27 April 2008

Kesenimanan dalam revitalisasi kesenian

Oleh Rahayu Supanggah


Keprihatinan terhadap kehidupan seni (tradisional) oral yang semkin hari semakin meredup telah menggugah hasrat dari berbagai fihak untuk melakukan kegiatan revitalisasi kesenian. Kegiatan tersebut telah menghabiskan tenaga, waktu, pemikiran dan dana yang luar biasa. Berbagai jenis kegiatan revitalisasi telah dilakukan oleh berbagai fihak, dengan hasil yang bervariasi. Beberapa diantaranya berhasil, namun sebagian besar kegiatan revitalisasi belum menujukkan hasil yang memuaskan. Masalah revitalisasi kesenian memang bukan maslah yang sederhana. Ketersediaan fasilitas dan dana yang melimpah belum menjamin keberhasilan dari usaha revitalisasi. Masalah kehidupan kesenian, termasuk kesenian tradisi memang kompleks. Seperti kita ketahui bersama bahwa masalah kesenian bukan semata mata masalah estetik belaka, tetapi juga masalah yang lebih luas, social, budaya dan yang lainnya. Kehidupan kesenian sangat tergantung pada masyarakat dan lingkungannya. Ketika situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya berubah dari waktu ke waktu, kehidupan kesenian kemungkinan besar juga mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat dan lingkungannya. Berikut ini adalah hanya salah satu contoh kasus perubahan social tersebut, yang dampaknya cukup besar terhadap perkembangan kehidupan kesenian tradisional.

Mulai beberapa decade belakangan ini, pola hidup masyarakat kampung mengalami perubahan yang signifikan sehubungan dengan adanya perubahan disain hunian dan lingkungan mereka. Perubahan pola hidup tersebut antara lain dapat dilihat pada perubahan pola kehidupan kampung yang bergeser ke pola kehidupan perumnas, real estate, apartemen dan atau kondominium. Selain konsep ruang yang berubah, - relatif menjadi lebih sempit dan tertutup-, juga penduduknya menjadi semakin heterogen, baik dilihat dari asal etnik, daerah, pendidikan, pekerjaan dan tingkat kemampuan ekonomi mereka. Kebutuhan, kepentingan dan selera mereka juga sangat bervariasi. Sungguh suatu kondisi yang kurang menguntungkan bagi kehidupan kesenian tradisional yang biasanya didukung oleh masyarakat yang relatif homogen, masyarakat yang memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama. Pencukupan kebutuhan dan kepentingan tersebut dilakoni bersama dengan cara bekerja sama. Kesenian tradisional hadir dan diperlukan dalam hampir setiap kegiatan, pekerjaan dan untuk kepentingan mereka : bekerja, bersyukur, beragama, bersenang senang maupun dalam duka (sakit atau bahkan mati). Bukan satu hal yang baru bahwa masyarakat menjadi lebih individual, dalam bermain, bekerja maupun dalam memilih hiburan dan atau kesenian.

Dalam persaingan global seperti sekarang ini, kesenian yang memiliki akses yang lebih baik pada masyarakat, cenderung untuk mendapat kesempatan lebih baik untuk dikenal, dikonsumsi dan pada gilirannya bahkan mendominasi kesenian yang lain. Kesenian yang memiliki akses yang baik adalah kesenian yang mengusai (atau yang dikuasai) media dan atau industri. Kesenian jenis ini aktif mendatangi rumah rumah (kita) bahkan kamar kamar kita lewat radio, televisi maupun produk (industri) rekaman. Selera masyarakat dibentuk oleh industri dengan berbagai cara: system bintang, top twenty, gossip seniman, sms, kuis berhadiah, dan sebagainya. Tidak penting apakah kesenian tersebut “bermutu” berguna bagi masyarakat tertentu atau tidak. Apa yang bisa laku dijual, dijuallah mereka: pornografi, kekerasan, hura hura, aneh aneh, bukan masalah. Kesenian yang tidak masuk dalam selera produser industri sulit mendapat tempat di pasar, - masyarakat baru yang dibentuk oleh industri. Terjadilah jarak antara kesenian tradisi dengan masyaratnya yang baru. Kesenian tradisi dalam bentuknya yang “asli” semakin kehilangan masyarakat yang mendukungnya,

Melihat kesenjangan masyarakat terhadap kesenian tradisional seperti itu, berbagai pihak sekarang ini semakin tergerak hatinya untuk melakukan revitalisasi terhadap kehidupan kesenian kesenian yang dianggap kehidupannya dalam keadaan bahaya. Kesenian yang mulai “kehilangan” masyarakatnya karena kesenian tersebut telah kehilangan fungsinya di masyarakat. Berbagai kegiatan revitalisasi kesenian yang telah dilakukan antara lain dalam bentuk :

  1. Rekonstruksi. Kegiatan ini biasanya dilakukan terutama untuk kesenian kesenian yang sudah hilang dari peredaran, namun oleh (beberapa) pihak tertentu dianggap masih punya peluang bahkan potensial untuk dihidupkan dan digiatkan kembali. Selain kesenian ini dianggap penting karena memiliki nilai yang berguna bagi masyarakat, revitalisasi juga masih mungkin dilakukan karena ditunjang oleh masih tersedianya informasi yang mendukung untuk dilakukan revitalisasi. Informasi tersebut baik dalam bentuk tertulis seperti naskah, lontar, manuskrip atau karya (karya) sastra lainnya ataupun informasi oral dalam berbagai bentuk, berkat masih adanya nara sumber atau pelaku seni yang masih hidup masih bisa didapati.

Beberapa jenis tari bedhaya dan Srimpi misalnya, sampai tahun 1970-an sudah banyak yang tinggal namanya saja, namun ujud tari dan musiknya sudah tidak dapat dilihat atau didengar lagi. Beberapa teks cakepan atau syair bedhaya srimpi kebetulan masih dapat didapati pada beberapa naskah, seperti serat Sindhen Bedhaya atau catatan/manuskrip koleksi pribadi. Ditunjang oleh beberapa informasi dari seniman/anggota masyarakat berusia lanjut atau nara nara sumber lain yang ada hubungannya dengan tari bedhaya srimpi, maka dicobalah untuk disusun kembali tarian yang hilang tersebut menurut tafsir sang koreografer dan atau komposer, menjadi Bedhaya “baru” (dengan ujud yang dianggap sama dengan bedhaya srimpi yang telah hilang), disertai dengan pertanggungan jawab “akademis” atau alasan yang mapan yang didasari oleh studi atau penelitian yang mendalam. Bedhaya La-la adalah salah satu contoh bentuk revitalisasi yang dilakukan oleh Akademi Seni Karawitan Indonesia dan Pusat Kesenian Jawa Tengah di Surakarta pada tahun 70-an yang cukup berhasil sehingga sampai saat ini bedhaya La-la telah menjadi bagian dari repertoar bedhaya-srimpi pada umumnya dan sampai sekarang cukup sering dipentaskan. Akhir akhir ini ISI Yogyakarta juga melakukan rekonstruksi bedhaya Semang, salah satu bedhaya yang paling tinggi kelasnya dalam repertoar bedhaya srimpi di lingkungan Kasultanan Jogyakarta (sejajar dengan bedhaya Ketawang di kraton Kasunanan Surakarta), bedhaya yang dianggap paling sakral, digunakan pada upacara jumenengan, ulang tahun naik tahta Sultan Hamengku Buwana.

  1. Re-fungsionalisasi, yaitu menambah, mengembangkan, mengganti atau memberi fungsi yang baru terhadap kesenian yang direvitalisi, sehubungan dengan aktivitas lama yang biasanya menggunakan jasa kesenian yang dimaksud, sudah tidak eksis atau tidak berlangsung lagi. Refungsionalisai yang sering dilakukan adalah mengembangkan, menambah atau mengubah fungsinya yang lama dengan fungsinya yang baru. Contoh seperti kesenian yang dulunya digunakan sebagai bagian dari kegiatan upacara, nyanyian untuk kerja, kemudian ditambah atau berubah menjadi seni pertunjukan, komoditas ekonomi atau pariwisata, sarana hiburan dan atau memenuhi fungsi terapan lainnya seperti sebagai alat promosi suatu produk dan atau kampanye suatu program atau tujuan lain dari suatu lembaga tertentu. Ketika terjadi refungsionalisasi kesenian, biasanya terjadi :
  1. Re-presentasi, artinya menyajikan kembali, baik dalam frekwensi maupun dalam ujud, forum atau konteks yang bervariasi. Sebagai contoh adalah peristiwa festival kesenian yang sampai saat ini diselenggarakan dimana mana dengan mementaskan beberapa jenis seni rakyat maupun tradisional. Maksud baik untuk mengenalkan atau “mengangkat” kesenian ini kemasyarakat yang lebih luas justru sering kontraproduktif karena “salah” letak. Banyak seniman kesenian rakyat dan atau tradisional yang kemudian justru menjadi disoriented, asing terhadap tempatnya yang baru. Sebagai contoh adalah seni tayub yang dipentaskan di atas panggung prosenium atau sintren dipentaskan di istana Negara.
  1. Re-formasi, yaitu perubahan format atau bentuk penyajian kesenian dari yang lama ke bentuknya yang baru, yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, selera, waktu dan tempatnya yang baru. Isi, makna dan massage/pesan yang ingin disampaikan oleh kesenian yang di-reformasi kemungkinan bisa juga berubah. Pemahaman tentang esensi dari suatu kesenian tetap menjadi hal yang sangat penting sehingga dalam melakukan re-formasi tidak menjadikan sebuah kesenian kehilangan maknanya. Retno Maruti adalah salah satu contoh seniman yang konsisten membuat karya yang sifatnya re-formasi dengan genre bedhaya yang digunakan sebagai titik tolak koreografinya. Selain tetap menggunakan vokabuler dan kekayaan lama, koreografer juga memperluas, memperkaya karyanya dengan menggunakan unsure unsure budhaya baru, ciptaan baru maupun yang “dipinjam” dari budaya luar, sehingga tercipta bentuknya yang baru. Dalam kasus bedhaya misalnya, tari ini merupakan bentuk drama tari yang sangat abstract, oleh Retno Maruti diubah formatnya, selain menjadi lebih besar dengan jumlah penari yang lebih banyak, juga disertai dengan dialog dialog tembang.
  1. Re-interpretasi, yaitu memberi tafsir atau memberi makna baru terhadap suatu fenomena penyajian kesenian atau terhadap unsur ekspresi yang digunakan dalam kesenian tersebut. Seperti kita ketahui bahwa karya kesenian bersifat multi tafsir. Penonton/pendengar boleh dan syah dalam menafsirkan ekspresi seni dari suatu karya seni. Demikian juga, pada pihak seniman juga tersedia kebebasan (secara tanggung jawab) dalam menggunakan unsur unsur kesenian sebagai lambang atau simbol pemaknaan tertentu dalam rangka menyampaikan pesan terhadap penonton/pendengar.
  1. Re-orientasi. Kesenian tradisional kehadirannya hampir selalu tidak mandiri, namun hampir selalu terkait dengan kegiatan keseharian masyarakat, keagamaan atau kerajaan. Pemerintah adalah patron utama. Ketika pemerintahan bergeser dari monarki ke republik, orientasi kesenianpun bergeser mengarah patronnya yang baru. ketika ekonomi dan industri menjadi patron baru dari kesenian, tak pelak kesenian juga akan berorientasi kesana. Orientasi kesenian tersebut tersirat dalam pesan pesan yang disampaikan oleh seniman seniman melalui kekaryaanya. Dalam kasus karawitan Jawa misalnya, karya karya gendhing pada pasca kemerdekan lebih banyak berubah orientasi dari ke raja bergeser ke republik. Gening gendhing karya Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda memberi contoh contoh perubahan orientasi tersebut.
  1. Re-kreasi, yaitu membuat atau meng-create lagi sesuatu yang (sama sekali) baru. Kesenian atau informasi lama digunakan sebagai sumber, pijakan atau titik tolak untuk penciptaan kesenian yang baru, baik dalam format maupun dalam genre. Idiom ungkap kesenian baru juga sangat dipertimbangkan kalau bukannya penting untuk diciptakan. Dalam produksi kekaryaan seni, pekerjaan ini sering disebut sebagai karya yang dibuat base on atau inspired by sesuatu yang dirujuk sebagai pijakan pembuatan karya seni yang baru. Versi baru (new version) juga sering digunakan dalam kegiatan re – kreasi kesenian ini. beberapa contoh karya re-kreasi dapat disebut disini adalah wayang ceng blong Bali. Karya seperti I La Galigo bisa disebut juga sebagai karya re-kreasi. Demikian pula karya karya kolaborasi kesenian antar bangsa tidak sedikit yang bersifat sebagai karya re – kreasi. LEAR, oleh Ong Keng Sen dan the Japan Foundation, RUN karya Akira Kurusawa, dan sebagainya.

Langkah langkah yang disebut diatas merupakan sesuatu yang dapat dan biasa dilakukan oleh berbagai pihak yang melakukan revitalisasi: lembaga pemerintah, swasta, juga seniman baik praktisi maupun pencipta. Bagaimana tentang hasil yang diperoleh ? Sangat bervariasi, dari yang berhasil sampai yang gagal. Kekurang berhasilan revitalisasi kesenian, - ibarat menyembuhkan penyakit -, selain belum menemukan cara remedi revaitalisasi yang cocok-, adalah satu hal yang lebih penting, yaitu belum banyak pihak yang melakukan diagnosa penyebab kesenian tertentu menjadi sakit.

Seperti pada awal tulisan ini kami sebut sebelumnya bahwa masalah utama mengapa suatu jenis kesenian ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya adalah karena lebarnya jarak (kesenjangan) antara kesenian dengan masyarakatnya. Jarak tersebut meliputi :

  1. Jarak fisik. Sepertitelah disebut sebelumnya bahwa sekarang ini terdapat perubahan paradigma dalam cara menikmati, menonton atau mendengarkan kesenian. Sekarang ini kesenian cenderung mendatangai konsumennya, penonton atau pendengar (sampai masuk ke dalam kamar, kekantor kantor atau di mana saja konsumen berada, lewat mesin berjalan dalam bentuk cd/dvd/audio walkman, maupun lewat media cetak dan atau elektronik. Hal yang berbeda dengan cara menikmati kesenian pada masa sebelumnya yang penonton/pendengar mesti datang ke tempat diselenggarakannya pertunjukan atau pameran kesenian dengan atau tanpa membayar tiket. Harus diakui bahwa sampai saat ini masih susah didapati rekaman audio visual tentang kesenian tradisi yang tersedia di pasar maupun yang ada di perpustakaan dan dokumentasi audio visual.
  1. Jarak intelektual. Walaupun kesenian pada dasarnya multi interpretasi, artinya, orang boleh memberi tafsir yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Atau dalam pengertian yang lebih ekstrem orang tidak perlu mengerti atau memahami dalam menonton/ mendengarkan karya seni, tetapi lebih pada merasakan, menikmati atau menghayati suatu karya seni. Namun perlu dicatat juga bahwa semakin baik pemahaman seseorang terhadap suatu ekspresi seni, ia akan dapat menghayati suatu kesenian dengan lebih baik pula. Kesenian pada dasarnya merupakan sarana komunikasi antara seniman dan penghayatnya. Terdapat beberapa bahasa atau idiom tertentu yang digunakan oleh seniman untuk menyampaikan pesan kepada khalayaknya. Kemampuan intelektual dalam kadar dan bentuk tertentu dari kedua belah pihak, terutama pada pihak seniman sangat penting dalam menciptakan dan atau menjembatani komunikasi antara kedua belah pihak. Untuk seniman, terutama pencipta, kemampuan intelektual sangat menunjang dalam kreativitas kekaryaannya. Perkembangan jaman yang cepat seperti yang terjadi sekarang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi sangat besar peran dan pengaruhnya terhadap dunia kesenian, baik untuk menunjang bentuk dan kwalitas kekaryaan, juga dalam rangka pengambangan kesenian. Teknologi pencahayaan, set maupun tata suara merupakan salah satu contoh kebutuhan yang hampir tidak dapat dipisahkan dalam penyajian penyajian kesenian. Sedangkan diseminasi, alih kemampuan dan ketrampilan, sosialisasi, publikasi, dokumentasi, pemasaran kesenian dan sebagainya, bantuan produk teknologi jelas sangat dibutuhkan.

Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian terbesar dari pendukung kesenian tradisional di Indonesia pada umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Meskipun belum ada hasil penelitian yang menyebut adanya korelasi sejajar atau seiring, bahwa tingkat pendidikan seseorang selalu mencerminkan tingkat intelektualitas seseorang. Namun tidak dipungkiri bahwa pendidikan sangat besar perannya dalam mengasah kemampuan intelektual dari seseorang. Dengan bekal pengetahuan yang lebih tinggi dan atau luas, seseorang juga berepotensi untuk lebih cerdas dalam menggunakan berbagai cara dalam memberi, menerima dan mengelola (me-manage) informasi.

  1. Jarak informasi. Ketika kita berada dalam abad informasi, siapa yang paling menguasai informasi, mereka pulalah yang paling potensial untuk menguasai dunia. Sayangnya lagi, masyarakat kesenian tradisional masih jauh dari menguasai teknologi informasi dan komunikasi disebabkan oleh tingkat pendidikannya. Sebagian besar dari mereka masih gagap teknologi komunikasi dan informasi. Sebagian besar dari mereka menggunakan komunikasi lesan dalam memberikan atau menerima informasi. Sedangkan ajang pertukaran informasi, termasuk mengenai informasi tentang eveny dan terutama informasi tentang kesenian itu sendiri, seperti pasar tradisional, upacara, hajadan dan berbagai pertemuan keluarga atau masyarakat, saat ini juga semakin surut. Supermarket, EO (event organiser) telah mengambil alih kerepotan hajatan atau kerja kebersamaan antar anggota masyarakat dalam menyiapkan dan menyelenggarakan hajadan. Demikian pula acara kumpul kumpul bareng. Hajadan keluarga saat ini juga cenderung makin ringkas, praktis dan pendek. kesempatan tukar informasi antar anggota masyarakat dengan demikin menjadi semakin menyempit. Media masa, tulis maupun elektronis, juga tidak berpihak kepada kesenian tradisonal karena dianggap tidak memiliki nilai jual, sehingga masyarakat pada umumnya kurang mendapat informasi yang baik dan benar tentang kesenian tradisi. Sebaliknya informasi tentang dunia seni pop atau hiburan justru sangat meruah kalau bukannya berlebihan.
  1. Jarak emosional. Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu berlaku juga dalam kaitannya dengan kehidupan seni tradional. Kesenjangan informasi tentang dunia kesenian tradisi, menjadikan masyarakat semakin tidak tahu tentang kesenian tradisional. Apalagi secara natural, kekuatan kesenian ini bukan semata mata pada ujud fisiknya saja yang menarik atau indah, namun lebih pada makna yang terkandung pada kesenian yang bersangkutan serta guna dan manfaatnya bagi masyarakat. Beberapa makna dan guna kesenian itu antara lain dapat disebuit bahwa kesenian bermanfaat sebagai perekat kehidupan masyarakat, sarana edukasi moral, mendekatkan manusia dengan lingkungan serta penciptanya dan sebagainya.

Komunikasi dalam kesenian, - sekali lagi-, sangat penting untuk mendekatkan anggota masyarakat dengan sesama, dengan lingkungan maupun kepada Sang Pencipta. Komunikasi kesenian menggunakan bahasa lambang yang kadang “hanya” berlaku dan dimengerti oleh lingkungan (kelompok) masyarakat pendukung kesenian ini. Pengertian terhadap pemaknaan lambang pada kesenian tradisi ini semakin menipis karena pertemuan dan komunikasi antar anggota keluarga dan masyarakat juga semakin berkurang karena perubahan pola hidup. Diantara anggota keluarga sudah semakin jarang ketemu karena kesibukan masingh masing disamping tidak tersedianya space dan forum. Dongeng oleh orang tua untuk menidurkan anak sudah semakin langka. Kesenjangan pengertian ini sekali lagi menjadikan orang menjadi kurang sayang, kurang mencintai, kurang memiliki rasa memiliki (sense of belonging) dan dengan demikian menjadi kurang peduli dan tanggung jawab untuk memelihara atau mengembangkan kehidupan kesenian tradisional. Pada masa sebalumnya, masyarakat adalah pencipta, pelaku, pengguna sekaligus pemilik dari kesenian tradisi. Masyarakat dengan tulus dan ikhlas, berkenan menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan beaya demi mendukung keberadaan serta pengembangan kesenian mereka. Kebutuhan sekaligus dukungan masyarakat terhadap keseniannya dengan demikian dilandasi oleh rasa cinta, tanggung jawab, rasa memiliki, dedikasi dan komitmen yang tinggi, termasuk berbagai pengorbanan dalam berbagai hal, waktu, tenaga, pikiran dan dana.

Kesenjangan jarak jarak antara masyarakat dengan beberapa jenis kesenian yang semakin hari semakin lebar tersebut, sebenarnyalah merupakan salah satu penyebab pokok mengapa beberapa jenis kesenian menjadi surut bahkan mati. Dengan demikian, menurut hemat kami, revitalisasi kesenian diharapkan akan berhasil jika kita, pemerintah, masyarakat, seniman, sponsor, media dan berbagai pihak lainnya bekerja sama untuk mempersemit atau mengilimasi jarak jarak tersebut. Masing masing pihak bisa mengambil bagian sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Banyak uang dan fasilitas belum cukup untuk keberhasilan hajadan revitalisasi kesenian.

Seniman sebagai pelaku dan pencipta seni dapat mengambil peran yang cukup besar dalam hajadan revitalisasi, terutama melalui kegiatan kreatifnya dengan melakukan kegiatan kegiatan re-formasi, - memberi format baru -, re-interpretasi, - memberi makna baru terhadap kesenian yang sama -, serta re-kreatifnya, yaitu menciptakan bentuk kesenian baru berbasis dan atau dengan menggunakan materi lama dalam genre kesenian yang baru. Bersama dengan pihak lain yang merupakan partner kerja dalam hajadan ini, saling bekerja sama dengan mengilimasi kesenjangan jarak tersebut. Dengan membuat kesenian lebih indah dan bermakna, mudah mudahan kesenian makin memiliki fungsi yang makin luas sehingga lebih berguna bagi kemaslahatan manusia. Kesenian selain memberi hiburan lahiriah dan batiniah, ia juga mmampu memberi kebanggaan terhadap masyarakat atau bangsa yang menghidupinya, karena ia memang mampu merefleksikan sifat masyarakat tertentu dalam bentuk sebuah kemasan seni yang artistic dan bermutu.

03 April 2008

Akhirnya Penghargaan itu diserahkan di Palembang

Palembang, tradisi lisan. Dua seniman senior Sumatera Selatan, Saidi Kamaluddin dan Sahilin, Rabu, 2 Maret 2008 bertempat di ruang rapat Kadin Budpar Sumatera Selatan akhirnya menerima penghargaan Maestro Tradisi dari Menbudpar RI, Jaro Wacik yang diserahkan oleh Kepala Dinas Budpar Sumatera Selatan, Ir. Rachman Zeth, MSi dan Budi Priadi, Direktur Pembangunan Bangsa Depbudpar RI.
Penghargaan berupa piagam, plakat, dan uang sebesar Rp. 7.500.000.- masing-masing diterima langsung oleh kedua seniman senior itu. Penyerahan penghargaan tersebut memang terkesan sederhana tanpa dihadiri undangan khusus.
Seyogianya penyerahan penghargaan maestro itu direncanakan di Istana Bogor bulan lalu oleh Presiden RI. Namun sayangnya acara itu ditunda sampai pada akhirnya lima hari lalu kedua seniman menerima surat pemberitahuan dan Surat Keputusan dari Depbudpar RI.
Saidi Kamaluudin menilai sayang sekali penyerahan penghargaan itu tidak mengambil waktu yang khusus dan mengundang para seniman, budayawan dan wartawan. Di sisi lain, Rahman Zeth akan mengusahakan untuk mengulang acara penyerahan penghargaan yang langsung diserahkan oleh Gubernur Sumatera Selatan. "Saya belum bisa janjikan waktunya, karena kita harus lihat dulu jadwal gubernur, " kata Rachman Zeth. /A1/