06 Februari 2008

Spirit Sastra Lisan

Oleh Anwar Putra Bayu

Saat ini arus modernisasi semakin kuat, maka saat ini pula kita rasakan “mengecilnya” peranan sastar lisan di tengah kehidupan kita. Lalu di balik itu tentunya bahasa dan sastra daerah ikut menyertai. Tak berlebihan kemudian akan menghilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal yang dipunyai oleh sebuah “keluarga” (etnik).
Melihat gelagat itu, tampaknya sudah ada upaya pelestarian atau pun tindakan “penyelamatan” yang ditempuh oleh sebagian orang atau lembaga baik secara konservasi maupun secara inovasi.
Saat ini pula, bahkan jauh sebelumnya banyak upaya dari berbagai lembaga kebudayaan melakukan penelitian, perekaman, dan pertunjukan dalam melakukan usaha penyelamatan dan pelestarian.
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) misalnya, sejak tahun 1993 sudah melakukan kerja pelestarian tradisi lisan dengan berbagai kegiatan antara lain perekaman suara dan gambar, seminar nasional dan internasional, festival, penerbitan jurnal, dan buku seri sastra lisan. Maka wajarlah bila bulan Juli 2007 lalu di Balai Sidang Jakarta, Asosiasi Tradisi Lisan ini telah mendapatkan penghargaan (award) dari Pemerintah Indonesia atas perannya dalam meningkatkan kepedulian masyarakat akan tradisi lisan (folklore).
Dalam konteks pelestarian sastra lisan, memang sedikit sekali yang melakukan sebuah upaya inovasi pada aspek penampilan atau pertunjukannya. Terutama inovasi yang muncul dari kalangan seniman tradisi itu sendiri. Kalau pun ada kerja inovasi terhadap tradisi lisan sebagai seni pertunjukan, maka dia muncul justru dari seniman modern atau seniman akademis.
Wisran Hadi dramawan asal Sumbar itu misalnya, sebagai salah satu tokoh teater modern Indonesia, dia telah menggunakan pengucapan teater modernnya dengan aksentuasi tradisi sastra lisan Minangkabau. Sandiwara Cindua Mato salah satu karyanya sangat jelas menunjukan akar tradisi sastra lisan yang berkembang di Sumatera Barat. Sebut saja Randai menjadi seni pertunjukan yang menarik dalam kemasan Wisran Hadi.
Ketika derasnya arus modernisasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang melanda kehidupan masyarakat kita, maka perlu kita mengajukan pertanyaan kepada tradisi lisan kita seperti Jelihiman, Guritan, Ande-ande, Betadut, dan Betogou. Apakah masih menarik penyajian tradisi lisan (folklore) tersebut untuk zaman sekarang ini sebagai sebuah tontona dimana “penampakan” tidak mampu memenuhi cita rasa estetika serta hiburan bagi masyarakat saat ini?
Boleh jadi, masyarakat dengan gaya hidup modern sekarang ini, pertunjukan tradisi lisan (sastra lisan) yang berlama-lama itu tentu akan menjawab: “sudah bukan zamannya lagi”. Artinya, penuturan sastra lisan yang memakan waktu berhari-hari itu saat ini sudah tidak bisa lagi dikosumsi dan harus menghilang dari peredaran.
Itu sebabnya sebagian orang banyak yang cemas dengan lenyapnya tradisi sastra lisan. Sebagian orang sepertinya memandang sastra lisan sebagai sesuatu yang terancam seperti etnis atau masyarakat pendukungnya yang telah melahirkan dan membesarkannya. “Sayang kalau tradisi lisan yang masih bertahan hidup akan mengalami kepunahan,” kata Ahmad Bastari Suan saat mengamati sebuah pertunjukan tradisi lisan Reduy dari Prabumulih beberapa waktu lalu.
Namun, saya percaya bahwa “spirit” sastra lisan tidak akan pernah mati, itu telah dibuktikan dengan membaca ulang teks tulisan di hadapan publik. Pembacaan puisi dan pembacaan cerpen selalu disimak bersama-sama, sebagaimana ketika masyarakat pendukung Guritan dan Jelihiman mendengar para penuturnya. Seperti halnya ketika ada sebagian orang menuliskan kembali teks sastra lisan kemudian dilisankan kembali, sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh Teater Alam dalam tradisi lisan Betadut atau Anwar Beck saat membacakan teks tulis Ande-Ande di hadapan publik di sebuah hotel berbintang.

1 komentar:

KLIK! mengatakan...

Sampai saat ini sepertinya, sastra yang dipunyai masyarakat dulu masih hidup saja.