29 Juni 2008

Membangun Opera Batak Bersama PLOt

Oleh: Thompson Hs*
Orang Batak di wilayah Sumatera Utara sejak 1920-an sampai akhir 1980-an pasti masih mengenal seni pertunjukan Opera Batak. Gaya seni pertunjukan ini muncul dalam situasi transisi kebudayaan yang ditandai oleh upaya mempertahankan tradisi dan masuknya pengaruh dari luar. Unsur-unsur tradisi dalam Opera Batak dapat dikenal melalui instrumen musikal seperti taganing, ogung, hasapi, sarune, dan hesek. Ensambel musikal ini secara umum dikenal dengan gondang. Namun sebutan gondang itu juga dapat merujuk kepada suasana ritual dan jenis repertoar yang dimainkan. Apabila dikaitkan lagi dengan konteks ritualnya, gondang terbagi menjadi gondang sabangunan dan gondang uning-uningan. Gondang terakhir kelihatannya lebih menonjol penggunaannya dalam pertunjukan Opera Batak ditambah dengan seruling yang bernada diatonis dan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari tradisi asli Batak.
Selain instrumen musikal, tarian Batak dengan sebutan tortor, juga masih ditemukan dalam Opera Batak. Pola gerak tarian Batak biasanya bersifat minimalis dan perkembangan secara maksimal dikenal melalui tumba. Tortor dan tumba dapat mengawali, mengantarai, dan mengakhiri alur pertunjukan dengan iringan musikal atau vokal. Khusus mengenai vokal dalam tradisi Batak dapat diketahui jenisnya melalui istilah andung dan ende. Andung biasanya dilakukan tanpa iringan instrumen musikal dan dipahami sebagai bentuk ratapan. Sedangkan ende merupakan lagu atau nyanyian yang bersifat hiburan dan cerminan untuk berbagai suasana tertentu. Di dalam Opera Batak, lirik-lirik ende terkadang masih disertai dengan pantun-pantun Batak dan perumpamaan yang bernama umpasa dan umpama. Satu lagu berjudul Oli-Oli Tumba dapat dikutip salah satu liriknya: lelengma di parlelengan lalapma diparlalapan/ndang sahat tu tujuan sai diporalang-alangan/arian sai marsak borngin i marangan-angan/nang di rondang ni bulan martukkol isang di alaman/ oli-oli tumba, ito…. (betapa lama di ruang waktu betapa larut di kelarutan/tak sampai-sampai ke tujuan dan selalu berhalangan/siang hari selalu bersedih malam hari berangan-angan/juga waktu purnama bertopang dagu di pekarangan/oli-oli tumba, ito….)
Unsur-unsur tradisi tersebut agaknya hanya dapat disalurkan melalui kemunculan Opera Batak. Pertunjukan ritual seperti horja bius dan bentuk-bentuk tradisi lainnya, seperti sigale-gale dan hoda-hoda, yang diiringi gondang bersama tortor sudah mulai surut dengan kedatangan kolonial, ditambah pelarangan-pelarangan kolaboratifnya. Pelaksanaan gondang di luar izin kolonialisme dianggap sebagai semangat untuk melawan atau mempertahankan situasi kekafiran. Orang Batak tidak mungkin lagi secara total dapat mempertahankan semua unsur tradisi karena ruang lama semakin dipersempit. Datangnya pengaruh-pengaruh tambahan akhirnya mendorong migrasi orang Batak ke daerah perkebunan. Dari daerah perkebunan itulah dimungkinkan masuknya pengaruh bentuk seni pertunjukan yang datang dari luar. Totalitas seni pertunjukan Opera Batak kemudian dilengkapi dengan lakon cerita dengan variasi realismenya. Dugaan mengenai aspek lakon yang melengkapi Opera Batak dipengaruhi oleh teater bangsawan di daerah Deli dan semenanjung Malaya. Grup-grup pertunjukan teater bangsawan itu juga diduga mendapat pengaruh dari wayang Parsi. Namun aspek lakon yang diserap itu disesuaikan dengan bahasa dan latar setempat. Demikian halnya dalam cerita-cerita lakon Opera Batak yang dibuat judul-judulnya seperti Siboru Tumbaga, Guru Saman, Sisingamangaraja, dan Raja Lontung untuk menyebut beberapa.
Pengaruh luar lainnya secara khusus juga sudah mulai ditunjukkan oleh penamaan Opera Batak itu sendiri. Istilah opera dikenal asalnya di daratan Eropa, terutama Italia. Opera diartikan sebagai drama yang dinyanyikan dengan gerak tariannya. Jadi keterkaitan musik/nyanyian, tarian, dan lakon dalam keseluruhan pertunjukan merupakan senyawa dan menyatu. Bukan sebaliknya, seperti yang terjadi dalam Opera Batak. Unsur-unsur yang dimainkan dalam Opera Batak tidak terkait satu sama lain. Masing-masing dapat dianggap berdiri sendiri dari sisi dramaturgi. Terkadang Opera Batak itu terkesan hanya pertunjukan variatif. Sesungguhnya penamaan Opera Batak mengandung maksud yang jelas kalau disebut dengan Opera Gaya Batak. Maksud-maksud serupa kiranya terjadi untuk Opera Peking atau yang lebih terakhir melalui idiom Opera Jawa dan Opera Melayu. Penggalian Opera Batak
Opera Batak sudah dilakukan penggaliannya beberapa kali. Namun penggalian beberapa kali itu cenderung untuk memperkuat kesan musikalnya. Ada anggapan yang terlanjur kalau pemain Opera Batak adalah para pemain musik yang menguasai intrumen musik tradisi. Sehingga para pemain yang berperan melalui aspek lakon dan tarian mendapat catatan minus. Tahun 2002 penggalian ulang dilakukan untuk semua aspek pendukungnya. Awalnya melalui kerjasama dengan pihak Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jakarta dan Pemkab Tapanuli Utara untuk memberikan pelatihan terhadap 20 orang generasi muda di Tarutung. Dari hasil pelatihan itulah sempat muncul satu grup percontohan yang dikenal dengan nama Grup Opera Silindung (GOS) dan sudah sempat melakukan pementasan Opera Batak di sejumlah tempat seperti Tarutung, Sipoholon, Medan, Jakarta, Laguboti, dan Siantar.
Tahun 2005 dilakukan pengembangan revitalisasi itu dengan ide membuka Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) di Pematangsiantar. Ide ini mulai dilaksanakan sejak 12 September 2005 atas dorongan Sitor Situmorang (Apeldoorn, Belanda) dan Lena Simanjuntak (Koeln, Jerman). Awal operasional PLOt terutama memberikan fasilitas tempat latihan, manajemen, pelatihan, kerjasama produksi, dan motivasi penggalian budaya. Sampai tulisan ini dibuat kegiatan-kegiatan yang terkait dengan PLOt adalah sebagai berikut.
a. Pelatihan Akting bersama Azuzan ZG, November 2005.
b. Pentas Opera Batak Sipiso Somalim di Balige, 27 Desember 2005 kerjasama dengan Bainfokom Sumatera Utara.
c. Pentas Opera Batak Sipurba Goring-Goring di Balige, 11 Maret 2006 kerjasama dengan Pemkab Tobasa.
d. Memfasilitasi Pentas Keliling “Black Box” Teater Prung Bandung di tiga Tempat (Medan, Siantar, Tuktuk Samosir), 26 Mei – 3 Juni 2006
e. Diskusi dan Pra Pementasan Peringatan 100 Tahun Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII bersama Sitor Situmorang, Barbara Brouwer (Belanda) dan Lena Simanjuntak (Jerman) di Pematangsiantar, 16 – 17 Juli 2006
f. Diskusi dan Pembacaan Koreografi Antologi Puisi “TULIS!” Saut Sitompul (almarhum) di Siantar, 12 September 2006
.g. Memfasilitasi Perayaan Anti Korupsi bersama JAK-SS di Pematangsiantar, Sabtu 9 Desember 2006
h. Diskusi Hak dan Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Temu Seni dan Budaya Siantar bersama Prof. Dr. Peter Jaszi (USA), Dr Jane Anderson (Australia), Ignatius Haryanto (LPS – Jakarta), dan Riyaldi Siagian (Jakarta) di Pematangsiantar, 31 Januari 2007
i. Pentas Mini Opera Batak “Paima marmutik Kopi” dalam Pembukaan Pameran Karya Togu Sinambela di Galeri Tondi Medan, 7 April 2007
j. Pentas “Si Purba Goring-Goring” pada Malam Budaya dalam Perayaan Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di Taman Budaya Sumatera Utara, Medan 2 Juni 2007
k. Pentas Keliling Opera Batak “Srikandi Boru Lopian” pada Perayaan Peringatan 100 Tahun Gugurnya Raja Sisingamangaraja XII di Pangururan (Samosir), Salak (Pakpak Bharat) dan Balige (Tobasa), 9 – 16 Juni 2007
l. Refleksi Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII dan Pentas Opera Batak “Sri Kandi Boru Lopian” bersama Sitor Situmorang di Pematangsiantar, 18 Juni 2007
m. Pentas Titik Nol bersama W. S. Irawan (Seniman pengayuh Sepeda dari Mataram), kerjasama PLOt dengan Suluh dan GSM di Pematangsiantar, 30 Juli 2007
n. Pentas Monolog Reading dan Ngobrol tentang “Bangsat” di Pematangsiantar, Jumat 12 Oktober 2007.
o. Memberi database dan sutradara Pentas Opera Batak “Guru Saman”, Pematangsiantar 28 Oktober 2007 dan Medan 25 November 2007.
Rencana tiga tahun pertama operasi PLOt di Pematangsiantar membuka fasilitasi untuk upaya regenerasi. Tahun-tahun berikutnya dipersiapkan sekaligus untuk penggalian budaya Batak dengan sejumlah program kategorial seperti pelatihan, produksi, pendidikan dan pemberdayaan, media, produksi, dan penghargaan. Untuk mewujudkan rencana ini PLOt membuka kerjasama profesional kepada berbagai pihak dan pribadi agar langkah program dapat dioperasikan melalui statusnya terlebih dahulu menjadi sebuah yayasan. Sitor Situmorang, Prof. Dr. Rainer Carle. Karl Mertes, Dr. Pudentia MPSS, Dolorosa Sinaga, Prof. Dr. Riris K. Toha Sarumpaet merupakan beberapa nama yang sudah terencana melengkapi status tersebut. Selain fasilitasi di atas PLOt melakukan aktivitas kecil sehari-hari menyangkut administrasi dan pembuatan klipping di ruang sekretariatnya yang berada di Jalan Lingga No. 1 Pematangsiantar (e-mail: plot_indonesia@hotmail.com).

*Penulis adalah Direktur Artistik PLOt
Tulisan ini dapat dilihat di http://thompsonhs.wordpress.com

1 komentar:

Unknown mengatakan...

MEMANG BAGUS OPERA BATAK. LANTAS KENAPA BANYAK ORANG BATAK MALU MENYANYIKAN LAGU OPERA BATAK, AKU HERAN LIHAT KAUM BATAK....,AKU SETUJU DENGAN KAMU TERUSKAN PERJUANGAN ORANG BATAK HORASSS