29 Juni 2008

Sistem Multimedia dan Keberaksaraan

Oleh Riri Satria
Mana yang lebih disenangi? Membaca berita atau ulasan politik melalui surat kabar atau menonton talk show politik di televisi? Membaca novel atau menonton film? Jika ingin mengemukakan pendapat atau opini, jalan manakah yang akan pilih, menuliskan opini di media atau berkampanye bicara di sana sini? Jika Anda memilih membaca surat kabar atau novel, serta menulis opini, maka beruntunglah Anda karena sudah termasuk golongan masyarakat yang memiliki tradisi tulis atau beraksara.

Jika ternyata Anda lebih memilih menonton televisi dan menyampaikan pendapat dengan bicara di berbagai forum, maka Anda tidak usah risau, karena Anda merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang ternyata memiliki tradisi lisan.

Masyarakat Tradisi Lisan
Prof. A.Teeuw (1994) dalam bukunya yang berjudul Indonesia, Antara Kelisanan dan Keberaksaraan mengungkapkan bahwa secara umum masyarakat Indonesia menganut tradisi lisan. Kalau ada dokumen tertulis, masyarakat Indonesia lebih memilih dokumen tersebut dibacakan daripada membaca dokumen tersebut. Jika kita lihat dari sisi sejarah, maka bukti-bukti yang ada semakin memaksa kita untuk sependapat dengan Prof. Teeuw. Bukti-bukti sejarah dalam bentuk tertulis tidak banyak ditemui di tanah air kita ini. Ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Cina.
Sejarah di negara kita ini banyak dituturkan secara lisan melalui pencerita (story teller) yang semakin lama semakin kabur, apakah itu benar-benar terjadi atau hanya legenda belaka? Bahkan cerita mengenai tokoh-tokoh dalam sejarah pun banyak yang sudah terkontaminasi oleh cerita-cerita legenda yang membuat kita sulit untuk menarik garis pemisah.
Jika Anda pernah jalan-jalan dengan kereta api di Tokyo, maka Anda akan melihat orang yang menghabiskan waktunya dengan membaca, baik di atas kereta, maupun saat menunggu kereta. Mereka memilih untuk membaca ketimbang ngobrol seperti yang kita temui di stasiun kereta api Gambir di Jakarta. Itulah salah satu bentuk perbedaan antara tradiri lisan dengan beraksara.
Apakah tradisi lisan ini buruk? Sulit untuk menjawabnya, karena saya bukanlah ahli sosiologi atau antropologi, sehingga tidak memiliki kerangka pemikiran yang dapat dipertanggungjawakan untuk menganalisis hal ini.
Tetapi hal ini merupakan faktor penghambat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada tatanan dunia saat ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi disebarkan melalui berbagai jurnal ilmiah, makalah sebagai hasil riset, disertasi dan tesis, dan tentu saja mustahil berbagai rumus dan tabel hasil penelitian ilmiah disampaikan secara lisan.
Keengganan masyarakat dengan tradisi lisan untuk membaca berbagai jurnal ilmiah, makalah, dan sebagainya berarti kengganan masyarakat tersebut untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi untuk menjadi pelopor dalam pengembangannya.
Tentu saja hal ini sangat jauh dari harapan. Berdasarkan argumen singkat ini, dapat dtarik kesimpulan bahwa tradisi lisan ini merupakan penghambat kemajuan bangsa untuk menjadi bangsa pembelajar dan unggul. Hal ini disebabkan tradisi lisan mengakibatkan akses masyarakat kepada sumber-sumber ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sangat terbatas, sementara sumber-sumber tersebut sebetulnya terbuka sangat luas.
Sistem Multimedia sebagai Katalis
Proses pembelajaran pada masyarakat kita harus berjalan terus, tidak peduli dengan tradisi lisan ataupun beraksara. Kita bersama-sama berupaya membentuk suatu masyarakat pembelajar (learning society) supaya bangsa Indonesia ini tidak melulu menjadi bulan-bulanan bangsa lain.
Krisis multidimensi yang sekarang sedang kita alami ini menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak mampu untuk belajar dari keadaan. Kita semua mengetahui bahwa salah satu penyebab krisis ini adalah berbagai kebocoran penggunaan dana pembangunan.
Tetapi kita tidak belajar dari keadaan. Buktinya angka korupsi di negara ini tetap tinggi. Ini berarti kita memang belum menjadi masyarakat pembelajar. Persoalannya adalah, bagaimana mungkin kita dapat menciptakan masyarakat pembelajar sementara masyarakat memiliki keengganan untuk mengakses berbagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sekali lagi, ini menunjukkan kepada kita bahwa tradisi lisan harus diubah menjadi tradisi tulisan atau keberaksaraan.
Tentu saja upaya mengubah tradisi lisan menjadi tulisan ini tidak mudah. Untuk mempercepat proses transformasi dari tradisi lisan menuju tulisan ini, diperlukan suatu katalis atau sesuatu yang dapat mempercepat proses, yaitu sistem multimedia.
Sistem multimedia yang merupakan gabungan dari teks, audio, animasi, citra, dan video memiliki kemampuan untuk menjadi katalis dalam proses transformasi tersebut. Pengalaman menunjukkan demikian.
Pada tahun 1994, suatu tim pengembangan perangkat lunak pengajaran berbasis multimedia berbentuk permainan pada Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia bekerja sama dengan UNESCO, mengembangkan suatu bahan pengajaran untuk pelestarian hutan tropis.
Jika disajikan dalam suatu bentuk buku, maka tentu saja yang mengaksesnya adalah para kutu buku. Lalu disepakati bersama bahwa bentuknya adalah permainan komputer berbasis multimedia, tetapi memiliki sasaran pembelajaran (learning objectives) dengan segala strategi pembelajarannya (learning strategy).
Bahan pengajaran memang berbentuk permainan, tetapi dalam permainan tersebut ada skenario tertentu yang mengharuskan si pemain untuk membaca dan memahami berbagai topik tentang hutan tropis di Kalimantan. Jika dia tidak dapat memahaminya, maka dapat dipastikan dia tidak akan pernah mampu menyelesaikan permainan tersebut.
Dengan skenario ini, niat awal seseorang untuk mencoba permainan komputer secara perlahan-lahan diarahkan untuk membaca dan belajar mengenai hutan tropis, lengkap dibantu dengan berbagai animasi, video, dan bahkan simulasi. Ini menunjukkan bahwa multimedia dapat berperan sebagai katalis menuju keberaksaraan.
Hal yang sama juga dapat terjadi pada skala makro. Berbagai program televisi, radio, film, dan bahkan situs web yang multimedia juga dapat mengarahkan masyarakat untuk membaca. Acara talk show mengenai politik di televisi dapat diarahkan untuk membangun rasa ingin tahu pemirsa lebih dalam mengenai suatu topik. Pada akhir acara dapat dijelaskan sumber-sumber rujukan yang dapat diakses oleh para pemirsa.
Ambil misal acara mengenai pola hidup sehat di televisi, yang diasuh oleh Prof. Hembing. Dalam waktu 30 menit, pasti tidak banyak yang dapat beliau sampaikan mengenai makanan dan cara hidup sehat. Tetapi beliau memberikan informasi mengenai buku-buku yang dapat dibaca jika pemirsa ingin mengetahui lebih dalam.
Pemirsa yang tadinya hanya berniat menonton, lama-lama menjadi penasaran dan tumbuh rasa ingin tahu, dan jika rasa ingin tahu ini tetap berlanjut, maka pemirsa tentu akan membaca buku-buku yang ditulis oleh Prof. Hembing. Tentu saja buku-buku tersebut memuat informasi jauh lebih lengkap. Ini salah satu contoh mengenai peran televisi sebagai salah satu media yang menjadi katalis untuk membawa pemirsa ke tradisi tulisan atau beraksara.
Kebijakan Multimedia Nasional
Ternyata sistem multimedia memiliki peran yang sangat strategis untuk menciptakan keunggulan kompetitif bangsa melalui pembentukan masyarakat pembelajar. Tentu saja kita membutuhkan suatu kebijakan multimedia nasional yang berada di bawah kendali sebagai Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Syamsul Mu’arif.
Kebijakan ini mungkin mirip dengan yang dimiliki Malaysia, yaitu koridor multimedia Malaysia. Barangkali istilah yang lebih populer saat ini di Indonesia adalah kebijakan telematika (telekomunikasi dan informatika) nasional yang sifatnya lebih umum.
Kebijakan multimedia nasional ini ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu (1) kebijakan infrastruktur, (2) kebijakan isi atau konten, serta (3) kebijakan sumber daya manusia. Kebijakan infrastruktur berarti kebijakan yang berkaitan dengan investasi infrastruktur multimedia di Indonesia, menghilangkan monopoli infrastruktur sambil tetap menjaga persaingan yang sehat, serta pemberian insentif kepada pihak-pihak yang menyediakan akses informasi kepada masyarakat grass root seperti warnet atau pusat informasi di daerah rural.
Industri infrastruktur informasi memiliki karakteristik tersendiri, yaitu padat modal (capital intensive), memerlukan skala ekonomis yang besar supaya optimal, perputaran uangnya relatif lambat sehingga relatif lama untuk balik modal, dan jika dibiarkan terjadi free fight competition, maka industri bisa sekarat dan mati perlahan. Pemerintah harus menjadi wasit yang baik tanpa perlu merasa ikut sebagai pemain dalam bisnis ini.
Sementara itu, kebijakan isi atau konten merupakan ujung tombak peran multimedia sebagai katalisator. Pemerintah tidak perlu membuat suatu regulasi apalagi penyensoran terhadap berbagai isi atau konten informasi. Apapun dalihnya, penyensoran ini merupakan langkah mundur. Tetapi pemerintah perlu memberikan insentif kepada konten yang memberikan nilai siginifikan terhadap kemajuan proses pembelajaran bangsa.
Pemerintah dengan bantuan lembaga pemeringkat independen dapat melakukan pemeringkatan (rating) dan memberikan berbagai insentif kepada pihak-pihak yang sanggup memberikan konten yang edukatif.
Mengapa lebih banyak insentif? Karena ini adalah instrumen yang paling cocok untuk merangsang sesuatu di era reformasi ini. Berbagai bentuk penyensoran, pelarangan, pemaksaan, dan sebagainya, sudah tidak relevan lagi. Berbagai acara talk show dan acara televisi lainnya yang edukatif layak mendapatkan rating bagus dan mendapatkan insentif jika dibandingkan dengan acara musik atau siaran langsung sepakbola. Bentuk insentif tersebut bisa berbentuk pengurangan pajak.
Yang terakhir adalah kebijakan sumber daya manusia. Dua kebijakan sebelumnya tidak akan ada manfaat dan dampaknya jika kebijakan sumber daya manusia ini tidak diperhatikan. Kebijakan ini dapat dilakukan dalam bentuk pemberian insentif kepada pihak-pihak yang sanggup menyelenggarakan program pendidikan telematika atau multimedia yang bermutu.
Penutup
Sistem multimedia memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan proses pembelajaran bangsa Indonesia. Sistem multimedia dapat berperan menjadi katalis untuk mempercepat proses transformasi masyarakat dari tradisi lisan menjadi tradisi tulis atau beraksara.
Hanya pada masyarakat dengan tradisi beraksara ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang dan memberikan keunggulan kompetitif kepada bangsa tersebut. Hanya saja, kita memerlukan kebijakan nasional yang berkaitan dengan sistem multimedia atau telematika secara umum supaya perannya sebagai katalis dapat terlaksana dengan baik.

Tidak ada komentar: