Linny Oktovianny
Jika kita menelusuri hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di daerah Provinsi Jambi maka kita dapat menjumpai Suku Anak Dalam (SAD). TNBD merupakan habitat SAD. TNBD merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi, ditetapkan pemerintah menjadi kawasan Taman Nasional. TNBD dapat ditempuh selama 3 jam dari Pauh kemudian sekitar 2 jam ke wilayah Bukit Suban.
SAD merupakan sebutan Pemerintah untuk menyebut SAD yang berarti manusia minoritas di Pedalaman. Selain itu, SAD dikenal juga dengan sebutan Orang Rimba atau Orang Kubu. Orang Kubu merupakan sebutan yang digunakan oleh Orang Melayu Jambi dan Palembang terhadap suku yang menyebut dirinya “Orang Rimba”. Kubu dalam bahasa Melayu berarti blok-blok pertahanan yang dilakukan secara bergerilya di dalam hutan. Orang Rimba tidak suka disebut Orang Kubu karena sarat dengan konotasi negatif. Sementara, Orang Rimba nama yang digunakan untuk menyebut mereka sendiri sebagai manusia yang tinggal di Pedalaman Hutan Bukit Duabelas.
TNBD MERUPAKAN HABITAT SAD
Sebagian ahli memperkirakan SAD berasal dari nenek moyang ras Melayu tua (proto Melayu). Versi lain menyebutkan, Orang Rimba berasal dari perpaduan orang Bongson dari daerah Vietnam dengan orang Yunan. Perkawinan ras ini menghasilkan ras Bioto Melayu atau orang Melayu dan orang Rimba.
TUMENGGUNG TARIF, SALAH SATU SAD DI DESA AIR HITAM
Hutan bagi SAD merupakan sumber kehidupan. Mereka lahir, besar, dan akan mati di hutan. Tidaklah mengherankan bila hutan menjadi tempat istimewa bagi SAD. Hutan adalah tempat mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara, dan menghidupi. Hutan juga menjadi sumber norma-norma, nilai-nilai, dan pandangan hidup mereka. Kehidupan SAD sarat dengan ritual. Kegiatan ritual SAD harus berlangsung dalam hutan dan steril dari orang luar. Dalam kegiatan ritual tersebut, SAD mempersembahkan berbagai jenis bunga-bunga kepada dewa-dewa yang mereka puja pada saat bedeker (besale), antara lain Dewa Kayu, dewa di laut, dewa di gunung, dewa di langit, Dewa Gajah. Dewa Harimau, Dewa Trenggiling, Dewa Siamang, dan dewa di gua. Bunga menjadi hal yang penting bagi SAD. Selain untuk memuja dan memanggil dewa-dewa, bunga juga menjadi syarat mutlak untuk bebalai ‘pesta pernikahan’. Hal tersebut tergambar pada seloka adat berikut ini.
Ado rimbo ado bungo Ada rimba ada bunga
Ado bungo ado dewo ada bunga ada dewa
Hopi ado rimbo hopi ado bungo Tidak ada rimba tidak ada bunga
Hopi ado bungo hopi ado dewo Tidak ada bunga tidak ada dewa
SAD mempunyai berbagai aturan yang diwarisi secara turun temurun. Kehidupan SAD sarat berbagai tabu dan pantangan disertai sanksi-saksi adat bagi yang melanggarnya. Hal tersebut tergambar pada seloka berikut.
Ditunjuk diajo Sudah diberitahu
Dak inget ditangi Masih juga dilanggar
Adat Suku Anak dalam tersebut ada tiga, yaitu rumah tangga (laki-bini), jadi kawin dan berburu. Adat rumah tangga (laki-bini) adalah meletakkan istri dalam adat. Maksudnya istri atau suami hendaknya tahu akan tugas dan kewajibannya.
Hal ini tercantum dalam seloka berikut.
Hak dan Kewajiban Suami
Nang kedelok Mau kucari
Lauq ikan Lauk ikan
Asem gerom Asam garam
Beju koin Baju uang
Kintang kali Merawat jika sakit
Huma tanom Ladang tanam
Hak dan Kewajiban Istri
Kayu aik Kayu air
Masak mato Masak mata
Tikar bantal Tikar bantal
Seloka di atas memperlihatkan perbedaan tugas kewajiban suami dan istri.
Adat laki-bini ini tidak boleh digunakan sembarang sesuai dengan seloka berikut.
Adat tiado hopi kupak Adat tiada boleh dilanggar
Memakai tiado boleh sumbing Memakai tiada boleh diubah
Apabila suami atau istri tidak memenuhi tugas dan kewajibannya akan didenda 40 kain atau dicerai. Apabila istri atau suami berselingkuh maka akan didenda 500 kain dan semua harta akan diambil. Perkara ini berhak diputuskan oleh penghulu.
Adat SAD yang terkenal adalah Pucuk Undang-Undang Delapan dan Teliti Duabelas. Pucuk Undang-Undang Delapan terdiri atas 4 (empat) Undang-undang di bawah, yaitu Sio Bakar, Amo Geram, Tantang Pahamun, dan Tabung Racun dan 4 (empat) Undang-undang di Atas, yaitu mencerah telur (Kawin dengan anak sendiri), melebung dalam (kawin dengan saudara sendiri), menikam bumi (kawin dengan induk/orang tua), dan mandi pancuran gading (kawin atau selingkuh dengan istri atau suami orang).
Jika terjadi kesalahan pada Pucuk Undang-Undang Delapan di Atas (mencerah telur, melebung dalam, menikam bumi, dan mandi pancuran gading) adalah kesalahan yang tidak dapat ditoleransi atau diampuni. Hal ini sesuai dengan seloka adat yang berbunyi sebagai berikut.
Beremai mati dak beremai mati Walaupun dibayar tetap mati
Salah tangan, tangan bekerat Salah tangan, tangan dipotong
Salah kaki, kaki bekerat Salah kaki, kaki dipotong
Salah mulut, mulut besait Salah mulut, mulut digaris/dipotong sebelah
Salah lidah, lidah bekerat Salah lidah, lidah dipotong
Salah mato, mato becukik Salah mata, mata diambil
Pucuk Undang-Undang Delapan yang di Bawah dan Teliti Duabelas adalah kesalahan yang masih dapat dimaafkan atau diampuni. Berikut adalah seloka mengenai hal ini.
Salah kecik bisah lepai Salah kecil bisa lepas
Salah besak bisah jadi kecik Salah besar bisa menjadi kecil
Rampoi rampik samin sakal Merampas, mencur, mengambil harta orang
(Seloka terpegang anak gadis orang)
Tesesat tejerami Tersesat terjerami
Tepegang tepakai Terpegang terpakai
Teecoh tekacau Memiliki Terpakai
(seloka terinjak tikar orang)
Setiap kesalahan besar atau kecil yang diperbuat oleh SAD diputuskan oleh penghulu. Sebelum perkara tersebut diputuskan dan apa pun bentuk perkara tersebut haruslah disertai bukti-bukti yang jelas. Hal tersebut sesuai seloka berikut.
Tampuk tangkai ciri tando Tampuk tangkai ciri tanda
Tanohnyo nang di parit Tanahnya yang digaris
Kayunyo nang di tekuk Kayunya yang ditekuk
Jika semua telah dibuktikan dengan benar maka si pembuat kesalahan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah dengan keadaan, sesuai dengan seloka berikut.
Tesekup dengen jalonyo nang bekandung tertutup dengan jala yang terkandung
Dalam kehidupan sehari-hari SAD berupaya tidak salah melangkah dan menyesal di kemudian hari seperti tampak dalam seloka berikut.
Saloh tijak salah langkoh salah tijak salah langkah
Saloh pandong saloh pengoli salah pandang salah penglihatan
Bertahun-tahun lamanya SAD hidup dalam hutan tanpa berkeinganan mengubah hutan. Hal ini tampak pada seloka adat “Merubah Alam” berikut ini.
Hopi ado idup segelonyo Tidak ada hidup semuanya
Hopi ado hati segelonyo Tidak ada hati semuanya
SALAH SATU ANAK SAD YANG BERMAIN DI JALAN DESA TERDEKAT
Kehidupan SAD sangat bergantung pada rimba. SAD hidup bersama suka-duka penuh keakraban. Seirang dengan berkurangnya hutan dan globalisasi setakat ini, kehidupan SAD juga terdesak. Bukan tidak mungkin suatu saat kita bukan hanya kehilangan hutan, tetapi komunitas SAD di dalamnya. Kalau begitu, siapa bertanggung jawab?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Slamat ! ini melengkapi blog atlindonesia. Semakin banyak blog tradisi lisan, membuat atl semakins emarak ! maaf kesibukan saya belum kompromi lagi untuk kelisanan. Salam. trias yusuf
Posting Komentar