10 Desember 2008

Dialog Antar Tradisi

/Mudji Sutrisno/
1
Ada 3 tradisi yang membuat seseorang mengembangkan dirinya dalam
kebudayaan. Pertama, tradisi lisan. Ketika tuturan dan wacana serta yang umumnya
disebut diskursus menjadi tempat berekspresi, disitulah orang menyusun pengetahuan dan
menghayati norma atau nilai dalam etos ataupun estetika. Tradisi adalah ruang budaya
dimana ia merupakan rahim tempat belajar hidup, bersikap dan memaknai realitas dari
warisan yang diterima dalam pepatah, gurindam, peribahasa dan seni-seni bernafaskan
ajaran hidup baik dan hidup bahagia. Tradisi lisan merupakan ruang ekspresi lisan dan
wacana sebelum ditulis dalam tradisi tulisan. Dengan kata lain, kelisanan merupakan
ruang bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup bermakna sebelum
keberaksaraan dituliskan.

Kedua, tradisi tulis adalah tradisi mulai diberaksarakannya dalam simbol
alfabetisasi yang dengan abjad menuliskan pengalaman-pengalaman hidup yang ada
dalam tradisi lisan untuk dituliskan. Sejarah bahasa tulis merupakan sintesis antara apa
yang disebut oleh Ferdinand de Saussure dalam bahasa formal tertulis yang mengikuti
persyaratan logika keberaksaraan hingga dimengerti sebagai langue misalnya dalam
kaidah bahasa Indonesia tulis sebuah kalimat menjadi dimengerti kalau mengikuti aturan
logika bahasa tulis S-P-O-K (Subjek – Predikat – Objek – Keterangan). Tradisi tulisan
disebut oleh Wolter J. Ong sebagai keberaksaraan yang disepakati pemakai bahasa untuk
menuliskan pengalaman menghayati hidup bukan dalam kelisanan dan bukan sebagai
diskursus. Apa yang hilang ketika dari tradisi lisan pengalaman hidup ditulis? Roh,
suasana dan konteks tak tertuliskan dan tak terbahasakan secara alfabetikal dalam
kelisanan tereduksi oleh hukum logika tulis yang dalam semiotika (sistem tanda) mau
dikembalikan menjadi terbaca. Apa yang hilang dari kelisanan ketika dituliskan? Adalah
seluruh suasana tuturan dan getar cakapan-cakapan yang tidak terangkum dalam logika
bahasa tulis. Pertanyaan kritis disini adalah pada awalnya lebih dahulu terjadi tradisi lisan
dengan episteme (jejak pengetahuan yang merupakan pengetahuan lapangan hidup
sehari-hari) ataukah tradisi tulisan yang merupakan tempat studi refleksi atas realitas
dalam bahasa tulis?
2
Karena itu, Ferdinand de Saussure melanjutkannya dalam wilayah parole yaitu
wilayah bahasa cakap-cakap dan lisan sehari-hari, namun bila mau meneliti secara ilmiah
refleksi realitas tidak bisa disini, tetapi harus di wilayah langue (bahasa resmi).
Dari dua tradisi lisan dan tulisan, ketika seseorang lahir didalamnya, maka ia tidak
hanya sudah berada dalam rahim salah satu tradisi, misalnya lisan, tetapi sekaligus ia
mengemban tradisi yang taken for granted dalam dirinya itu untuk dikembangkan dan
menjadi tugas kebudayaan dalam membahasakan dan memaknai kenyataan. Disini agar
seseorang melanjutkan tradisinya sebagai tugas kebudayaan ada dua syarat yang harus ia
penuhi. Syarat pertama ia harus memahami dan hidup dari tradisinya serta mampu
menangkap roh-nya. Syarat kedua ia harus mampu mendialogkannya dengan
perkembangan traidisi baru dalam dinamika kebudayaan yang ia jumpai. Dengan kata
lain, roh tradisi lisan, dimana misalnya seni adalah mempermuliakan kehidupan dan
merayakannya dalam upacara, ritus festival lalu bertemu dengan formalisasi keharusan
penulisan secara logis, rasional, sistematis, disana: roh kelisanan yang memuliakan hidup
harus tetap menemukan perayaannya dalam keberaksaraan tradisi tulisan. Sebab,
formalisasi tulisan atau teks tertulis itu berciri membakukan, namun mudah membekukan
apa-apa yang festival dan makna perayaan tak tertulis dari pengalaman menghayati
kehidupan.
Bagaimana ikhtiar mengambil roh tradisi lisan? Dengan hidup didalamnya,
merayakan dan menyerap melalui para local genius: kearifan-kearifan budaya setempat;
dengan mendeskripsi apa yang benar-benar hidup dan sedang dihidupi oleh budaya
tradisi lisan serta dari dalam (intrinsik) berusaha membaca makna di balik tanda; renung
arti di balik penanda dan nyanyi-nyanyi kebijaksanaan hidup di balik dongeng-dongeng
lisan, pantun, hikayat kebijaksanaan serta rupa-rupa ajaran harmoni alam, harmoni langit
dan harmoni antar sesama. Tradisi kelisanan disini amat muncul dalam religi bumi yang
memuliakan kehidupan tanah dan air dimana manusia mendapatkan hidupnya dari bumi,
maka ia tidak akan memperkosanya dan menghancurkannya. Sementara itu religi langit
lebih menggantungkan pujian syukur atas kehidupan pada yang di LANGIT, sehingga
ekspresi hormat pada bumi kadang dikalahkan pada yang vertikal.
Dalam dialog antara tradisi lisan dan tulisan, bila salah satu tradisi belum
dipahami oleh yang bersangkutan sebagai rahim budayanya kemudian ia dihadapkan
3
pada tradisi berikutnya, akankah terjadi hibriditas atau wajah indo dalam pembatinan
rahim tradisi? Lebih tajam lagi, apabila seseorang belum meminum dari sumur-sumur
tradisinya, apakah ia akan meloncat dalam keadaan terpecah ke dalam tradisi mutakhir
yang menerpanya: tradisi kelisanan kedua atau secondary orality dalam budaya media tv
dan talkshow? Jawaban pertama, dari mazhab kehidupan harus berakar menegaskan
pentingnya akar atau oasis tradisi seseorang untuk identitasnya. Jawaban kedua, dari
mazhab bahwa seseorang langsung berziarah sejak ia dilahirkan dalam tradisinya apa pun
isinya, tidak usah mencari-cari akar, namun bertitik tolak dari eksistensinya ia berhak
terus melanjutkan proses budayanya semisal seseorang yang lahir sekaligus dengan
campuran kebatakan, kejawaan dan keindoensiaan di Jakarta, tidak harus ia menyelami
tiga tingkatan tradisi bahasa Jawa halus dan tidak harus tahu bahasa Jawa, namun yang
penting adalah proses ziarah Indonesia dan pasca-Indonesia. Dengan demikian ruang
dialog antar tradisi bisa sekaligus dilakukan bertahap dan serentak antara kelisanan dan
tulisan, antara kejawaan dan keindonesiaan, antara tradisi lisan dengan tulisan dan yang
paling akhir dengan budaya visual.

Catatan: Tulisan ini telah disajikan pada Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan VI, 1-3 Desember 2008 di Wakatobi.

Tidak ada komentar: