Menghidupi Tradisi Literasi:
Problematika bagi Siswa, Guru, Sekolah, dan Negara
Oleh Wachid Eko Purwanto*
Prof. Leo Fay (1980), mantan presiden International Reading Asociation (IRA) pernah meyakinkan para koleganya dengan sebuah kalimat ringkas, to read is to prossess a power for transcending whatever physical human can muster.
Di Indonesia, faktor yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan membaca adalah, pertama, tradisi kelisanan (orality) yang secara historis-kultural masyarakat kita menyimpan warisan budaya lisan atau budaya tutur yang hampir-hampir telah memfosil. Berapa abad saja kita pernah kehilangan momentum literasi disebabkan masyarakat tempo dulu lebih memanjakan tradisi lisan (omong-dengar) dari pada tradisi literasi (baca tulis). Baru sekitar paruh abad VIII tradisi kita mengenal budaya literasi sebagai persinggungan dengan budaya Hindu, Budha, dan Islam. Itu pun baru menyentuh segelintir golongan, seperti elit kerajaan dan agamawan. Pada paruh abad XIX tradisi literasi berkembang; bersinggungan dengan para priyayi.
Bersamaan dengan itu, lembaga pendidikan kolonial Belanda menyebarluaskan lebih merata, hingga akhirnya setelah kemerdekaan, sekolah-sekolah bangsa kita meneruskan tradisi baca-tulis tersebut kepada masyarakat umum. Dapat diperhitungkan, persinggungan budaya literasi masyarakat kita bisa diibaratkan sebagaimana bocah yang sedang belajar berjalan. Bandingkan dengan catatan sejarah bangsa lain, Jepang misalnya, memerlukan satu abad untuk membentuk tradisi literasi, yakni saat dimulainya Restorasi Meiji. Pada zaman tersebut Jepang melakukan kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi secara besar-besaran. Negara itu juga mengupayakan budaya literasi kepada masyarakatnya. Pada saat itu Jepang bukanlah negara yang ‘diperhitungkan’ bangsa-bangsa lain, namun sekarang telah terbukti negara Matahari Terbit itu menjelma raksasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, akibat sistem persekolahan kita yang kurang memberi peluang bagi tradisi literasi kepada peserta didik. Sampai saat ini model pengajaran di kelas pada umumnya masih bersandar pada tataran lisan sang guru. Guru menjadi terlalu banyak bicara, sedangkan siswa terlalu sukar menjadi pendengar. Berbagai pendekatan pendidikan yang selayaknya mensyaratkan hadirnya tradisi literasi lebih banyak dilakukan dalam perspektif kelisanan. Para guru, maaf, pada umumnya jarang menjadikan kegiatan membaca sebagai frame of reference (kerangka berpijak) pembelajaran yang ia lakukan kepada para siswa. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof Ahmad Slamet Harjasujana; manusia-manusia yang dihasilkan oleh persekolahan kita masih merupakan masyarakat aliterat, yakni manusia-manusia yang bisa membaca namun lebih memilih untuk tidak membaca. Dikarenakan kegiatan membaca hanya sekedar kegiatan yang tidak mendapat penekanan utama dalam dunia pendidikan kita.
International Achievment Education Asociation (IAEA) sebagai salah satu badan UNESCO pernah membuat laporan penelitian di negara-negara yang anak-anaknya memiliki minat dan keterampilan baca yang baik, misal Amerika, Finlandia, dan negara-negara Eropa, pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai akses mudah dalam mendapatkan bermacam bacaan berkualitas, baik di perpustakaan sekolah maupun di rumah. Penelitian yang pernah dipublikaskan sekitar tahun 1988 tersebut betapa membikin sedih, bahwa pada penelitian ini, anak-anak Indonesia menduduki peringkat ke 29 dari 30 negara yang menjadi sampel. Tampaknya, sesudah hampir duapuluh tahun negara kita tercinta masih belum beranjak dari kedudukan miris ini, sebagaimana yang disitir Taufik Ismail, kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan memalukan, ke seratus sekian dari negara-negara lain.
Lantas, apakah kita harus terus menyalahkan ‘dosa asal’ yang dilakukan oleh nenek moyang kita dalam memanjakan tradisi lisan? Tentu sudah tidak pada tempatnya, sebab sekaranglah waktunya berbenah jika tidak mau merasakan ketertinggalan yang lebih parah. Kita bisa mulai dari langkah sederhana dengan memahami bahwa kemahiran membaca adalah conditio sine quanon, prasyarat mutlak bagi setiap manusia yang ingin memperoleh kemajuan. Sebuah contoh peristiwa mungkin akan lebih menguatkan, sebutlah misalnya seorang Hartoonian, salah satu politikus AS yang pernah diwawancarai oleh seorang wartawan perihal apa yang harus dilakukan oleh bangsa Amerika untuk mempertahankan supremasinya. Jawaban yang tidak disangka dari Hoortanian, if we want to be a super power we must have individuals with much higher levels of literacy. Wow, bukankah tradisi literasi adalah sesuatu yang sangat luar biasa, bisa mengantarkan masyarakatnya memegang kekuasaan adidaya?
Saat ini, hal perlu menjadi fokus perhatian adalah masihkah bangsa kita belum juga sadar pentingnya budaya literasi? Sebagian orang di belahan negara lain sudah bisa berangkat wisata ke bulan, sebagian masyarakat kita masih terheran-heran dengan perangkat komputer. Sebagian yang lain berangan-angan, bagaimana caranya bisa membeli ponsel bekas. Akan tetapi, jarang yang mempunyai pikiran, bagaimana negara kita bisa menciptakan pesawat terbang yang lebih nyaman atau minimal membuat kendaraan sendiri tanpa mengimpor suku cadang. Bukankah suatu negara yang menguasai teknologi tertentu, apalagi dengan menjadikannya hak paten bisa membuat tambang yang tidak habis-habis menghasilkan keuntungan?
Boleh saja, saat ini kita berkata beruntung; kekayaan alam masih melimpah, tapi entah dua-tiga-empat generasi mendatang. Saat ini, bahkan di semua wilayah tambang bumi, masyarakatnya hanya menjadi buruh kasar. Anehnya, mereka merasa bangga memakai seragam perusahaan asing, juga upah yang tidak seberapa dibanding penghasilan investornya. Lebih parah lagi, buruh kerja tambang ini sebagian besar usia sekolah. Mereka tidak ingin sekolah dikarenakan sebagian teman sebaya dan tetangga yang pernah mencicipi sekolah lebih tinggi tidak bekerja ketika pulang kampung selain menjadi buruh kasar tambang. “Lalu, apa bedanya sekolah dengan tidak sekolah?” Itulah pendapat kasar yang sebagian besar dibenarkan oleh keadaan.
Di sinilah sesungguhnya sekolah dituntut peran strategisnya. Sekolah merupakan lembaga legal-formal yang sengaja diadakan pemerintah untuk mencapai target-target pendidikan tertentu. Akan tetapi, sampai detik ini jikalau mau jujur, kurikulum pendidikan di negara kita, saya percaya, masih belum sepenuhnya dapat dipercaya. Kurikulum kita memang berupaya mati-matian mengangkat anak-anak didiknya dari kebodohan, minimal bebas buta aksara, namun di sisi lain tidak juga mengupayakan kecerdasan. Hasilnya, sekolah-sekolah kita magel, dalam istilah Jawa tidak mentah tetapi tidak juga bisa matang. Apabila magel terjadi pada buah-buahan, maka pantasnya cuma dibuang!
Perhatikan kurikulum kita, bukankah tampaknya kurikulum ini lebih senang membebani para pekerja pendidikan dan peserta didiknya dengan tugas-tugas untuk sekedar meraih target nilai yang ditetapkan dari atas sana daripada membuat mereka merasa senang, nyaman, dan selalu kehausan berbagi dan menuntut ilmu? Memang benar, target nilai akan selalu dibutuhkan, namun perlu juga diingat bahwa pemenuhan target nilai bukan satu-satunya kewajiban pertama dan utama sekolah. Saat ini di beberapa wilayah target nilai malah menjadi masalah baru, lebih lagi apabila seorang gubernur atau bupati sudah menargetkan wilayahnya lulus 100%. Bisa dipastikan yang akan tertimpa abu panas adalah para kepala sekolah dan guru. Pekerja pendidikan bakal pontang-panting menyulap nilai peserta didiknya.
Dilihat dari sudut pandang lain, selama ini target nilai telah menjelma menjadi hantu menakutkan bagi siswa, bukannya pendorong semangat belajar. Lantas, apa yang salah? Hal yang perlu dibenahi adalah tradisi literasi bagi para siswa. Tidak bisa dipungkiri, hanya sekolah sebagai lembaga pendidikan legal-formal yang dapat ‘memaksa’ para siswa untuk menjadikan tradisi literasi sebagai gaya hidup. Apabila tradisi literasi ini sudah mengakar kuat dalam diri siswa, seberapa pun tingginya target nilai yang diinginkan pemerintah akan dengan mudah tercapai. Sebagai bukti, bukankah siswa-siswa yang berprestasi selalu mempunyai latar belakang tradisi literasi yang mengakar?
Ebel (1972: 35) pernah mengingatkan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kemampuan pemahaman bacaan yang dapat dicapai oleh peserta didik dan perkembangan minat bacanya bergantung pada faktor berikut, pertama, peserta didik yang bersangkutan. Kedua, keluarga. Ketiga, kebudayaannya. Keempat, situasi sekolah. Sedangkan Pearson memilahnya menjadi dua faktor utama, yakni faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa kepemilikan kompetensi bahasa si pembaca, minat, motivasi, dan kemampuan membaca. Faktor ekstrinsik terbagi dalam dua kategori, pertama, unsur yang berasal dari dalam teks bacaan berkait dengan keterbacaan (readibility) dan organisasi teks atau wacana. Kedua, unsur yang berasal dari lingkungan baca; berkait dengan fasilitas, guru, model pengajaran, dll.
Di sinilah peranan pemerintah dalam dunia pendidikan dituntut untuk menghidupi budaya literasi para siswa. Caranya dengan menyediakan bahan bacaan yang berkualitas dengan kuantitas memadai, membuat opini publik lewat iklan layanan masyarakat bahwa tradisi literasi merupakan landasan penting bagi kemajuan individu dan negara, menyediakan media yang dapat menampung aspirasi dari hasil-hasil tradisi literasi, dan yang lebih penting adalah tidak memanfaatkan tradisi literasi sebagai proyek, sebab hanya akan menjadi bumerang bagi pemerintah nantinya.
Pertanyaannya, beranikah kita mengubah kegiatan membaca sebagai frame of reference, dengan ‘memaksa’ para peserta didik mengunyah tradisi literasi? Ingat, apabila kita tidak memaksakan pil pahit ini, entah sampai generasi ke berapa ratus anak didik kita mampu menjadi manusia-manusia unggul. Bukankah kita sepakat bahwa semua jenis peradaban selalu berpangkal tolak dari satu hal sederhana saja, yaitu menghidupkan dan menghidupi tradisi literasi?
Oleh karena itu, agar penyakit yang diderita bangsa ini tidak semakin kronis, ada baiknya kita cerna pernyataan Andre Morois, sastrawan Perancis, pada hakekatnya salah satu misi terpenting kehadiran dunia persekolahan mulai SD hingga perguruan tinggi adalah untuk mengantarkan para peserta didik agar mampu “membuka gerbang perpustakaan” sendiri, atau dengan kata lain, manusia yang mencetak manusia-manusia berbudaya literasi. Morois, lebih lanjut secara tajam mengatakan: apabila dunia persekolahan tidak mampu merealisasikan misi tersebut, proses bersekolah boleh dianggap sebagai suatu kegiatan yang sia-sia!
* Wachid Eko Purwanto, S.Pd. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Kompas, Koran Sindo, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Jurnal Perempuan, Jurnal Kreativa, Koran Merapi, dan beberapa media lainnya. Bergiat di MISHBAH Cultural Studies Center. (sumber:www.tandabaca.com)
22 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar