dana yang luar biasa. Berbagai jenis kegiatan revitalisasi telah dilakukan oleh berbagai fihak, dengan hasil yang bervariasi. Beberapa diantaranya berhasil, namun sebagian besar kegiatan revitalisasi belum menujukkan hasil yang memuaskan. Masalah revitalisasi kesenian memang bukan maslah yang sederhana. Ketersediaan fasilitas dan dana yang melimpah belum menjamin keberhasilan dari usaha revitalisasi. Masalah kehidupan kesenian, termasuk kesenian tradisi memang kompleks. Seperti kita ketahui bersama bahwa masalah kesenian bukan semata mata masalah estetik belaka, tetapi juga masalah yang lebih luas, social, budaya dan yang lainnya. Kehidupan kesenian sangat tergantung pada masyarakat dan lingkungannya. Ketika situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya berubah dari waktu ke waktu, kehidupan kesenian kemungkinan besar juga mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat dan lingkungannya. Berikut ini adalah hanya salah satu contoh kasus perubahan social tersebut, yang dampaknya cukup besar terhadap perkembangan kehidupan kesenian tradisional.

Mulai beberapa decade belakangan ini, pola hidup masyarakat kampung mengalami perubahan yang signifikan sehubungan dengan adanya perubahan disain hunian dan lingkungan mereka. Perubahan pola hidup tersebut antara lain dapat dilihat pada perubahan pola kehidupan kampung yang bergeser ke pola kehidupan perumnas, real estate, apartemen dan atau kondominium. Selain konsep ruang yang berubah, - relatif menjadi lebih sempit dan tertutup-, juga penduduknya menjadi semakin heterogen, baik dilihat dari asal etnik, daerah, pendidikan, pekerjaan dan tingkat kemampuan ekonomi mereka. Kebutuhan, kepentingan dan selera mereka juga sangat bervariasi. Sungguh suatu kondisi yang kurang menguntungkan bagi kehidupan kesenian tradisional yang biasanya didukung oleh masyarakat yang relatif homogen, masyarakat yang memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama. Pencukupan kebutuhan dan kepentingan tersebut dilakoni bersama dengan cara bekerja sama. Kesenian tradisional hadir dan diperlukan dalam hampir setiap kegiatan, pekerjaan dan untuk kepentingan mereka : bekerja, bersyukur, beragama, bersenang senang maupun dalam duka (sakit atau bahkan mati). Bukan satu hal yang baru bahwa masyarakat menjadi lebih individual, dalam bermain, bekerja maupun dalam memilih hiburan dan atau kesenian.

Dalam persaingan global seperti sekarang ini, kesenian yang memiliki akses yang lebih baik pada masyarakat, cenderung untuk mendapat kesempatan lebih baik untuk dikenal, dikonsumsi dan pada gilirannya bahkan mendominasi kesenian yang lain. Kesenian yang memiliki akses yang baik adalah kesenian yang mengusai (atau yang dikuasai) media dan atau industri. Kesenian jenis ini aktif mendatangi rumah rumah (kita) bahkan kamar kamar kita lewat radio, televisi maupun produk (industri) rekaman. Selera masyarakat dibentuk oleh industri dengan berbagai cara: system bintang, top twenty, gossip seniman, sms, kuis berhadiah, dan sebagainya. Tidak penting apakah kesenian tersebut “bermutu” berguna bagi masyarakat tertentu atau tidak. Apa yang bisa laku dijual, dijuallah mereka: pornografi, kekerasan, hura hura, aneh aneh, bukan masalah. Kesenian yang tidak masuk dalam selera produser industri sulit mendapat tempat di pasar, - masyarakat baru yang dibentuk oleh industri. Terjadilah jarak antara kesenian tradisi dengan masyaratnya yang baru. Kesenian tradisi dalam bentuknya yang “asli” semakin kehilangan masyarakat yang mendukungnya,

Melihat kesenjangan masyarakat terhadap kesenian tradisional seperti itu, berbagai pihak sekarang ini semakin tergerak hatinya untuk melakukan revitalisasi terhadap kehidupan kesenian kesenian yang dianggap kehidupannya dalam keadaan bahaya. Kesenian yang mulai “kehilangan” masyarakatnya karena kesenian tersebut telah kehilangan fungsinya di masyarakat. Berbagai kegiatan revitalisasi kesenian yang telah dilakukan antara lain dalam bentuk :

  1. Rekonstruksi. Kegiatan ini biasanya dilakukan terutama untuk kesenian kesenian yang sudah hilang dari peredaran, namun oleh (beberapa) pihak tertentu dianggap masih punya peluang bahkan potensial untuk dihidupkan dan digiatkan kembali. Selain kesenian ini dianggap penting karena memiliki nilai yang berguna bagi masyarakat, revitalisasi juga masih mungkin dilakukan karena ditunjang oleh masih tersedianya informasi yang mendukung untuk dilakukan revitalisasi. Informasi tersebut baik dalam bentuk tertulis seperti naskah, lontar, manuskrip atau karya (karya) sastra lainnya ataupun informasi oral dalam berbagai bentuk, berkat masih adanya nara sumber atau pelaku seni yang masih hidup masih bisa didapati.

Beberapa jenis tari bedhaya dan Srimpi misalnya, sampai tahun 1970-an sudah banyak yang tinggal namanya saja, namun ujud tari dan musiknya sudah tidak dapat dilihat atau didengar lagi. Beberapa teks cakepan atau syair bedhaya srimpi kebetulan masih dapat didapati pada beberapa naskah, seperti serat Sindhen Bedhaya atau catatan/manuskrip koleksi pribadi. Ditunjang oleh beberapa informasi dari seniman/anggota masyarakat berusia lanjut atau nara nara sumber lain yang ada hubungannya dengan tari bedhaya srimpi, maka dicobalah untuk disusun kembali tarian yang hilang tersebut menurut tafsir sang koreografer dan atau komposer, menjadi Bedhaya “baru” (dengan ujud yang dianggap sama dengan bedhaya srimpi yang telah hilang), disertai dengan pertanggungan jawab “akademis” atau alasan yang mapan yang didasari oleh studi atau penelitian yang mendalam. Bedhaya La-la adalah salah satu contoh bentuk revitalisasi yang dilakukan oleh Akademi Seni Karawitan Indonesia dan Pusat Kesenian Jawa Tengah di Surakarta pada tahun 70-an yang cukup berhasil sehingga sampai saat ini bedhaya La-la telah menjadi bagian dari repertoar bedhaya-srimpi pada umumnya dan sampai sekarang cukup sering dipentaskan. Akhir akhir ini ISI Yogyakarta juga melakukan rekonstruksi bedhaya Semang, salah satu bedhaya yang paling tinggi kelasnya dalam repertoar bedhaya srimpi di lingkungan Kasultanan Jogyakarta (sejajar dengan bedhaya Ketawang di kraton Kasunanan Surakarta), bedhaya yang dianggap paling sakral, digunakan pada upacara jumenengan, ulang tahun naik tahta Sultan Hamengku Buwana.

  1. Re-fungsionalisasi, yaitu menambah, mengembangkan, mengganti atau memberi fungsi yang baru terhadap kesenian yang direvitalisi, sehubungan dengan aktivitas lama yang biasanya menggunakan jasa kesenian yang dimaksud, sudah tidak eksis atau tidak berlangsung lagi. Refungsionalisai yang sering dilakukan adalah mengembangkan, menambah atau mengubah fungsinya yang lama dengan fungsinya yang baru. Contoh seperti kesenian yang dulunya digunakan sebagai bagian dari kegiatan upacara, nyanyian untuk kerja, kemudian ditambah atau berubah menjadi seni pertunjukan, komoditas ekonomi atau pariwisata, sarana hiburan dan atau memenuhi fungsi terapan lainnya seperti sebagai alat promosi suatu produk dan atau kampanye suatu program atau tujuan lain dari suatu lembaga tertentu. Ketika terjadi refungsionalisasi kesenian, biasanya terjadi :
  1. Re-presentasi, artinya menyajikan kembali, baik dalam frekwensi maupun dalam ujud, forum atau konteks yang bervariasi. Sebagai contoh adalah peristiwa festival kesenian yang sampai saat ini diselenggarakan dimana mana dengan mementaskan beberapa jenis seni rakyat maupun tradisional. Maksud baik untuk mengenalkan atau “mengangkat” kesenian ini kemasyarakat yang lebih luas justru sering kontraproduktif karena “salah” letak. Banyak seniman kesenian rakyat dan atau tradisional yang kemudian justru menjadi disoriented, asing terhadap tempatnya yang baru. Sebagai contoh adalah seni tayub yang dipentaskan di atas panggung prosenium atau sintren dipentaskan di istana Negara.
  1. Re-formasi, yaitu perubahan format atau bentuk penyajian kesenian dari yang lama ke bentuknya yang baru, yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, selera, waktu dan tempatnya yang baru. Isi, makna dan massage/pesan yang ingin disampaikan oleh kesenian yang di-reformasi kemungkinan bisa juga berubah. Pemahaman tentang esensi dari suatu kesenian tetap menjadi hal yang sangat penting sehingga dalam melakukan re-formasi tidak menjadikan sebuah kesenian kehilangan maknanya. Retno Maruti adalah salah satu contoh seniman yang konsisten membuat karya yang sifatnya re-formasi dengan genre bedhaya yang digunakan sebagai titik tolak koreografinya. Selain tetap menggunakan vokabuler dan kekayaan lama, koreografer juga memperluas, memperkaya karyanya dengan menggunakan unsure unsure budhaya baru, ciptaan baru maupun yang “dipinjam” dari budaya luar, sehingga tercipta bentuknya yang baru. Dalam kasus bedhaya misalnya, tari ini merupakan bentuk drama tari yang sangat abstract, oleh Retno Maruti diubah formatnya, selain menjadi lebih besar dengan jumlah penari yang lebih banyak, juga disertai dengan dialog dialog tembang.
  1. Re-interpretasi, yaitu memberi tafsir atau memberi makna baru terhadap suatu fenomena penyajian kesenian atau terhadap unsur ekspresi yang digunakan dalam kesenian tersebut. Seperti kita ketahui bahwa karya kesenian bersifat multi tafsir. Penonton/pendengar boleh dan syah dalam menafsirkan ekspresi seni dari suatu karya seni. Demikian juga, pada pihak seniman juga tersedia kebebasan (secara tanggung jawab) dalam menggunakan unsur unsur kesenian sebagai lambang atau simbol pemaknaan tertentu dalam rangka menyampaikan pesan terhadap penonton/pendengar.
  1. Re-orientasi. Kesenian tradisional kehadirannya hampir selalu tidak mandiri, namun hampir selalu terkait dengan kegiatan keseharian masyarakat, keagamaan atau kerajaan. Pemerintah adalah patron utama. Ketika pemerintahan bergeser dari monarki ke republik, orientasi kesenianpun bergeser mengarah patronnya yang baru. ketika ekonomi dan industri menjadi patron baru dari kesenian, tak pelak kesenian juga akan berorientasi kesana. Orientasi kesenian tersebut tersirat dalam pesan pesan yang disampaikan oleh seniman seniman melalui kekaryaanya. Dalam kasus karawitan Jawa misalnya, karya karya gendhing pada pasca kemerdekan lebih banyak berubah orientasi dari ke raja bergeser ke republik. Gening gendhing karya Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda memberi contoh contoh perubahan orientasi tersebut.
  1. Re-kreasi, yaitu membuat atau meng-create lagi sesuatu yang (sama sekali) baru. Kesenian atau informasi lama digunakan sebagai sumber, pijakan atau titik tolak untuk penciptaan kesenian yang baru, baik dalam format maupun dalam genre. Idiom ungkap kesenian baru juga sangat dipertimbangkan kalau bukannya penting untuk diciptakan. Dalam produksi kekaryaan seni, pekerjaan ini sering disebut sebagai karya yang dibuat base on atau inspired by sesuatu yang dirujuk sebagai pijakan pembuatan karya seni yang baru. Versi baru (new version) juga sering digunakan dalam kegiatan re – kreasi kesenian ini. beberapa contoh karya re-kreasi dapat disebut disini adalah wayang ceng blong Bali. Karya seperti I La Galigo bisa disebut juga sebagai karya re-kreasi. Demikian pula karya karya kolaborasi kesenian antar bangsa tidak sedikit yang bersifat sebagai karya re – kreasi. LEAR, oleh Ong Keng Sen dan the Japan Foundation, RUN karya Akira Kurusawa, dan sebagainya.

Langkah langkah yang disebut diatas merupakan sesuatu yang dapat dan biasa dilakukan oleh berbagai pihak yang melakukan revitalisasi: lembaga pemerintah, swasta, juga seniman baik praktisi maupun pencipta. Bagaimana tentang hasil yang diperoleh ? Sangat bervariasi, dari yang berhasil sampai yang gagal. Kekurang berhasilan revitalisasi kesenian, - ibarat menyembuhkan penyakit -, selain belum menemukan cara remedi revaitalisasi yang cocok-, adalah satu hal yang lebih penting, yaitu belum banyak pihak yang melakukan diagnosa penyebab kesenian tertentu menjadi sakit.

Seperti pada awal tulisan ini kami sebut sebelumnya bahwa masalah utama mengapa suatu jenis kesenian ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya adalah karena lebarnya jarak (kesenjangan) antara kesenian dengan masyarakatnya. Jarak tersebut meliputi :

  1. Jarak fisik. Sepertitelah disebut sebelumnya bahwa sekarang ini terdapat perubahan paradigma dalam cara menikmati, menonton atau mendengarkan kesenian. Sekarang ini kesenian cenderung mendatangai konsumennya, penonton atau pendengar (sampai masuk ke dalam kamar, kekantor kantor atau di mana saja konsumen berada, lewat mesin berjalan dalam bentuk cd/dvd/audio walkman, maupun lewat media cetak dan atau elektronik. Hal yang berbeda dengan cara menikmati kesenian pada masa sebelumnya yang penonton/pendengar mesti datang ke tempat diselenggarakannya pertunjukan atau pameran kesenian dengan atau tanpa membayar tiket. Harus diakui bahwa sampai saat ini masih susah didapati rekaman audio visual tentang kesenian tradisi yang tersedia di pasar maupun yang ada di perpustakaan dan dokumentasi audio visual.
  1. Jarak intelektual. Walaupun kesenian pada dasarnya multi interpretasi, artinya, orang boleh memberi tafsir yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Atau dalam pengertian yang lebih ekstrem orang tidak perlu mengerti atau memahami dalam menonton/ mendengarkan karya seni, tetapi lebih pada merasakan, menikmati atau menghayati suatu karya seni. Namun perlu dicatat juga bahwa semakin baik pemahaman seseorang terhadap suatu ekspresi seni, ia akan dapat menghayati suatu kesenian dengan lebih baik pula. Kesenian pada dasarnya merupakan sarana komunikasi antara seniman dan penghayatnya. Terdapat beberapa bahasa atau idiom tertentu yang digunakan oleh seniman untuk menyampaikan pesan kepada khalayaknya. Kemampuan intelektual dalam kadar dan bentuk tertentu dari kedua belah pihak, terutama pada pihak seniman sangat penting dalam menciptakan dan atau menjembatani komunikasi antara kedua belah pihak. Untuk seniman, terutama pencipta, kemampuan intelektual sangat menunjang dalam kreativitas kekaryaannya. Perkembangan jaman yang cepat seperti yang terjadi sekarang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi sangat besar peran dan pengaruhnya terhadap dunia kesenian, baik untuk menunjang bentuk dan kwalitas kekaryaan, juga dalam rangka pengambangan kesenian. Teknologi pencahayaan, set maupun tata suara merupakan salah satu contoh kebutuhan yang hampir tidak dapat dipisahkan dalam penyajian penyajian kesenian. Sedangkan diseminasi, alih kemampuan dan ketrampilan, sosialisasi, publikasi, dokumentasi, pemasaran kesenian dan sebagainya, bantuan produk teknologi jelas sangat dibutuhkan.

Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian terbesar dari pendukung kesenian tradisional di Indonesia pada umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Meskipun belum ada hasil penelitian yang menyebut adanya korelasi sejajar atau seiring, bahwa tingkat pendidikan seseorang selalu mencerminkan tingkat intelektualitas seseorang. Namun tidak dipungkiri bahwa pendidikan sangat besar perannya dalam mengasah kemampuan intelektual dari seseorang. Dengan bekal pengetahuan yang lebih tinggi dan atau luas, seseorang juga berepotensi untuk lebih cerdas dalam menggunakan berbagai cara dalam memberi, menerima dan mengelola (me-manage) informasi.

  1. Jarak informasi. Ketika kita berada dalam abad informasi, siapa yang paling menguasai informasi, mereka pulalah yang paling potensial untuk menguasai dunia. Sayangnya lagi, masyarakat kesenian tradisional masih jauh dari menguasai teknologi informasi dan komunikasi disebabkan oleh tingkat pendidikannya. Sebagian besar dari mereka masih gagap teknologi komunikasi dan informasi. Sebagian besar dari mereka menggunakan komunikasi lesan dalam memberikan atau menerima informasi. Sedangkan ajang pertukaran informasi, termasuk mengenai informasi tentang eveny dan terutama informasi tentang kesenian itu sendiri, seperti pasar tradisional, upacara, hajadan dan berbagai pertemuan keluarga atau masyarakat, saat ini juga semakin surut. Supermarket, EO (event organiser) telah mengambil alih kerepotan hajatan atau kerja kebersamaan antar anggota masyarakat dalam menyiapkan dan menyelenggarakan hajadan. Demikian pula acara kumpul kumpul bareng. Hajadan keluarga saat ini juga cenderung makin ringkas, praktis dan pendek. kesempatan tukar informasi antar anggota masyarakat dengan demikin menjadi semakin menyempit. Media masa, tulis maupun elektronis, juga tidak berpihak kepada kesenian tradisonal karena dianggap tidak memiliki nilai jual, sehingga masyarakat pada umumnya kurang mendapat informasi yang baik dan benar tentang kesenian tradisi. Sebaliknya informasi tentang dunia seni pop atau hiburan justru sangat meruah kalau bukannya berlebihan.
  1. Jarak emosional. Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu berlaku juga dalam kaitannya dengan kehidupan seni tradional. Kesenjangan informasi tentang dunia kesenian tradisi, menjadikan masyarakat semakin tidak tahu tentang kesenian tradisional. Apalagi secara natural, kekuatan kesenian ini bukan semata mata pada ujud fisiknya saja yang menarik atau indah, namun lebih pada makna yang terkandung pada kesenian yang bersangkutan serta guna dan manfaatnya bagi masyarakat. Beberapa makna dan guna kesenian itu antara lain dapat disebuit bahwa kesenian bermanfaat sebagai perekat kehidupan masyarakat, sarana edukasi moral, mendekatkan manusia dengan lingkungan serta penciptanya dan sebagainya.

Komunikasi dalam kesenian, - sekali lagi-, sangat penting untuk mendekatkan anggota masyarakat dengan sesama, dengan lingkungan maupun kepada Sang Pencipta. Komunikasi kesenian menggunakan bahasa lambang yang kadang “hanya” berlaku dan dimengerti oleh lingkungan (kelompok) masyarakat pendukung kesenian ini. Pengertian terhadap pemaknaan lambang pada kesenian tradisi ini semakin menipis karena pertemuan dan komunikasi antar anggota keluarga dan masyarakat juga semakin berkurang karena perubahan pola hidup. Diantara anggota keluarga sudah semakin jarang ketemu karena kesibukan masingh masing disamping tidak tersedianya space dan forum. Dongeng oleh orang tua untuk menidurkan anak sudah semakin langka. Kesenjangan pengertian ini sekali lagi menjadikan orang menjadi kurang sayang, kurang mencintai, kurang memiliki rasa memiliki (sense of belonging) dan dengan demikian menjadi kurang peduli dan tanggung jawab untuk memelihara atau mengembangkan kehidupan kesenian tradisional. Pada masa sebalumnya, masyarakat adalah pencipta, pelaku, pengguna sekaligus pemilik dari kesenian tradisi. Masyarakat dengan tulus dan ikhlas, berkenan menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan beaya demi mendukung keberadaan serta pengembangan kesenian mereka. Kebutuhan sekaligus dukungan masyarakat terhadap keseniannya dengan demikian dilandasi oleh rasa cinta, tanggung jawab, rasa memiliki, dedikasi dan komitmen yang tinggi, termasuk berbagai pengorbanan dalam berbagai hal, waktu, tenaga, pikiran dan dana.

Kesenjangan jarak jarak antara masyarakat dengan beberapa jenis kesenian yang semakin hari semakin lebar tersebut, sebenarnyalah merupakan salah satu penyebab pokok mengapa beberapa jenis kesenian menjadi surut bahkan mati. Dengan demikian, menurut hemat kami, revitalisasi kesenian diharapkan akan berhasil jika kita, pemerintah, masyarakat, seniman, sponsor, media dan berbagai pihak lainnya bekerja sama untuk mempersemit atau mengilimasi jarak jarak tersebut. Masing masing pihak bisa mengambil bagian sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Banyak uang dan fasilitas belum cukup untuk keberhasilan hajadan revitalisasi kesenian.

Seniman sebagai pelaku dan pencipta seni dapat mengambil peran yang cukup besar dalam hajadan revitalisasi, terutama melalui kegiatan kreatifnya dengan melakukan kegiatan kegiatan re-formasi, - memberi format baru -, re-interpretasi, - memberi makna baru terhadap kesenian yang sama -, serta re-kreatifnya, yaitu menciptakan bentuk kesenian baru berbasis dan atau dengan menggunakan materi lama dalam genre kesenian yang baru. Bersama dengan pihak lain yang merupakan partner kerja dalam hajadan ini, saling bekerja sama dengan mengilimasi kesenjangan jarak tersebut. Dengan membuat kesenian lebih indah dan bermakna, mudah mudahan kesenian makin memiliki fungsi yang makin luas sehingga lebih berguna bagi kemaslahatan manusia. Kesenian selain memberi hiburan lahiriah dan batiniah, ia juga mmampu memberi kebanggaan terhadap masyarakat atau bangsa yang menghidupinya, karena ia memang mampu merefleksikan sifat masyarakat tertentu dalam bentuk sebuah kemasan seni yang artistic dan bermutu.

03 April 2008

Akhirnya Penghargaan itu diserahkan di Palembang

Palembang, tradisi lisan. Dua seniman senior Sumatera Selatan, Saidi Kamaluddin dan Sahilin, Rabu, 2 Maret 2008 bertempat di ruang rapat Kadin Budpar Sumatera Selatan akhirnya menerima penghargaan Maestro Tradisi dari Menbudpar RI, Jaro Wacik yang diserahkan oleh Kepala Dinas Budpar Sumatera Selatan, Ir. Rachman Zeth, MSi dan Budi Priadi, Direktur Pembangunan Bangsa Depbudpar RI.
Penghargaan berupa piagam, plakat, dan uang sebesar Rp. 7.500.000.- masing-masing diterima langsung oleh kedua seniman senior itu. Penyerahan penghargaan tersebut memang terkesan sederhana tanpa dihadiri undangan khusus.
Seyogianya penyerahan penghargaan maestro itu direncanakan di Istana Bogor bulan lalu oleh Presiden RI. Namun sayangnya acara itu ditunda sampai pada akhirnya lima hari lalu kedua seniman menerima surat pemberitahuan dan Surat Keputusan dari Depbudpar RI.
Saidi Kamaluudin menilai sayang sekali penyerahan penghargaan itu tidak mengambil waktu yang khusus dan mengundang para seniman, budayawan dan wartawan. Di sisi lain, Rahman Zeth akan mengusahakan untuk mengulang acara penyerahan penghargaan yang langsung diserahkan oleh Gubernur Sumatera Selatan. "Saya belum bisa janjikan waktunya, karena kita harus lihat dulu jadwal gubernur, " kata Rachman Zeth. /A1/

24 Maret 2008

Berita Gambar

Tumpengan: DR. Pudentia bersama seorang tokoh tradisi lisan memotong tumpeng ulang tahun ke 10 ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) di apartemen Aston, Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Menurut Al-Azhar dari Riau, sedikit sekali LSM yang bergerak di bidang tradisi (budaya) yang memiliki nafas panjang. "Kita bersyukur bahwa ATL sampai hari ini (10 Desember 2007) masih eksis di tengah krisis ekonomi dan budaya," kata pria brewok itu.

22 Maret 2008

Artikel (2)

Menghidupi Tradisi Literasi:
Problematika bagi Siswa, Guru, Sekolah, dan Negara
Oleh Wachid Eko Purwanto*

Prof. Leo Fay (1980), mantan presiden International Reading Asociation (IRA) pernah meyakinkan para koleganya dengan sebuah kalimat ringkas, to read is to prossess a power for transcending whatever physical human can muster.
Di Indonesia, faktor yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan membaca adalah, pertama, tradisi kelisanan (orality) yang secara historis-kultural masyarakat kita menyimpan warisan budaya lisan atau budaya tutur yang hampir-hampir telah memfosil. Berapa abad saja kita pernah kehilangan momentum literasi disebabkan masyarakat tempo dulu lebih memanjakan tradisi lisan (omong-dengar) dari pada tradisi literasi (baca tulis). Baru sekitar paruh abad VIII tradisi kita mengenal budaya literasi sebagai persinggungan dengan budaya Hindu, Budha, dan Islam. Itu pun baru menyentuh segelintir golongan, seperti elit kerajaan dan agamawan. Pada paruh abad XIX tradisi literasi berkembang; bersinggungan dengan para priyayi.
Bersamaan dengan itu, lembaga pendidikan kolonial Belanda menyebarluaskan lebih merata, hingga akhirnya setelah kemerdekaan, sekolah-sekolah bangsa kita meneruskan tradisi baca-tulis tersebut kepada masyarakat umum. Dapat diperhitungkan, persinggungan budaya literasi masyarakat kita bisa diibaratkan sebagaimana bocah yang sedang belajar berjalan. Bandingkan dengan catatan sejarah bangsa lain, Jepang misalnya, memerlukan satu abad untuk membentuk tradisi literasi, yakni saat dimulainya Restorasi Meiji. Pada zaman tersebut Jepang melakukan kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi secara besar-besaran. Negara itu juga mengupayakan budaya literasi kepada masyarakatnya. Pada saat itu Jepang bukanlah negara yang ‘diperhitungkan’ bangsa-bangsa lain, namun sekarang telah terbukti negara Matahari Terbit itu menjelma raksasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, akibat sistem persekolahan kita yang kurang memberi peluang bagi tradisi literasi kepada peserta didik. Sampai saat ini model pengajaran di kelas pada umumnya masih bersandar pada tataran lisan sang guru. Guru menjadi terlalu banyak bicara, sedangkan siswa terlalu sukar menjadi pendengar. Berbagai pendekatan pendidikan yang selayaknya mensyaratkan hadirnya tradisi literasi lebih banyak dilakukan dalam perspektif kelisanan. Para guru, maaf, pada umumnya jarang menjadikan kegiatan membaca sebagai frame of reference (kerangka berpijak) pembelajaran yang ia lakukan kepada para siswa. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof Ahmad Slamet Harjasujana; manusia-manusia yang dihasilkan oleh persekolahan kita masih merupakan masyarakat aliterat, yakni manusia-manusia yang bisa membaca namun lebih memilih untuk tidak membaca. Dikarenakan kegiatan membaca hanya sekedar kegiatan yang tidak mendapat penekanan utama dalam dunia pendidikan kita.
International Achievment Education Asociation (IAEA) sebagai salah satu badan UNESCO pernah membuat laporan penelitian di negara-negara yang anak-anaknya memiliki minat dan keterampilan baca yang baik, misal Amerika, Finlandia, dan negara-negara Eropa, pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai akses mudah dalam mendapatkan bermacam bacaan berkualitas, baik di perpustakaan sekolah maupun di rumah. Penelitian yang pernah dipublikaskan sekitar tahun 1988 tersebut betapa membikin sedih, bahwa pada penelitian ini, anak-anak Indonesia menduduki peringkat ke 29 dari 30 negara yang menjadi sampel. Tampaknya, sesudah hampir duapuluh tahun negara kita tercinta masih belum beranjak dari kedudukan miris ini, sebagaimana yang disitir Taufik Ismail, kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan memalukan, ke seratus sekian dari negara-negara lain.
Lantas, apakah kita harus terus menyalahkan ‘dosa asal’ yang dilakukan oleh nenek moyang kita dalam memanjakan tradisi lisan? Tentu sudah tidak pada tempatnya, sebab sekaranglah waktunya berbenah jika tidak mau merasakan ketertinggalan yang lebih parah. Kita bisa mulai dari langkah sederhana dengan memahami bahwa kemahiran membaca adalah conditio sine quanon, prasyarat mutlak bagi setiap manusia yang ingin memperoleh kemajuan. Sebuah contoh peristiwa mungkin akan lebih menguatkan, sebutlah misalnya seorang Hartoonian, salah satu politikus AS yang pernah diwawancarai oleh seorang wartawan perihal apa yang harus dilakukan oleh bangsa Amerika untuk mempertahankan supremasinya. Jawaban yang tidak disangka dari Hoortanian, if we want to be a super power we must have individuals with much higher levels of literacy. Wow, bukankah tradisi literasi adalah sesuatu yang sangat luar biasa, bisa mengantarkan masyarakatnya memegang kekuasaan adidaya?
Saat ini, hal perlu menjadi fokus perhatian adalah masihkah bangsa kita belum juga sadar pentingnya budaya literasi? Sebagian orang di belahan negara lain sudah bisa berangkat wisata ke bulan, sebagian masyarakat kita masih terheran-heran dengan perangkat komputer. Sebagian yang lain berangan-angan, bagaimana caranya bisa membeli ponsel bekas. Akan tetapi, jarang yang mempunyai pikiran, bagaimana negara kita bisa menciptakan pesawat terbang yang lebih nyaman atau minimal membuat kendaraan sendiri tanpa mengimpor suku cadang. Bukankah suatu negara yang menguasai teknologi tertentu, apalagi dengan menjadikannya hak paten bisa membuat tambang yang tidak habis-habis menghasilkan keuntungan?
Boleh saja, saat ini kita berkata beruntung; kekayaan alam masih melimpah, tapi entah dua-tiga-empat generasi mendatang. Saat ini, bahkan di semua wilayah tambang bumi, masyarakatnya hanya menjadi buruh kasar. Anehnya, mereka merasa bangga memakai seragam perusahaan asing, juga upah yang tidak seberapa dibanding penghasilan investornya. Lebih parah lagi, buruh kerja tambang ini sebagian besar usia sekolah. Mereka tidak ingin sekolah dikarenakan sebagian teman sebaya dan tetangga yang pernah mencicipi sekolah lebih tinggi tidak bekerja ketika pulang kampung selain menjadi buruh kasar tambang. “Lalu, apa bedanya sekolah dengan tidak sekolah?” Itulah pendapat kasar yang sebagian besar dibenarkan oleh keadaan.
Di sinilah sesungguhnya sekolah dituntut peran strategisnya. Sekolah merupakan lembaga legal-formal yang sengaja diadakan pemerintah untuk mencapai target-target pendidikan tertentu. Akan tetapi, sampai detik ini jikalau mau jujur, kurikulum pendidikan di negara kita, saya percaya, masih belum sepenuhnya dapat dipercaya. Kurikulum kita memang berupaya mati-matian mengangkat anak-anak didiknya dari kebodohan, minimal bebas buta aksara, namun di sisi lain tidak juga mengupayakan kecerdasan. Hasilnya, sekolah-sekolah kita magel, dalam istilah Jawa tidak mentah tetapi tidak juga bisa matang. Apabila magel terjadi pada buah-buahan, maka pantasnya cuma dibuang!
Perhatikan kurikulum kita, bukankah tampaknya kurikulum ini lebih senang membebani para pekerja pendidikan dan peserta didiknya dengan tugas-tugas untuk sekedar meraih target nilai yang ditetapkan dari atas sana daripada membuat mereka merasa senang, nyaman, dan selalu kehausan berbagi dan menuntut ilmu? Memang benar, target nilai akan selalu dibutuhkan, namun perlu juga diingat bahwa pemenuhan target nilai bukan satu-satunya kewajiban pertama dan utama sekolah. Saat ini di beberapa wilayah target nilai malah menjadi masalah baru, lebih lagi apabila seorang gubernur atau bupati sudah menargetkan wilayahnya lulus 100%. Bisa dipastikan yang akan tertimpa abu panas adalah para kepala sekolah dan guru. Pekerja pendidikan bakal pontang-panting menyulap nilai peserta didiknya.
Dilihat dari sudut pandang lain, selama ini target nilai telah menjelma menjadi hantu menakutkan bagi siswa, bukannya pendorong semangat belajar. Lantas, apa yang salah? Hal yang perlu dibenahi adalah tradisi literasi bagi para siswa. Tidak bisa dipungkiri, hanya sekolah sebagai lembaga pendidikan legal-formal yang dapat ‘memaksa’ para siswa untuk menjadikan tradisi literasi sebagai gaya hidup. Apabila tradisi literasi ini sudah mengakar kuat dalam diri siswa, seberapa pun tingginya target nilai yang diinginkan pemerintah akan dengan mudah tercapai. Sebagai bukti, bukankah siswa-siswa yang berprestasi selalu mempunyai latar belakang tradisi literasi yang mengakar?
Ebel (1972: 35) pernah mengingatkan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kemampuan pemahaman bacaan yang dapat dicapai oleh peserta didik dan perkembangan minat bacanya bergantung pada faktor berikut, pertama, peserta didik yang bersangkutan. Kedua, keluarga. Ketiga, kebudayaannya. Keempat, situasi sekolah. Sedangkan Pearson memilahnya menjadi dua faktor utama, yakni faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa kepemilikan kompetensi bahasa si pembaca, minat, motivasi, dan kemampuan membaca. Faktor ekstrinsik terbagi dalam dua kategori, pertama, unsur yang berasal dari dalam teks bacaan berkait dengan keterbacaan (readibility) dan organisasi teks atau wacana. Kedua, unsur yang berasal dari lingkungan baca; berkait dengan fasilitas, guru, model pengajaran, dll.
Di sinilah peranan pemerintah dalam dunia pendidikan dituntut untuk menghidupi budaya literasi para siswa. Caranya dengan menyediakan bahan bacaan yang berkualitas dengan kuantitas memadai, membuat opini publik lewat iklan layanan masyarakat bahwa tradisi literasi merupakan landasan penting bagi kemajuan individu dan negara, menyediakan media yang dapat menampung aspirasi dari hasil-hasil tradisi literasi, dan yang lebih penting adalah tidak memanfaatkan tradisi literasi sebagai proyek, sebab hanya akan menjadi bumerang bagi pemerintah nantinya.
Pertanyaannya, beranikah kita mengubah kegiatan membaca sebagai frame of reference, dengan ‘memaksa’ para peserta didik mengunyah tradisi literasi? Ingat, apabila kita tidak memaksakan pil pahit ini, entah sampai generasi ke berapa ratus anak didik kita mampu menjadi manusia-manusia unggul. Bukankah kita sepakat bahwa semua jenis peradaban selalu berpangkal tolak dari satu hal sederhana saja, yaitu menghidupkan dan menghidupi tradisi literasi?
Oleh karena itu, agar penyakit yang diderita bangsa ini tidak semakin kronis, ada baiknya kita cerna pernyataan Andre Morois, sastrawan Perancis, pada hakekatnya salah satu misi terpenting kehadiran dunia persekolahan mulai SD hingga perguruan tinggi adalah untuk mengantarkan para peserta didik agar mampu “membuka gerbang perpustakaan” sendiri, atau dengan kata lain, manusia yang mencetak manusia-manusia berbudaya literasi. Morois, lebih lanjut secara tajam mengatakan: apabila dunia persekolahan tidak mampu merealisasikan misi tersebut, proses bersekolah boleh dianggap sebagai suatu kegiatan yang sia-sia!

* Wachid Eko Purwanto, S.Pd. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Kompas, Koran Sindo, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Jurnal Perempuan, Jurnal Kreativa, Koran Merapi, dan beberapa media lainnya. Bergiat di MISHBAH Cultural Studies Center. (sumber:www.tandabaca.com)

08 Maret 2008

Arsip Berita (2)


27 Maestro Seni Tradisi
Dapat Honor


Sebanyak 27 maestro seni tradisi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke menerima penghargaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Para seniman berusia lanjut itu setiap bulannya diberikan honorarium sebesar Rp 1 juta untuk mendukung para seniman melakukan transfer pengetahuan kepada para generasi pelanjutnya.
''Pemberian penghargaan ini berangkat dari keprihatinan pemerintah atas kebudayaan kita yang semakin banyak diambil oleh negara lain. Kami berharap dengan penghargaan ini akan mampu mendukung aktivitas para maestro seni tradisi untuk mewariskan keahlian mereka kepada generasi selanjutnya,'' kata Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film (NBSF), Mukhlis Paeni di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kriteria pemberian kepada para seniman tradisi ini, lanjut Mukhlis, tidak mudah. Di antaranya keahlian yang dimiliki merupakan tradisi yang sudah langka. Selanjutnya keahlian tersebut telah dilakoninya minimal selama 20 tahun. ''Dan, yang lebih penting lagi adalah para seniman yang diibaratkan mati segan hidup tak mau,'' kata Mukhlis memberi perumpamaan terhadap kondisi keseharian para seniman terpilih.
Dengan diberikannya penghargaan berupa honorarium transfer pengetahuan tiap bulan sebesar Rp 1 juta, Muhklis berharap para maestro seni dapat lebih berkonsentrasi menularkan keilmuan mereka atas penguasaan seni tradisi. ''Honorariun transfer pengetahuan akan dihentikan jika para maestro itu dianggap tidak mampu lagi mewariskan keilmuannya,'' katanya. Honor tersebut mulai diberikan pada Januari 2008 ini.
Pemilihan 27 nama itu melibatkan sejumlah pakar dalam bidangnya masing-masing, seperti Dr Mukhlis Paeni, Romo Mudji Sutrisno, Nano Riantiarno, Prof Dr Achadiati, Prof Sardono W Kusumo, Prof Dr Sapardi Sjoko Damono, Prof Dr Ida Sundari Husen, Titi Said, dan Dr Pudentia MPSS MA.
Menurut Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, Dr Pudentia, MPSS, MA, timnya telah bekerja sejak Januari tahun lalu. Dari hasil verifikasi itu terjaring 50 nama seniman tradisi. Namun, setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat, akhirnya ditetapkan 27 nama sebagai maestro seni tradisi. ''Ada pun dalam bank data kami di Indonesia kira-kira masih terdapat 300 sampai 400-an seniman tradisi yang tersisa di seluruh Indonesia,'' katanya.
Encim Masnah, 75 tahun, penyanyi klasik gambang kromong dari Tangerang, Banten, mewakili ke-27 maestro penerima penghargaan, menyatakan kegembiraannya. ''Selama ini kami berjuang sendiri untuk meneruskan warisan turun temurun orang tua kami. Penghargaan ini memberikan dorongan kami untuk makin giat mewariskan seni tradisi kepada generasi selanjutnya,'' kata dia. (akb)


sumber:www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=318740&kat_id=383 - 31k

06 Maret 2008

Arsip Berita (1)


Bermula dari Syair Raja Ali Haji


Dari manakah dulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau.
Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, Selasa (28/2), mengungkapkan, salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk Palembang.
Seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk sempat menjadi alat propaganda Jepang.
Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. ”Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu,” kata Anwar Putra Bayu.
Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumsel Muhsin Fajri menilai, pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Perjalanan dulmuluk mulai surut sejak tahun 1990-an, ketika alternatif hiburan semakin banyak, terutama melalui televisi dan film layar lebar. Teater tradisi itu semakin merosot setelah orang yang menggelar hajatan lebih memilih pertunjukan organ tunggal. Akhirnya, dulmuluk seperti kehabisan energi, kehilangan pamor, dan tidak mampu bangkit lagi.
”Dulmuluk terlambat beradaptasi dengan zaman yang berubah begitu cepat. Hanya bermodalkan cerita yang monoton dan manajemen ala kadarnya, dulmuluk sulit bersaing dengan hiburan modern,” katanya.
Sebenarnya, beberapa kelompok seniman berusaha melestarikan dan membina generasi muda menekuninya. Beberapa acara digelar: festival, pelatihan, siaran di televisi, dan pementasan dulmuluk secara terbuka. Namun, sedikit generasi muda yang tertarik, sedangkan generasi tua terus berkurang.
”Kalau mau bertahan, dulmuluk hendaknya memperbarui diri dengan menciptakan kreasi cerita, pendekatan, dan tema yang lebih sesuai dengan kehidupan sekarang. Pakem lama tidak sakral sehingga bisa diadaptasikan dengan perubahan zaman,” kata Zulkhair Ali, dokter spesialis penyakit dalam di RS Muhammad Hoesin, Palembang. Dokter yang dikenal sebagai ZA Nara Singa ini aktif menghidupkan spirit dulmuluk dalam teater modern pada berbagai pementasan. (ilham khoiri)


Sumber:www2.kompas.com/kompas-cetak/0603/03/sumbagsel/2480852.htm - 39k -

02 Maret 2008

Artikel I Made Suastika


CALON ARANG DALAM TRADISI BALI KINI

I Made Suastika



Calon Arang dalam Berbagai Bidang
Pada bagian ini dibahas keunikan Pulau Bali, yaitu memiliki tradisi yang dapat ditunjukkan dalam bidang kebudayaan, terutama kentalnya pengaruh Jawa Kuna (di Jawa sudah tidak dikenal lagi) yang dipelihara oleh masyarakat Bali sebagai warisannya. Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa pengaruh unsur Jawa telah melahirkan tradisi baru berupa tradisi sastra tulis Calon Arang, yakni awalnya di Jawa berupa legenda (bernilai kesejarahan) yang berasal dari tradisi lisan, kemudian diubah dalam tradisi tulis (keberaksaraan) yang ditemukan dalam genere prosa, puisi (kidung), dan geguritan. Namun, pada periode terakhir, yakni pada abad ke-20 telah lahir genre kakawin (kakawin Calon Arang) yang muncul dari kreativitas pengarang Bali lewat ciptaan baru. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa teks-teks tersebut memiliki jalinan yang erat, terutama dalam alur cerita dan isi teks (tema) dalam tradisi Bali itu.
Secara ringkas, tema cerita Calon Arang bersifat magis pada semua teks tulis, meskipun ada perbedaan alur cerita, tokoh tambahan, dan panjang pendeknya alur cerita. Tokoh utama Calon Arang memiliki tema sentral dalam alur cerita dengan murid-muridnya yang beragam jumlahnya. Kematian, sebagai akhir cerita Calon Arang, yaitu lewat peperangan rahasia (ilmu sihir).
Pada teks belakangan (geguritan) kental dengan istilah berbahasa Bali kini (kapara). Lebih lanjut Calon Arang dengan berbagai versinya dalam tradisi tulis dapat dibaca dalam Pigeaud (1967-1981) dan kajian Suastika (1997).

Calon Arang dalam Tradisi Lisan
Dalam tradisi lisan, perkembangan Calon Arang tidak dapat dipisahkan dengan tradisi tulis. Tradisi lisan berkembang bersamaan dengan tradisi tulis dalam kebudayaan Bali, yakni sejalan dengan dinamika masyarakatnya, bahkan dilihat dari segi isi dan media yang dipakainya bertumpang tindih. Dalam tradisi lisan, Calon Arang ditemukan pada teks-teks satua yang bersifat magis. Misalnya, satua barong, rangda, leak, rarung dan satua magis lainnya (dong geleh, durga, tonya, memedi). Disamping itu, Calon Arang digunakan secara lisan sebagai lakon pertunjukan pewayangan dan drama tari. Selain itu, kebanyakan tradisi lisan Calon Arang erat kaitannya dengan seni pertunjukan di Bali, seperti lakon arja (drama tari) Calon Arang, Katundung Ratna Manggali, Kautus Baradah, Siat Bradah-Calon Arang ring Setra, dan Kautus Rarung. Tokoh utama Rangda di Bali diperankan oleh Matah Gede yang pada bagian akhir cerita berubah menjadi rangda.
Pertunjukan lakon Calon Arang banyak berkembang di Bali, terutama di desa-desa yang memiliki barong dan rangda yang disebut due pura. Misalnya, dramatari Calon Arang di Pentih Sukawati, Batuan, Bangli, Tampak Gangsul, pura di Jalan Diponegoro, Denpasar (8 November 2006), dan lain-lain.
Di samping itu, pada tahun 1997 pernah dilakukan festival wayang Calon Arang se-Bali. Ketika itu tampil (yang diawali dengan diskusi) dalang senior sebagai model, yaitu dalang Ida Bagus Baskara dari Buduk, yakni sekitar tahun 1960-an telah mementaskan lakon Calon Arang dengan tema rwa bineda (dua aspek negatif/buruk-positif/baik) dan proses pencarian darma oleh Calon Arang. Selain itu, pelepasan (pencarian bobot keimanan tertinggi) menjadi tema pertunjukan waktu itu.
Dalam pementasan yang lebih luas dan mendasar Calon Arang digunakan dalam tema PKB (Pesta Kesenian Bali Tahun 1998 dengan segala aktivitasnya yang bersumber dari teks Calon Arang). Kegiatan yang bersumber dari cerita Calon Arang) tersebut, yakni meliputi : serasehan (seminar), pertunjukan tari (dramatari), sastra daerah, lukis, pawai, dan lain-lain.
Wayang kulit Calon Arang adalah salah satu jenis pertunjukan wayang yang dikenal di Bali dengan tokoh Walu Nateng Girah (Rangdeng Dirah). Dalam hal ini disebut pertunjukan wayang Calon Arang karena mengambil tema Calon Arang yang sangat terkenal di Bali. Salah satu penyebab mengapa pementasan wayang Calon Arang pernah mengalami penurunan frekuensi pementasannya, yakni diakibatkan oleh adanya pemahaman yang berbeda terhadap esensi teks, yang sesungguhnya bertemakan rwa-bineda dan pendakian darma (kelepasan). Namun, disimpangkan ke arah yang lebih menonjolkan aspek magis dan dalam pementasannya disebut ngundang-undang (memanggil-manggil) seseorang, yakni dengan mengatakan bahwa orang itu pandai ngeleak dan kalau berani datang kemari dekat dengan dalang untuk berperang. Siapakah sesungguhnya yang lebih sakti, yang menang memakan yang kalah. Jangan hanya berani dari jauh, tidak menampakkan diri, dan tiba-tiba lenyap dari tempatnya.
Dalam salah satu adegan, yakni ketika Calon Arang menyebutkan kekuatan ilmunya (niscaya lingga). Hal ini membuat penonton ”agak ketakutan” karena munculnya adegan magis, yakni berupa pemotongan babi guling yang belum dikebiri (celeng butuhan). Ini merupakan salah satu adegan magis, karena Calon Arang yang diasosiasikan dengan rangda, leak dalam adegan memakan makanan kesukaannya sehingga jelas menunjukkan adegan yang membuat penonton agak berdebar-debar. Adegan-adegan di atas sering memunculkan sikap yang bersifat arogan sang dalang tidak jarang sikap ini ditanggapi negatif oleh masyarakatnya hingga sering menimbulkan konflik (kesenjangan) di dalam masyarakat.
Alur cerita biasanya dimulai dengan adegan pengertian rahasia yang dilakukan oleh Calon Arang (Randeng Girah) yang membuat banyak rakyat, terutama di daerah pinggiran, sekarang ia menolong menguburkan mayat, besoknya ia sendiri mati. Akibatnya para mentri, patih meminta pertolongan caturbuja, yaitu sebuah upacara untuk menanggulangi bencana, yakni dengan menjalankan praktik-praktik darma.
Akhirnya diketahui penyebab penyakit, yakni Rangdeng Dirah dan murid-muridnya menari di kuburan. Akibatnya, negeri menjadi panas, sakit, dan gering. Setelah jelas diketahui penyebab penyakit, maka Mpu Bahula melamar Ratna Mangali putri Calon Arang. Permintaan itu dipenuhi, sehingga usaha Mpu Bahula berhasil mendapatkan lepiakara (ilmu utama) yang dimiliki Calon Arang kemudian menyerahkan kepada Mpu Baradah.
Calon Arang meminta supaya diruwat, tetapi Mpu Baradah menolaknya. Selanjutnya terjadilah perang rahasia dengan ucapan-ucapan suci (mantra) Om dasaksara, bayu, sabda, idep. Calon Arang mati, tetapi dihidupkan kembali (pengurip-urip, sang Hyang Kaja Premana ring sariranta). Calon Arang diruwat dan akhirnya mencapai moksah. Hal ini yang menyebabkan wayang Calon Arang digunakan untuk ruwatan.

Calon Arang dalam Seni Lukis
Dalam hal ini ada sejumlah lukisan yang mengambil tema dari teks Calon Arang. Hal itu dapat diketahui dari koleksi lukisan Museum Klasik I Nyoman Gunarsa di Klungkung, Bali. Museum ini yang mengoleksi beberapa lukisan klasik Bali mulai dari zaman Klungkung/Gelgel sampai masa kini.
Lukisan lain berjudul Calon Arang dan Sisyanya sedang menari di kuburan. Beberapa lukisan klasik yang bertemakan Calon Arang (termasuk episode Calon Arang) dikoleksi Museum Klasik I Nyoman Gunarsa.
Lukisan berjudul Calon Arang karya Walter Spies (1932) merupakan koleksi yang sampai saat ini disimpan di Museum Asma, Ubud. Beberapa lukisan lain yang dibuat pelukis Bali Modern seperti lukisan berjudul rangda, dan sejumlah karya magis yang dibuat oleh pelukis Bali di antaranya Ngurah T.Y.

Calon Arang dalam Pementasan Barong-Rangda
Pementasan/pertunjukan barong-rangda ada yang asli seperti pementasan due pura yang dilakukan pada setiap hari odalan (hari suci) di pura tersebut. Dalam hal ini ada sejumlah pertunjukan barong-rangda sebagai simbol kebaikan dan keburukan yang mengambil inti sari lakon Calon Arang. Pertunjukan barong-rangda dipentaskan di Batubulan, Puri Ubud, beberapa tempat lain seperti berjudul Barong Dance sebagai pertunjukan wisata (balih-balihan). Dalam kairan ini adalah Barong simbol Mpu Baradah (simbol kebenaran/kebaikan/dharma) dan rangda simbol Calon Arang (keburukan/angkara murka/adharma).

Calon Arang dalam Drama Modern
Pertunjukan Calon Arang dalam drama modern pernah dipentaskan oleh kelompok seni (sanggar) yang dimainkan oleh Cok Sawitri dkk. ketika dilakukan Festival Seni Pertunjukkan Nasional di Taman Tirta Gangga Karangasem sekitar tahun 2002 yang lalu. Lakon yang mengambil tema betapa kuatnya laki-laki menghegemoni kaum perempuan, sampai-sampai tidak ada pembelaan terhadap dirinya. Dalam hal ini wanita terpinggirkan citranya akibat kekuatan patriarkhi. Wanita yang ditokohkan oleh Calon Arang dari Girah hampir tidak dapat membela diri, baik secara budaya dan hukum, apalagi di bawah bayangan kekuasan Raja Erlangga yang tersohor itu. Sehubungan dengan hal ini sebutan Calon Arang adalah Rangdeng Dirah dan Walu Nateng Dirah.

Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Tradisi Calon Arang di Bali berkembang dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Bali, terutama lewat teks tulis, tradisi lisan, lakon seni pewayangan (wayang kulit Calon Arang), lewat seni lukis klasik dan modern, dramatari Calon Arang (pertunjukkan sakral dan pertunjukan wisata barong-rangda), dan satua-satua yang magis (tenget).
2) Hubungan antara tradisi itu bertumpang tindih, saling melengkapi, serta menyatu dalam payung budaya dan tradisi masyarakat Bali yang religius, terutama karena adanya pemahaman terhadap nilai hakiki Calon Arang. Nilai itu, seperti : kalepasan, rwa-bineda, ruwat, darma, dan jalan menuju kematian.


Dokumen Foto (1)

Yudhi Kamaluddin saat menenggung
dalam acara Festival Pantun Nusantara
di Gedung Kesenian Jakarta

23 Februari 2008

NENGGUNG

:Tradisi Meninabobokkan Anak
Oleh Linny Oktovianny


KETIKA bayi atau anak kecil sulit tidur atau terbangun terus ketika sedang tidur, maka dengan bergegas Sang Ibu akan meninabobokkannya dengan berbagai lagu yang diiramakan yang disebut nenggung. Namun, sangat disayangkan tradisi nenggung di kalangan masyarakat Palembang dan sekitarnya hanyalah tinggal kenangan. Tradisi nenggung sekarang tinggal cerita. Orang tua masa kini sudah tidak dapat lagi meninabobokkan anaknya dengan nenggung karena sudah ada penggantinya. Nenggung sudah dapat digantikan dengan berbagai lagu anak atau lagu-lagu masa kini yang tentu saja yang dapat dihapal oleh Ibu si anak. Saat ini, banyak alternatif lagu atau musik yang lebih menjanjikan, antara lain radio, kaset, CD, bahkan DVD. Wajarlah, para ibu masa kini sudah tak dapat meninabobokkan anaknya dalam belaian atau buaian ibunya.
Nenggung adalah nyanyian berupa pantun untuk menidurkan anak yang berisi ajaran agama, moral, dan nasihat yang berguna sehingga anak merasa nyaman tidur. Biasanya nenggung dituturkan ketika anak akan tidur atau susah tidur karena suatu hal, antara lain karena sakit atau perasaan tidak nyaman. Nenggung dapat dituturkan oleh Ibu, ayah, nenek, kakek, atau sanak keluarga lainnya yang dekat dengan si anak. Setakat ini, nenggung pada etnis Palembang jarang digunakan lagi bahkan nyaris punah.

Berikut adalah cuplikan Nenggung:
Lailahaillahlah Muhamaddarasullulah
Hul malikul haqqul Mubin
Muhammadurrosullulah
Shadiqul wa’dul Aamiin

Berapo banyak barang di peti
Cuma sikok tekepel beringin
Berapo banyak wong di sini
Cuma sikok yang aku ingin

Papan cuci kayunyo jati
Buahnyo si hitam putih
Sudah lama kami nuruti
Rambutku hitam jadi putih

Jalan-jalan kampong ujung
Hari panas terbuka payung
Mato lenting, hidung mancung
Seperti bulan awan mengandung

Buah delimo di dalam peti
Campak di tanah betangkai empat
Sudah lamo kami menanti
Baru sekarang kamek mendapat

Anjing ini penjaga ruma
Ristan makanan ia terima
Kalu pintar kito ternama
Kalu buyan idup merana

Nak minjem jarum sulaman
Jangan sampe hilang ukurnyo
Dicium pelan-pelan
Jangan sampe ilang pupurnyo

Buah mangga di bungkus rapat
Padi di ladang di makan kuda
Dua tiga boleh kudapat
Tidak sama dengen ananda

Ngesek biola di bawa tanggo
Kaco ruma remuk jualan cino
Makmano hati dak gilo
Nyelek cucung dak becelano

Durian campak dengen durinyo
Campak ke sekel dak kan luko
Awak baik dengen budinyo
Sampe mati dak kan kulupo

Nak gugur-gugurlah nangko
Jangan nimpo si batang padi
Nak tiduk, tiduklah mato
Jangan nyinto si main lagi

Artinya:

Berapa banyak barang di peti
Hanya satu terkepal beringin
Berapo banyak orang di sini
Hanya satu yang aku ingin


Papan cuci kayunya jati
Buahnyasi hitam putih
Sudah lama kami turuti
Rambutku hitam jadi putih

Jalan-jalan kampung ujung
Hari panas terbuka payung
Mata lenting, hidung mancung
Seperti bulan awan mengandung

Buah delimadi dalam peti
Jatuh di tanah bertangkai empat
Sudah lamakami menanti
Baru sekarang kami mendapat

Anjing ini penjaga rumah
Sisa makanan ia terima
Kalau pintar kita ternama
Kalau bodoh hidup merana

Ingin meminjam jarum sulaman
Jangan sampai hilang ukurnya
Dicium pelan-pelan
Jangan sampai hilang bedaknya

Buah mangga di bungkus rapat
Padi di ladang di makan kuda
Dua tiga boleh kudapat
Tidak sama dengan ananda

Menggesek biola di bawah tangga
Kaca rumah remuk jualan Cina
Bagaimana hati tak gila
Melihat cucu tidak bercelana

Durian jatuh dengan durinya
Jatuh ke kaki tidakkan luka
Kamu baik dengan budinya
Sampai mati tidakkan kulupa

Mau gugur-gugurlah nangka
Jangan menimpa si batang padi
Mau tidur, tiduklah mata
Jangan menyinta si main lagi

Nenggung di atas dituturkan sambil si anak ditimang-timang atau diayun agar si anak segera tidur.

22 Februari 2008

Sahilin, Ikon Seni Batanghari Sembilan

/Ilham Khoiri /

Umak-umak belikan sagu/ Aku kepingin makan pempek/ Umak-umak carikan aku/ Aku ni lah malas tiduk dewek.
Lemak pule makan pempek/ Ambek sagu buat tekwan/ Daripade tiduk dewek/ Lemak sekali lah meluk bantal.


Pantun bersahut itu dilantunkan Sahilin dan Siti Rahmah secara bergantian di pentas hajatan perkawinan di Kelurahan 9 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, Sumatera Selatan.
Lelaki tunanetra itu memetik gitar tunggal sambil melontarkan pantun, sedangkan Siti menyahutinya dengan pantun lain. Puluhan penonton menyimak sambil tergelak-gelak, Sabtu (11/3) malam itu.
Maklum, kedua pantun itu memang penuh kelakar. Diceritakan, ada seorang pemuda yang sudah malas tidur sendirian sehingga minta tolong ibunya untuk mencarikan istri. Pemuda itu disindir, lebih baik memeluk bantal daripada tidur sendirian. Cerita itu disampaikan dengan menggunakan sampiran pempek, makanan khas Palembang.
Pertunjukan musik tersebut dikenal sebagai batanghari sembilan. Seni ini menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.
Batanghari sembilan sendiri berarti sembilan sungai besar. Disebut demikian karena musik itu memiliki irama yang meliuk-liuk dan lirik berupa pantun bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip aliran sungai.
Batanghari sembilan merupakan seni tradisional yang tumbuh di Sumatera Selatan (Sumsel) sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat biasa menikmati seni ini pada malam hari setelah lelah kerja seharian. Seniman yang menekuni seni ini tinggal sedikit, salah satunya Sahilin.
Sahilin selalu tampil dengan mengenakan kacamata hitam lebar dan rambut tersisir rapi. Pertunjukannya selalu ditunggu masyarakat karena permainan gitarnya yang unik.
Setiap ganti lagu dia menyetel gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, dia kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton.
Lelaki itu juga mahir menciptakan pantun dengan berbagai tema. Satu pantun berisi 30 bait hingga 50 bait. Ada yang menceritakan kisah sedih, pesan moral, atau kelakar yang lucu. Beberapa pantunnya menjadi lirik batanghari sembilan yang terkenal, antara lain Ratapan Mati Gadis, Kaos Lampu, Tiga Serangkai, Kisah Pengantin Baru, dan Bujang Buntu.
"Ada puluhan pantun yang saya buat. Banyak juga yang muncul spontan saat merasakan suasana di panggung, tetapi banyak yang tidak direkam sehingga sering terlupa," katanya.
Saat bernyanyi, dia melantunkan pantun-pantun itu dengan penuh penghayatan. Kadang suaranya melengking, kadang melemah seperti bergumam. Dengan kemampuan yang lengkap dan ketekunan selama 34 tahun lebih, Sahilin akhirnya menjadi ikon seni batanghari sembilan di Sumsel. Citra itu demikian lekat sehingga banyak orang menyangka, Sahilin adalah nama aliran musik itu sendiri.
Konsistensi lelaki ini dalam mengembangkan batanghari sembilan telah turut melestarikan seni pantun bersahut dengan bahasa lokal Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel.
Pantun termasuk salah satu sastra tutur yang banyak memuat kearifan lokal, dari budaya masyarakat di pedalaman sungai yang kini semakin ditinggalkan. Atas pengabdiannya di bidang seni, Sahilin memperoleh penghargaan budaya dari Pemerintah Provinsi Sumsel tahun 2000.
Sahilin lahir di Kampung Benawe, yang terletak 45 kilometer selatan Palembang, sekitar 50 tahun lalu. Dia tidak pernah sekolah. Saat berusia lima tahun, kedua matanya terserang penyakit keras sehingga buta. Dalam kesendirian yang gelap, dia menemukan gitar sebagai instrumen untuk menghibur diri.
Sahilin lalu serius belajar bermain gitar untuk memainkan lagu-lagu batanghari sembilan dari ayahnya, Mat Sholeh. Dia juga tekun menyimak variasi batanghari sembilan yang kerap diputar di radio. Pantun dipelajari secara otodidak dengan mendengar dari sana-sini.
Ketika berumur belasan tahun, Sahilin telah muncul sebagai seniman batanghari sembilan yang mumpuni di kampungnya. Tahun 1972, ia mengadu nasib ke Palembang. Setelah manggung dari hajatan ke hajatan selama tiga tahun, dia menjadi seniman yang tenar.
Sahilin mulai masuk dapur rekaman Palapa Studio di Palembang tahun 1975. Kaset album pertama, yang berjudul Ratapan Mati Gadis, laku keras. Album kedua, Tiga Serangkai, juga meledak di pasaran. Demikian juga album ketiga, Serai Serumpun. Kaset-kaset itu memberikan penghasilan lumayan besar bagi dirinya.
"Uang dari rekaman kaset pertama saya gunakan untuk beli tanah. Kaset kedua untuk membuat rumah panggung kayu. Penghasilan dari kaset ketiga untuk menikah dengan Asma tahun 1977. Penghasilan selanjutnya untuk menghidupi keluarga," katanya sambil tersenyum mengenang.
Kreativitas seniman itu telah direkam dalam 10 album lebih, masing-masing berisi dua hingga empat lagu. Sebagian besar rekaman berduet dengan Siti Rahmah, yang mahir membawakan pantun-pantun bersahut berbahasa Benawe. Sebelumnya, Sahilin sempat berduet dengan Cek Misah, penyanyi batanghari sembilan yang telah meninggal.
Kaset-kaset Sahilin terus digemari hingga kini. Dia pun tetap manggung di berbagai hajatan meski tak sesering dahulu. Tahun 1970-an sampai 1980-an, dia rata-rata tampil lima kali seminggu. Sejak pertengahan tahun 1990-an, penampilannya menyurut, seiring maraknya hiburan televisi.
Saat ini, dia hanya tampil empat-lima kali sebulan. Apa mau dikata, warga yang punya hajatan lebih suka mengundang hiburan organ tunggal yang dinilai lebih atraktif ketimbang seni tradisional batanghari sembilan.
Sahilin tinggal di Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Ketiga anak lelakinya juga mahir memetik gitar, tetapi tak bisa membawakan pantun-pantun batanghari sembilan. Oleh karena itu, seni tradisional yang diwarisi dari nenek moyang tersebut terancam bakal berhenti hingga pada Sahilin saja.
"Anak-anak malas menghafal pantun-pantun lama yang dianggap rumit dan panjang. Kalau memikirkan siapa nanti yang mau meneruskan seni batanghari sembilan, saya sering sedih," kata Sahilin. Di luar rumah Sahilin, gerimis telah berubah menjadi hujan yang deras.

Sumber:64.203.71.11/kompas-cetak/0603/27/Sosok/