06 Februari 2008

Pantun dari Ruang Domestik Sampai Ruang Publik

Catatan dari Pertunjukan Pantun Nusantara 2007 :

Puto Hatong, Puto Karudding, Jaja Hamira dan Jaja Sumanga, dua perempuan dan dua lelaki berpakaian serba hitam melantunkan pantun yang diiringi alunan seruling bersuasana menyayat dan magis. Puto Hatong dan ketiga kawannya mengawali pertunjukan Pantun Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu lalu (9/12).
Basing (pantun meratapi kematian) yang disajikan oleh Puto Hatong dan ke tiga kawannya itu adalah nyanyian dan suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria yang memainkan suling Basing dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Basing yang mereka gunakan terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter.
Dalam masyarakat etnis Kajang (Sulawesi Tenggara), pada mulanya nyanyian itu hanya dimainkan dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi. Karena akhir-akhir ini Basing telah mengalami perubahan fungsi. Menurut Dr. Halilintar Latief, sekarang ini sudah ada Basing untuk upacara adat, menyambut tamu, dan lain-lain. Sebelumnya Basing merupakan nyanyian ratapan dari keluarga yang ditinggalkan. Basing yang dilantunkan untuk kematian itu disebut Basing Tempa Sorong. Tabu dilantunkan disembarang waktu, apalagi jika tidak ada kematian.
Ratapan sebagai ekspresi yang diungkapkan dalam bentuk pantun ternyata bukan sekedar terdapat dalam upacara kematian saja. Sebuku Gayo atau pepongoten dalam masyarakat Gayo misalnya dikenal sebagai seni meratap yang diungkapkan secara indah, puitis, dan disertai tangisan. Bersebuku merupakan tradisi dalam pesta perkawinan masyarakat Gayo. Para dara terlebih dahulu belajar bersebuku karena ketika ia memasuki jenjang perkawinan akan melakukan tradisi itu
Seni meratap gaya Gayo ini ditampilkan oleh Hidayah, Sri Bintan, Mayawati gayo, Mutiara, dan Khairul Saleh dengan penuh penghayatan. Sesuai dengan fungsinya pepongoten yakni ketika pengantin wanita yang akan meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mengikuti suami, maka akan bersebuku kepada orang tua dan teman sepergaulan. Dalam sebuku itulah diungkapkan rasa sedih pengantin wanita meninggalkan orang tua, rumah, tempat bermain, dan sanak saudara.
Dalam pengadeganan Pantun Nusantara ini oleh Nano Riantiarno selaku sutradara pertunjukan, maka seni meratap orang Gayo ini ditempatkan setelah upacara Kacar-kucur yakni pantun dalam ritual pengantin Jawa dan upacara Malake-an Gala yakni upacara memberi gelar pada sang pengantin yang berasal dari Minang.
Memang terasa lucu dan unik, ketika setelah serangkaian ritual pengantin Jawa selesai, maka dilangsungkan pemberian gelar kepada Sang Pengantin Jawa. Zulkifli Dt. Sinaro nan Kuniang, Iqbal Dt. Nan Muda, dan Junaidi yang menyajikan Malake-an Gala akhirnya menabalkan gelar Sutan kepada Sang Pengantin Jawa dalam sebuah ritual “seni pertunjukan”.
Selama lebih kurang 120 menit Nano Riantiarno meracik 12 daerah yang meliputi Upacara Nelu Bulanin (Bali), Kayat (Riau), Pantun Meminang (Kepulauan Riau), Sebuku Gayo (Aceh), Kacar-Kucur (Jawa tengah), Malake-an Gala (Sumatra Barat), Nenggung (Palembang), Jantuk (Betawi), Kaganti (Buton), Panas Pela (Ambon), Basing (Kajang), dan Belian Sentu (Kutai). Dari beberapa ritual itu tentunya sebagian bertolak dari ruang domestik dan sebagian lainnya memang berada di ruang publik. Tak dapat disangkal bahwa pantun memang terbukti merupakan produk budaya tertua kita. Sebagian besar telah telah ditampilkan pada Pantun Nusantara 2007 yang diprakarsai oleh Asosiasi Tradisi Lisan, Universitas Indonesia, Unika Atma Jaya, dan NBSF Depbudpar RI.
Pantun Nusantara 2007 telah memperlihatkan “kesantunan, keindahan, dan keunikan berbahasa” berbagai komunitas masyarakat di Indonesia dalam menyampaikan berbagai ekspresi perasaan, pikiran, gagasan, dan hal lainnya dengan pilihan diksi yang tepat dan sesuai dengan pendengarnya. Kematian sengaja diketengahkan pada awal dan bukan akhir pementasan untuk menciptakan suasana dramatik dan menahan “minat” penonton hingga akhir pertunjukan.(Tim ATL/SS)

Tidak ada komentar: