21 Desember 2008

Seni, Budaya, dan Pembangunan



 Jhon Mc Glynn

A. Pendahuluan
Sejak tahun 1998, Indonesia telah mengalami transisi bersejarah. Maka, tidak mengherankan jika di dalam masa transisi tersebut, banyak perubahan besar yang terjadi—termasuk penggantian pemerintahan beberapa kali, krisis ekonomi, munculnya kelompok-kelompok agama yang fundamentalis, peningkatan kesadaran terhadap hak otonomi daerah dlsb.
Kejadian-kejadian ini ini dibarengi juga dengan munculnya berbagai komentar dan kritik dari kalangan praktisi seni-budaya yang disalurkan melalui berbagai macam bentuk sastra, seni rupa, dan seni pertunjukan—terutama belakangan ini, sebelum dan sesudah pemerintah mensahkan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi tanpa begitu menghiraukan suara protes dari berbagai macam kalangan.
Selama masa transisi ini, sebagai tanggapan atas perubahaan yang terjadi, pelbagai lembaga donor, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri, memelopori sejumlah program atau inisiatif baru dalam bidang senibudaya yang bertujuan mendukung proses reformasi dan transformasi yang sedang terjadi di Indonesia, antara lain dengan menciptakan ruang publik dalam skala lokal bagi masyarakat yang ingin mengekspresikan minat individu dan menegosiasikan solusi bersama. Dapat disebutkan di sini, berbagai macam media alternatif seperti radio rakyat, pertunjukanpertunjukan oleh kelompok-kelompok teater di daerah, pelatihan fotoethnografi dlsb. Walupun kebanyakan usaha yang baru disebutkan dikemas dalam bingkai “seni-fokus” fokus dari usaha tsb. sebetulnya diletakkan pada dimensi “pembangunan.” Biarpun begitu, dapat dikatakan pula bahwa usahausaha ini merupakan sebuah trend baru, yaitu keterlibatan para “penerima” hasil pembangunan di tingkat lokal dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai salah satu contoh dari trend tsb.,dalam pelaksanaan Program Pengembangan Kabupaten (PPK) — yang sekarang bernama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri (PNPM-Mandiri) — yang menyalurkan dana kepada tingkat kabupaten, kebijakan mengenai penggunaan dana mengharuskan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya.
Hal di atas memperkuatkan pandangan bahwa telah terjadi sebuah perubahan mendasar dalam proses pengambilan keputusan, apalagi kalau dibandingkan dengan masa pra-lengser ke prabon dimana hampir seluruh keputusan diambil di tingkat pusat tanpa masukan lokal. Hal ini menunjukkan pula bahwa dalam proses pembangunan negara, tak ada dan tidak boleh ada perbedaan tajam antara “pembangunan,” “pengembangan masyarakat,” dan “perubahan sosial.” Sebagaimana telah disebutkan, sejak tahun 1998 terdapat sejumlah usaha yang ditujukan menghubungkan kegiatan kebudayaan atau usaha kesenian dengan program pembangunan — terutama di daerah-daerah konflik seperti Aceh, Maluku, Papua dlsb. Selain menghibur, kebanyakan usaha itu mempunyai tujuan menyebarluaskan informasi mengenai pelbagai topik guna memacu pembicaraan di dalam masyarakat, terutama antara anggota yang masih menganut kebudayaan lisan daripada kebudayaan tulisan.
Walaupun dapat terlihat tanda-tanda keberhasilan dalam beberapa program tersebut dan walaupun juga dapat dilihat pertumbuhan konsensus yang semakin luas, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, bahwa “kebudayaan” merupakan salah satu kunci dalam pengembangan masyarakat, sampai sekarang ini belum ada usaha sistematis dalam menggabungkan program pembangunan sarana dan prasarana dengan pembangunan di bidang atau sektor kreatif, termasuk pengembangan, pemeliharaan, dan pelestarian tradisi-tradisi seni budya.

B. Kebudayaan Sebagai Perekat Bangsa

Sebagaimana disiratkan oleh pernyataan Kongres Pemuda pada tahun 1928 bahwa bahasa Indonesia adalah unsur pemersatu negara, demikian juga harus diakui bahwa tradisi-tradisi seni-budaya merupakan perekat suku dan bangsa. Guna menguji teori tersebut, mulai dua tahun lalu saya bersama sebuah tim survei yang dikoordinir oleh Yayasan Kelola dengan bantuan dari Bank Dunia, mengadakan penelitian mengenai tradisi-tradisi kesenian dan kebudayaan mana yang dianggap oleh para pelaku, ativis, dan pemerhati seni-budaya sebagai perwujudan identitas kebudayaan baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat nasional.
Pada waktu bersaman kami juga mempelajari tradisi atau kegiatan senibudaya mana yang perlu diberi bantuan dan usaha-usaha apa yang kalau diadakan dalam skala besar dapat membantu menjamin keterlangsungan pengembangan di dalam lingkungan seni budaya Indonesia. Dalam usaha yang baru digambarkan, tim kami menyelenggarakan dua rapat curah pendapat di Jakarta dan Makasar dan delapan pertemuan kelompok terfokus di Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Kupang, dan Ambon. Para peserta, yang secara keseluruhan berjumlah 200 orang lebih, terdiri dari budayawan semua, termasuk seniman, pengarang, aktivis seni-budaya dlsb. Para peserta mewakili hampir semua bidang di dalam sektor kreatif.
Kedua pertemuan curah pendapat berfokus pada isu konseptual seperti arti dan nilai kehidupan kreatif di dalam kehidupan nasional sedangkan pertemuan kelompok terfokus lebih memperhatikan tantangan kehidupan seni-budaya di tingkat lokal. Pada kedua jenis pertemuan ini, kami berusaha mencari jawaban untuk sederetan pertanyaan mengenai peranan kesenian dan kebudayan dalam kehidupan bangsa.
Salah satu pertanyaan yang dilontarkan kepada peserta adalah “Tradisi atau kesenian apa dapat dilihat sebagai tradisi lintas-budaya, yaitu sebuah tradisi kesenian yang mempunyai cakupan geografis yang luas dan dapat menunjang identitas nasional?”
Jawaban peserta bermacam-macam tapi dari 138 orang yang memberikan jawaban tertulis hampir 100 orang memandang seni pertunjukan dan sastra, termasuk tradisi lisan, sebagai bidang seni yang paling perlu diberikan dukungan.
Kami juga menanyakan “Tradisi atau jenis kesenian daerah mana yang paling menunjang identitas lokal?” Ternyata, jawaban untuk pertanyaan ini hampir sama dengan jawaban tadi. Dari 138 orang yang memberikan jawaban tertulis, hampir 100 menyatakan bahwa seni pertunjukan dan sastra, termasuk tradisi lisan, adalah bentuk ekspresi kebudayaan yang paling memberikan warna khas pada daerahnya dan perlu ditunjang. Dalam pembicaraan dengan peserta dan responden, kami kemudian menanyakan usaha apa yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah atau dengan bantuan dari pemerintah untuk mendukung perkembangan sektor kreatif baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat propinsi dan nasional. Dalam hal ini mayoritas peserta menyebutkan satu hal sebagai usaha yang paling perlu dikerjakan, yaitu didirikannya lembaga pendidikan dan diselenggarakannya program pelatihan, baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat propinsi dan nasional. Pendidikan dalam bidang pengelolaan seni serta pelatihan dalam bidang pemasaran bagi anggota sektor kreatif juga disebutkan sebagai hal yang mutlak perlu.
Para peserta menghimbau pemerintah dan sektor swasta menyediakan bantuan finansial yang nyata — dalam bentuk hibah, misalnya — baik kepada perorangan maupun kepada komunitas di dalam sektor kreatif, yang bisa dipakai untuk perencanaan, investasi, dan penunjangan sektor kreatif, terutama melalui penyelenggaraan pertunjukan dan kegiatan kreatif lain. Usulan lain yang sebaiknya dikerjakan termasuk didirikannya jaringan informasi untuk menghubungkan komunitas kreatif yang ada di Indonesia baik dengan komunitas domestik maupun dengan komunitas luar negeri; pemetaan dan dokumentasi sektor kreatif; dan penyediaan bantuan dana untuk festival, pameran, dan expo perdagangan di setiap tingkat. Dibukanya ruang kreatif yang bebas dari campur tangan oleh berbagai macam kelompok berkepentingan khusus — pemerintah, suku, agama dlsb.
dianggap sangat perlu juga. Memang kenyataan menunjukkan bahwa di dalam negara yang seluas Nusantara ini terdapat relatif sedikit tempat dimana semua warga bisa bebas berkarya atau berekspresi. Sebagai catatan, hampir di setiap tempat yang dikunjungi tim saya, terdapat gedung dan balai kesenian milik pemerintah yang tidak dikelola dengan baik dan segan digunakan oleh seniman di daerahnya gara-gara ketidakbebasan dan intervensi oleh pemerintah setempat.

C. Sebab-Musabab

Di dalam pertemuan-pertemuan diatas, salah satu topik pembicaraan lain adalah masalah yang dihadapi sektor kreatif pada umumnya dan seniman pada khususnya di daerah masing-masing. Ratusan jawaban tertulis yang kami peroleh dari kesepuluh tempat digabung kemudian dikelompokkan dan dihitung agar dapat dilihat masalah-masalah mana yang sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu. Dalam hal ini, paling sering disebutkan enam kendala yang menurut para responden paling menghambat pengembangan sektor kreatif, yaitu:
1. Kekurangan visi dan pemikiran kreatif pada pihak pemerintahan, termasuk tidak adanya kebijakan kebudayaan yang komprehensif dan diterapkan secara konsisten;
2. Kekurangan pengetahuan pada pihak pemerintahan mengenai sektor kreatif serta kekurangan apresiasi terhadap nilai kegiatan sektor kreatif, baik nilai spiritual maupun nilai ekonomis;
3. Kekurangan penyaluran dana kepada sektor kreatif yang telah berlangsung puluhan tahun;
4. Represi oleh pihak pemerintah terhadap kegiatan kebudayaan, terutama kegiatan yang tidak mencerminkan pandangan pemerintah pusat yang cenderung bersifat sentris dan atas-ke-bawah;
5. Kekurangan keterlibatan komunitas kreatif dalam sistem tata negara di setiap tingkat pemerintahan;
6. Kekurangan keahlian manajemen dan berorganisasi pihak sektor kreatif.
Dari keenam jawaban di atas dapat dilihat bahwa lima diantaranya berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan, pemeliharaan, dan pelestarian tradisi-tradisi kesenian dan kebudayaan. Masalah-masalah yang baru disebutkan itu bukan masalah kecil. Dan apabila jawaban-jawaban itu benar, apa yang bisa dikerjakan?

D. Perubahan Kebijakan

Di dalam survei lanjutan, dimana kami menanyakan apa yang sebaiknya dikerjakan, para responden hampir secara mutlak menyatakan tidak akan ada penyelesaian masalah tanpa perubahan yang mendasar dan menyeluruh di pihak pemerintah — dari tingkat atas sampat tingkat bawah. Pembenahan setengah hati atau perombakan yang bersifat tambal sulam tak akan berhasil mengubah keadaan.
Berdasarkan asumsi yang baru disebutkan, apabila pemerintah hendak dihimbau meninjau kembali pandangannya terhadap sektor kreatif dan mengikutsertakan sektor kreatif di dalam perencanaan, seharusnya disadari bahwa perubahan pandangan ini mesti terjadi di setiap tingkat pemerintahan—bukan di tingkat pusat atau di tingkat lokal saja. Tak akan ada perubahan di tingkat bawah tanpa perubahan di tingkat pusat dan sebaliknya juga.
Sebagaimana dinyatakan hampir semua responden, perkembangan sektor kreatif di negara ini tak akan terjadi tanpa perubahan hakiki baik dalam cara pemerintah memandang sektor kreatif maupun dalam cara pemerintah membantu sektor ini.

E. Pembentukan Program Komunitas Kreatif

Berdasarkan kesimpulan yang disampaikan oleh para responden di atas serta wawancara yang dilakukan di luar rapat dengan lebih dari 70 orang lain, para anggota tim survei kami mengusulkan pembentukan sebuah wadah atau program baru bertajuk “Program Komunitas Kreatif.” Meski perlu didirikan dengan bantuan dari pemerintah, salah satu target jangka menengah adalah penjelmaan program ini menjadi sebuah lembaga otonom yang bertanggungjawab atas pelestarian dan penunjangan kehidupan kreatif serta perlindungan atas warisan kreatif nasional. Setiap kali ada perubahan dalam pemerintahan, ada perubahan juga dalam kebijakan pemerintah terhadap sektor kreatif dan aset-aset kebudayaan. Pembentukan wadah baru ini dimaksudkan memberikan konsistensi pada pengembangan sektor kreatif secara nasional. Gagasan kami ini sebagian dilhami oleh program WPA (Works Progress Adminstraion), sebuah program kesenian yang didanai pemerintah Amerkia Serikat selama masa depresi pada tahun 1930an. Melalui program tsb., sejumlah usaha berskala besar diselenggarakan dalam bidang seni-budaya yang manfaatnya dirasakan hingga saat ini. Salah satu contoh adalah perekaman dan transkripsi cerita-cerita rakyat—kebanyakan cerita lisan—dan lagu-lagu daerah, yang masih menjadi inspirasi bagi penulius dan seniman masa kini. Contoh lainnya adalah penerbitan semacam panduan seni budaya untuk seluruh negara bagian yang di kemudian hari sangat mendukung industri wisata dalam negeri.
Sumber lain dari gagasan di atas berasal dari Indonesia, terutama pada tingkatan lokal dimana para wakil seni-budaya lokal — seperti seniman, penulis, penyair, penyanyi, pengukir, penari dan lain sebagainya —dipandang lebih jujur dan lebih prihatin terhadap pembangunan lokal dibandingkan dengan pemimpin pemerintah.
Komunitas seni-budaya ini serta tradisi-tradisi kebudayaan yang mereka lestarikan merupakan wadah ilmu lokal yang sampai sekarang belum cukup dipelajari atau dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan di kalangan pemerintahan, padahal justru dengan memberikan dorongan dan semangat pada para wakil budaya ini akan terbentuk sebuah koalisi yang bersiap ikut membangun negara.
Karena “kebudayaan” ikut memberikan arti kepada sebuah masyarakat, maka kesenian merupakan bagian yang tak boleh terpisahkan dari proses pengembangan daerah hingga nasional.

F. Misi dan Tujuan Program Komunitas Kreatif

Berdasarkan saran dan usulan yang kami peroleh dari responden, kami menyusun misi dan tujuan program Komunitas Kreatif yang dapat diringkas sebagai berikut:
1. Menyusun pedoman, kebijakan, dan peraturan yang akan diperlukan dalam usaha mendirikan jaringan komunitas kreatif secara nasional;
2. Menciptakan mekanisme penunjangan kebudayaan yang otonomom, independen, dan dapat dipercaya pada semua tingkat serta mendirikan kerangka sistem finansial dan prasarana baik bagi sektor pemerintah maupun sektor swasta untuk sektor kreatif;
3. Mendirikan jaringan informasi dan/atau memperbaiki jaringan informasi yang sudah ada;
4. Memfasilitasi akses kepada sektor kreatif dan hasil karya sektor tersebut, baik untuk warga Indonesian maupun untuk luar negeri;
5. Mengadakan atau mensponsori penelitian dan dokumentasi mengenai seni-budaya Indonesia;
6. Mengadakan atau menunjang usaha yang mampu meningkatkan daya kemampuan sektor kreatif;
7. Memfasillitasi kegiatan yang menunjang pendidikan dan/atau penghargaan seni untuk khalayak ramai;
8. Mengadakan atau memfasilitasi penciptaan jaringan antara komunitas-komunitas kreatif;
9. Mengadakan advokasi untuk sistem hak milik dan/atau hak cipta untuk sektor kreatif;
10. Menunjang pendekatan budaya dalam usaha pembangunan nasional serta menciptakan peluang pekerjaan dan akses pasar yang adil untuk sektor kreatif.

G. Khayalan atau Kemungkinan

Apakah penciptaan Komunitas Kreatis sebuah khayalan? Sebenarnya, berdasarkan proposal yang kami susun dan dengan bantuan keuangan dari Bank Dunia, sejak tahun lalu sudah mulai diselenggarakan sebuah pilot project untuk Komunitas Kreatif di beberapa kabupaten di NTT, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah. Program ini dilaksanakan melalui program PNPM. Apakah pilot project itu akan berhasil, masih menjadi pertanyaan besar, apa lagi kalau tidak didukung secara berkesinambungan oleh pemerintah. Namun saya yakin, dengan keberhasilan program seperti ini akan lebih terwujud pula negara yang lebih demokratis—sebuah hikmah yang tak dapat dihitung nilainya.
Di dalam pasal kesembilan belas Deklarasi Hak Aasasi Manusia tertulis, “Setiap manusia mempunyai hak berekspresi dan berpendapat.” Secara tersirat, pasal ini memberikan pemayongan buat semua bentuk seni dan hampir segala jenis ekspresi seni. Dalam pasal ke-27 dari deklarasi yang sama terbaca, “Setiap manusia mempunyai hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan kebudayaan komunitas.” Dalam hal ini “partisipasi” tidak saja berarti hak untuk menciptakan tarian, tulisan, lukisan, tenunan, musik dan film tapi berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan kreatif komunitas.
Demokrasi dapat berakar di tempat mana pendapat kelompok minoritas memainkan peranan dalam kehidupan sosial dan budaya. Kekayaan kebudayaan Indonesia justru terletak kepada keanekaragaman bentuk seni dan jenis ekspresi kreatif yang terdapat di kepulauan ini. Maka sudah waktunya ada kebangkitan baru — kebangkitan peranan kebudayaan dan kebijakan pemerintah. Sebagaiamana dulu pada tahun 1928 para budayawan muda mengumumkan harapan untuk berdirinya sebuah negara bernama Indonesia, sudah waktunya, satu abad kemudian, para budayawan Indonesia memainkan peranan lebih aktif dalam perkembangan dan kehidupan bangsa ini.

Catatan: Tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar Internasi/onal
dan Festival Tradisi Lisan, 1-3 Desember 2008 di Wakatobi yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta

Tidak ada komentar: