17 November 2008

Tradisi Lisan Diabaikan

Punya Potensi Besar bagi Industri Kreatif


Jakarta, Kompas - Tradisi lisan saat ini masih diabaikan, baik dari sisi kajian ilmu pengetahuan maupun aspek ekonominya. Padahal, tradisi lisan warisan budaya bangsa Indonesia yang sangat beragam, mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dari sisi budaya maupun ekonomi.

”Tradisi lisan juga bernilai ekonomis bagi masyarakat,” kata Ahli Menteri Bidang Pranata Sosial Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sekaligus salah seorang Pembina Asosiasi Tradisi Lisan, Mukhlis PaEni, dalam jumpa pers yang diselenggarakan Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Sabtu (8/11) di Jakarta. Kegiatan itu terkait dengan penyelenggaraan Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara Ke-VI dan Festival Tradisi Lisan Maritim di Wakatobi pada 1-3 Desember 2008.

Menurut Mukhlis, pewarisan budaya berlaku sebagai proses sosial dan umumnya secara lisan, sebelum orang mengenal budaya tulis. Tradisi lisan antara lain narasi, legenda, anekdot, pantun, atau syair. Dalam cakupan lebih luas, tradisi lisan dapat berupa pembacaan sastra, visualisasi sastra dengan gerakan dan tari, hingga penyajian cerita melalui aktualisasi adegan oleh pemeran. Tradisi lisan juga berkaitan dengan sistem kognitif masyarakat, seperti adat istiadat, sejarah, etika, sistem geneologi, dan sistem pengetahuan.

Menurut Mukhlis, tradisi lisan merupakan deposit penting dalam khazanah tambang budaya Indonesia. Terdapat ratusan etnik dan budayanya di Tanah Air.

”Di era ekonomi dan industri kreatif, deposit ini seharusnya dikelola untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Sumber inspirasi

Mukhlis menambahkan, memasukkan tradisi sebagai bagian dari industri kreatif bukan berarti mentah-mentah mencabut tradisi itu dari akarnya dan ”menjualnya” atau mengomersialisasikannya begitu saja. Namun, tradisi lisan itu menjadi sumber inspirasi untuk penciptaan produk kreatif, misalnya musik, program televisi, film, teater, opera, dan produk lain yang mempunyai nilai ekonomis. Dapat pula dibuat semacam duplikasi yang khusus untuk industri kreatif. Dia mencontohkan naskah I La Galigo dari Makasar.

”Naskah tersebut pernah dijadikan pertunjukan oleh Robert Wilson dan dipentaskan di luar negeri. Untuk menonton I La Galigo, orang Indonesia harus nonton di teater di Amsterdam, Belanda, dan membayar puluhan euro,” ujarnya.

Memiliki nilai tambah

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Pudentia MPPS, mengatakan, pada intinya bagaimana tradisi lisan yang sangat kaya di Indonesia tersebut agar mempunyai nilai tambah dan kekuatan untuk masuk ke industri kreatif. Asosiasi Tradisi Lisan sendiri, setelah merevitalisasi sejumlah tradisi lisan, kini mulai memikirkan bagaimana agar tradisi lisan tersebut dapat terus teraktulisasi di dalam masyarakat dan memberikan nilai tambah.

”Terkadang setelah revitalisasi, tradisi tersebut tetap sulit untuk mendapatkan tempat di masyarakat dan dilupakan kembali,” ujar Pudentia.

Untuk itu, Asosiasi Tradisi Lisan mulai membuat sejumlah film, salah satunya tentang Teater Mak Yong, sebuah teater Melayu yang hampir punah. Lembaga nirlaba tersebut juga mengumpulkan ratusan hasil penelitian mengenai mitos, cerita daerah, kesenian tradisional, bahasa, kajian etnografi, dan komunikasi yang didokumentasikan lembaga tersebut.

Bupati Wakatobi Hugua, dalam kesempatan yang sama, berpendapat, tradisi lisan bagian dari eksistensi manusia. Kabupaten Wakatobi yang merupakan daerah kepulauan tidak hanya kaya akan alam bawah lautnya, tetapi juga budaya termasuk tradisi lisannya. (INE)
Sumber Kompas

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagaimana ya caranya bisa ikut seminar tradisi lisan di wakatobi?