:Tradisi Meninabobokkan Anak
Oleh Linny Oktovianny
KETIKA bayi atau anak kecil sulit tidur atau terbangun terus ketika sedang tidur, maka dengan bergegas Sang Ibu akan meninabobokkannya dengan berbagai lagu yang diiramakan yang disebut nenggung. Namun, sangat disayangkan tradisi nenggung di kalangan masyarakat Palembang dan sekitarnya hanyalah tinggal kenangan. Tradisi nenggung sekarang tinggal cerita. Orang tua masa kini sudah tidak dapat lagi meninabobokkan anaknya dengan nenggung karena sudah ada penggantinya. Nenggung sudah dapat digantikan dengan berbagai lagu anak atau lagu-lagu masa kini yang tentu saja yang dapat dihapal oleh Ibu si anak. Saat ini, banyak alternatif lagu atau musik yang lebih menjanjikan, antara lain radio, kaset, CD, bahkan DVD. Wajarlah, para ibu masa kini sudah tak dapat meninabobokkan anaknya dalam belaian atau buaian ibunya.
Nenggung adalah nyanyian berupa pantun untuk menidurkan anak yang berisi ajaran agama, moral, dan nasihat yang berguna sehingga anak merasa nyaman tidur. Biasanya nenggung dituturkan ketika anak akan tidur atau susah tidur karena suatu hal, antara lain karena sakit atau perasaan tidak nyaman. Nenggung dapat dituturkan oleh Ibu, ayah, nenek, kakek, atau sanak keluarga lainnya yang dekat dengan si anak. Setakat ini, nenggung pada etnis Palembang jarang digunakan lagi bahkan nyaris punah.
Berikut adalah cuplikan Nenggung:
Lailahaillahlah Muhamaddarasullulah
Hul malikul haqqul Mubin
Muhammadurrosullulah
Shadiqul wa’dul Aamiin
Berapo banyak barang di peti
Cuma sikok tekepel beringin
Berapo banyak wong di sini
Cuma sikok yang aku ingin
Papan cuci kayunyo jati
Buahnyo si hitam putih
Sudah lama kami nuruti
Rambutku hitam jadi putih
Jalan-jalan kampong ujung
Hari panas terbuka payung
Mato lenting, hidung mancung
Seperti bulan awan mengandung
Buah delimo di dalam peti
Campak di tanah betangkai empat
Sudah lamo kami menanti
Baru sekarang kamek mendapat
Anjing ini penjaga ruma
Ristan makanan ia terima
Kalu pintar kito ternama
Kalu buyan idup merana
Nak minjem jarum sulaman
Jangan sampe hilang ukurnyo
Dicium pelan-pelan
Jangan sampe ilang pupurnyo
Buah mangga di bungkus rapat
Padi di ladang di makan kuda
Dua tiga boleh kudapat
Tidak sama dengen ananda
Ngesek biola di bawa tanggo
Kaco ruma remuk jualan cino
Makmano hati dak gilo
Nyelek cucung dak becelano
Durian campak dengen durinyo
Campak ke sekel dak kan luko
Awak baik dengen budinyo
Sampe mati dak kan kulupo
Nak gugur-gugurlah nangko
Jangan nimpo si batang padi
Nak tiduk, tiduklah mato
Jangan nyinto si main lagi
Artinya:
Berapa banyak barang di peti
Hanya satu terkepal beringin
Berapo banyak orang di sini
Hanya satu yang aku ingin
Papan cuci kayunya jati
Buahnyasi hitam putih
Sudah lama kami turuti
Rambutku hitam jadi putih
Jalan-jalan kampung ujung
Hari panas terbuka payung
Mata lenting, hidung mancung
Seperti bulan awan mengandung
Buah delimadi dalam peti
Jatuh di tanah bertangkai empat
Sudah lamakami menanti
Baru sekarang kami mendapat
Anjing ini penjaga rumah
Sisa makanan ia terima
Kalau pintar kita ternama
Kalau bodoh hidup merana
Ingin meminjam jarum sulaman
Jangan sampai hilang ukurnya
Dicium pelan-pelan
Jangan sampai hilang bedaknya
Buah mangga di bungkus rapat
Padi di ladang di makan kuda
Dua tiga boleh kudapat
Tidak sama dengan ananda
Menggesek biola di bawah tangga
Kaca rumah remuk jualan Cina
Bagaimana hati tak gila
Melihat cucu tidak bercelana
Durian jatuh dengan durinya
Jatuh ke kaki tidakkan luka
Kamu baik dengan budinya
Sampai mati tidakkan kulupa
Mau gugur-gugurlah nangka
Jangan menimpa si batang padi
Mau tidur, tiduklah mata
Jangan menyinta si main lagi
Nenggung di atas dituturkan sambil si anak ditimang-timang atau diayun agar si anak segera tidur.
23 Februari 2008
22 Februari 2008
Sahilin, Ikon Seni Batanghari Sembilan
/Ilham Khoiri /
Umak-umak belikan sagu/ Aku kepingin makan pempek/ Umak-umak carikan aku/ Aku ni lah malas tiduk dewek.
Lemak pule makan pempek/ Ambek sagu buat tekwan/ Daripade tiduk dewek/ Lemak sekali lah meluk bantal.
Pantun bersahut itu dilantunkan Sahilin dan Siti Rahmah secara bergantian di pentas hajatan perkawinan di Kelurahan 9 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, Sumatera Selatan.
Lelaki tunanetra itu memetik gitar tunggal sambil melontarkan pantun, sedangkan Siti menyahutinya dengan pantun lain. Puluhan penonton menyimak sambil tergelak-gelak, Sabtu (11/3) malam itu.
Maklum, kedua pantun itu memang penuh kelakar. Diceritakan, ada seorang pemuda yang sudah malas tidur sendirian sehingga minta tolong ibunya untuk mencarikan istri. Pemuda itu disindir, lebih baik memeluk bantal daripada tidur sendirian. Cerita itu disampaikan dengan menggunakan sampiran pempek, makanan khas Palembang.
Pertunjukan musik tersebut dikenal sebagai batanghari sembilan. Seni ini menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.
Batanghari sembilan sendiri berarti sembilan sungai besar. Disebut demikian karena musik itu memiliki irama yang meliuk-liuk dan lirik berupa pantun bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip aliran sungai.
Batanghari sembilan merupakan seni tradisional yang tumbuh di Sumatera Selatan (Sumsel) sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat biasa menikmati seni ini pada malam hari setelah lelah kerja seharian. Seniman yang menekuni seni ini tinggal sedikit, salah satunya Sahilin.
Sahilin selalu tampil dengan mengenakan kacamata hitam lebar dan rambut tersisir rapi. Pertunjukannya selalu ditunggu masyarakat karena permainan gitarnya yang unik.
Setiap ganti lagu dia menyetel gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, dia kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton.
Lelaki itu juga mahir menciptakan pantun dengan berbagai tema. Satu pantun berisi 30 bait hingga 50 bait. Ada yang menceritakan kisah sedih, pesan moral, atau kelakar yang lucu. Beberapa pantunnya menjadi lirik batanghari sembilan yang terkenal, antara lain Ratapan Mati Gadis, Kaos Lampu, Tiga Serangkai, Kisah Pengantin Baru, dan Bujang Buntu.
"Ada puluhan pantun yang saya buat. Banyak juga yang muncul spontan saat merasakan suasana di panggung, tetapi banyak yang tidak direkam sehingga sering terlupa," katanya.
Saat bernyanyi, dia melantunkan pantun-pantun itu dengan penuh penghayatan. Kadang suaranya melengking, kadang melemah seperti bergumam. Dengan kemampuan yang lengkap dan ketekunan selama 34 tahun lebih, Sahilin akhirnya menjadi ikon seni batanghari sembilan di Sumsel. Citra itu demikian lekat sehingga banyak orang menyangka, Sahilin adalah nama aliran musik itu sendiri.
Konsistensi lelaki ini dalam mengembangkan batanghari sembilan telah turut melestarikan seni pantun bersahut dengan bahasa lokal Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel.
Pantun termasuk salah satu sastra tutur yang banyak memuat kearifan lokal, dari budaya masyarakat di pedalaman sungai yang kini semakin ditinggalkan. Atas pengabdiannya di bidang seni, Sahilin memperoleh penghargaan budaya dari Pemerintah Provinsi Sumsel tahun 2000.
Sahilin lahir di Kampung Benawe, yang terletak 45 kilometer selatan Palembang, sekitar 50 tahun lalu. Dia tidak pernah sekolah. Saat berusia lima tahun, kedua matanya terserang penyakit keras sehingga buta. Dalam kesendirian yang gelap, dia menemukan gitar sebagai instrumen untuk menghibur diri.
Sahilin lalu serius belajar bermain gitar untuk memainkan lagu-lagu batanghari sembilan dari ayahnya, Mat Sholeh. Dia juga tekun menyimak variasi batanghari sembilan yang kerap diputar di radio. Pantun dipelajari secara otodidak dengan mendengar dari sana-sini.
Ketika berumur belasan tahun, Sahilin telah muncul sebagai seniman batanghari sembilan yang mumpuni di kampungnya. Tahun 1972, ia mengadu nasib ke Palembang. Setelah manggung dari hajatan ke hajatan selama tiga tahun, dia menjadi seniman yang tenar.
Sahilin mulai masuk dapur rekaman Palapa Studio di Palembang tahun 1975. Kaset album pertama, yang berjudul Ratapan Mati Gadis, laku keras. Album kedua, Tiga Serangkai, juga meledak di pasaran. Demikian juga album ketiga, Serai Serumpun. Kaset-kaset itu memberikan penghasilan lumayan besar bagi dirinya.
"Uang dari rekaman kaset pertama saya gunakan untuk beli tanah. Kaset kedua untuk membuat rumah panggung kayu. Penghasilan dari kaset ketiga untuk menikah dengan Asma tahun 1977. Penghasilan selanjutnya untuk menghidupi keluarga," katanya sambil tersenyum mengenang.
Kreativitas seniman itu telah direkam dalam 10 album lebih, masing-masing berisi dua hingga empat lagu. Sebagian besar rekaman berduet dengan Siti Rahmah, yang mahir membawakan pantun-pantun bersahut berbahasa Benawe. Sebelumnya, Sahilin sempat berduet dengan Cek Misah, penyanyi batanghari sembilan yang telah meninggal.
Kaset-kaset Sahilin terus digemari hingga kini. Dia pun tetap manggung di berbagai hajatan meski tak sesering dahulu. Tahun 1970-an sampai 1980-an, dia rata-rata tampil lima kali seminggu. Sejak pertengahan tahun 1990-an, penampilannya menyurut, seiring maraknya hiburan televisi.
Saat ini, dia hanya tampil empat-lima kali sebulan. Apa mau dikata, warga yang punya hajatan lebih suka mengundang hiburan organ tunggal yang dinilai lebih atraktif ketimbang seni tradisional batanghari sembilan.
Sahilin tinggal di Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Ketiga anak lelakinya juga mahir memetik gitar, tetapi tak bisa membawakan pantun-pantun batanghari sembilan. Oleh karena itu, seni tradisional yang diwarisi dari nenek moyang tersebut terancam bakal berhenti hingga pada Sahilin saja.
"Anak-anak malas menghafal pantun-pantun lama yang dianggap rumit dan panjang. Kalau memikirkan siapa nanti yang mau meneruskan seni batanghari sembilan, saya sering sedih," kata Sahilin. Di luar rumah Sahilin, gerimis telah berubah menjadi hujan yang deras.
Sumber:64.203.71.11/kompas-cetak/0603/27/Sosok/
Umak-umak belikan sagu/ Aku kepingin makan pempek/ Umak-umak carikan aku/ Aku ni lah malas tiduk dewek.
Lemak pule makan pempek/ Ambek sagu buat tekwan/ Daripade tiduk dewek/ Lemak sekali lah meluk bantal.
Pantun bersahut itu dilantunkan Sahilin dan Siti Rahmah secara bergantian di pentas hajatan perkawinan di Kelurahan 9 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, Sumatera Selatan.
Lelaki tunanetra itu memetik gitar tunggal sambil melontarkan pantun, sedangkan Siti menyahutinya dengan pantun lain. Puluhan penonton menyimak sambil tergelak-gelak, Sabtu (11/3) malam itu.
Maklum, kedua pantun itu memang penuh kelakar. Diceritakan, ada seorang pemuda yang sudah malas tidur sendirian sehingga minta tolong ibunya untuk mencarikan istri. Pemuda itu disindir, lebih baik memeluk bantal daripada tidur sendirian. Cerita itu disampaikan dengan menggunakan sampiran pempek, makanan khas Palembang.
Pertunjukan musik tersebut dikenal sebagai batanghari sembilan. Seni ini menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.
Batanghari sembilan sendiri berarti sembilan sungai besar. Disebut demikian karena musik itu memiliki irama yang meliuk-liuk dan lirik berupa pantun bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip aliran sungai.
Batanghari sembilan merupakan seni tradisional yang tumbuh di Sumatera Selatan (Sumsel) sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat biasa menikmati seni ini pada malam hari setelah lelah kerja seharian. Seniman yang menekuni seni ini tinggal sedikit, salah satunya Sahilin.
Sahilin selalu tampil dengan mengenakan kacamata hitam lebar dan rambut tersisir rapi. Pertunjukannya selalu ditunggu masyarakat karena permainan gitarnya yang unik.
Setiap ganti lagu dia menyetel gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, dia kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton.
Lelaki itu juga mahir menciptakan pantun dengan berbagai tema. Satu pantun berisi 30 bait hingga 50 bait. Ada yang menceritakan kisah sedih, pesan moral, atau kelakar yang lucu. Beberapa pantunnya menjadi lirik batanghari sembilan yang terkenal, antara lain Ratapan Mati Gadis, Kaos Lampu, Tiga Serangkai, Kisah Pengantin Baru, dan Bujang Buntu.
"Ada puluhan pantun yang saya buat. Banyak juga yang muncul spontan saat merasakan suasana di panggung, tetapi banyak yang tidak direkam sehingga sering terlupa," katanya.
Saat bernyanyi, dia melantunkan pantun-pantun itu dengan penuh penghayatan. Kadang suaranya melengking, kadang melemah seperti bergumam. Dengan kemampuan yang lengkap dan ketekunan selama 34 tahun lebih, Sahilin akhirnya menjadi ikon seni batanghari sembilan di Sumsel. Citra itu demikian lekat sehingga banyak orang menyangka, Sahilin adalah nama aliran musik itu sendiri.
Konsistensi lelaki ini dalam mengembangkan batanghari sembilan telah turut melestarikan seni pantun bersahut dengan bahasa lokal Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel.
Pantun termasuk salah satu sastra tutur yang banyak memuat kearifan lokal, dari budaya masyarakat di pedalaman sungai yang kini semakin ditinggalkan. Atas pengabdiannya di bidang seni, Sahilin memperoleh penghargaan budaya dari Pemerintah Provinsi Sumsel tahun 2000.
Sahilin lahir di Kampung Benawe, yang terletak 45 kilometer selatan Palembang, sekitar 50 tahun lalu. Dia tidak pernah sekolah. Saat berusia lima tahun, kedua matanya terserang penyakit keras sehingga buta. Dalam kesendirian yang gelap, dia menemukan gitar sebagai instrumen untuk menghibur diri.
Sahilin lalu serius belajar bermain gitar untuk memainkan lagu-lagu batanghari sembilan dari ayahnya, Mat Sholeh. Dia juga tekun menyimak variasi batanghari sembilan yang kerap diputar di radio. Pantun dipelajari secara otodidak dengan mendengar dari sana-sini.
Ketika berumur belasan tahun, Sahilin telah muncul sebagai seniman batanghari sembilan yang mumpuni di kampungnya. Tahun 1972, ia mengadu nasib ke Palembang. Setelah manggung dari hajatan ke hajatan selama tiga tahun, dia menjadi seniman yang tenar.
Sahilin mulai masuk dapur rekaman Palapa Studio di Palembang tahun 1975. Kaset album pertama, yang berjudul Ratapan Mati Gadis, laku keras. Album kedua, Tiga Serangkai, juga meledak di pasaran. Demikian juga album ketiga, Serai Serumpun. Kaset-kaset itu memberikan penghasilan lumayan besar bagi dirinya.
"Uang dari rekaman kaset pertama saya gunakan untuk beli tanah. Kaset kedua untuk membuat rumah panggung kayu. Penghasilan dari kaset ketiga untuk menikah dengan Asma tahun 1977. Penghasilan selanjutnya untuk menghidupi keluarga," katanya sambil tersenyum mengenang.
Kreativitas seniman itu telah direkam dalam 10 album lebih, masing-masing berisi dua hingga empat lagu. Sebagian besar rekaman berduet dengan Siti Rahmah, yang mahir membawakan pantun-pantun bersahut berbahasa Benawe. Sebelumnya, Sahilin sempat berduet dengan Cek Misah, penyanyi batanghari sembilan yang telah meninggal.
Kaset-kaset Sahilin terus digemari hingga kini. Dia pun tetap manggung di berbagai hajatan meski tak sesering dahulu. Tahun 1970-an sampai 1980-an, dia rata-rata tampil lima kali seminggu. Sejak pertengahan tahun 1990-an, penampilannya menyurut, seiring maraknya hiburan televisi.
Saat ini, dia hanya tampil empat-lima kali sebulan. Apa mau dikata, warga yang punya hajatan lebih suka mengundang hiburan organ tunggal yang dinilai lebih atraktif ketimbang seni tradisional batanghari sembilan.
Sahilin tinggal di Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Ketiga anak lelakinya juga mahir memetik gitar, tetapi tak bisa membawakan pantun-pantun batanghari sembilan. Oleh karena itu, seni tradisional yang diwarisi dari nenek moyang tersebut terancam bakal berhenti hingga pada Sahilin saja.
"Anak-anak malas menghafal pantun-pantun lama yang dianggap rumit dan panjang. Kalau memikirkan siapa nanti yang mau meneruskan seni batanghari sembilan, saya sering sedih," kata Sahilin. Di luar rumah Sahilin, gerimis telah berubah menjadi hujan yang deras.
Sumber:64.203.71.11/kompas-cetak/0603/27/Sosok/
20 Februari 2008
Saidi Kamaluddin, Aktor Dulmuluk
Pria bertubuh tegap ini dilahirkan di Kampung Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 68 tahun lalu. Dia merupakan adik kandung seorang aktor Dulmuluk yang sekaligus penggubah cerita Zubaidah Siti, yakni Arjo Kamaluddin. Ujuk Saidi, panggilan akrab Saidi ini, pernah mengecap sekolah rakyat namun tak selesai karena Ujuk Saidi lebih mementingkan bermain Dulmuluk ketimbang sekolah. Bapaknya, Kamaluddin, merupakan perintis Dulmuluk di Sumatera Selatan.
Kamaluddin merupakan murid Wan Bakar. Wan Bakar adalah seorang saudagar keturunan Arab yang mepopulerkan Syair Abdoel Moeloek karya Raja Ali Haji. Dari masa Wan Bakar inilah cikal bakal adanya Teater Tradisional Dulmuluk. Pada awalnya, adalah pembacaan syair yang disebut juga teater mula atau teater tutur.
Pada masa sebelum zaman kesultanan Palembang pembacaan syair sangat disukai masyarakat. Di Palembang dikenal dengan pembacaan syair Abdul Muluk. Ternyata pembacaan syair tersebut sangat digemari oleh masyarakat, karena itu pada tahun 1854 dibentuklah perkumpulan pembacaan syair oleh Wan Bakar di kampung Tangga Takat (16 ulu). Sebagai teater tutur, penyampaiannya dibawakan oleh seorang pembaca di hadapan pendengar atau penontonnya di Rumah Wan Bakar yang berbentuk rumah limas Palembang. Rumah limas ini terdiri drai lantai yang bertingkat yang disebut bengkilas. Antara bengkilas yang satu dengan yang lain dibatasi oleh sekeping papan tebal yang dinamai kekejeng. Pembaca syair duduk pada bengkilas yang lebih tinggi dari pendengar atau penonton.
Sebagai calon aktor Dulmuluk saat Ujuk berusia 7 tahun, maka Ujuk Saidi belajar dari abangnya. Di usia delapan tahun Saidi Kamaluddin bermain Dulmuluk untuk pertama kalinya. Tak tanggung-tanggung dia memerankan tokoh perempuan. Di masa itu memang kaum perempuan agak tabu bermain Dulmuluk, itu sebabnya setiap tokoh perempuan, seperti tokoh Siti Rofiah dimainkan oleh pria. “Saat aku maen pertamokali, aku hanya dibayar selawe rupiah,” kenang Saidi yang pernah mendapat anugerah seni dari Gubernur Sumsel tahun 2001. Di usianya yang sudah tua ini, Ujuk Saidi bahkan masih terus bermain Dulmuluk ke pelosok-pelosok desa. Kesetiaan Saidi terhadap dunia kesenian tradisional itu menjadikan Asosiasi Tradisi Lisan, sebuah lembaga yang konsern terhadap seni tradisi mengajukan Saidi bersama Sailin untuk menerima penghargaan Maestro dari pemerintah pusat. Bakat besarnya di bidang keaktoran kini diikuti oleh anaknya, yakni Yudhi yang beberapa waktu lalu ikut tampil bersama ayahnya di Gedung Kesenian Jakarta. /apb/
Kamaluddin merupakan murid Wan Bakar. Wan Bakar adalah seorang saudagar keturunan Arab yang mepopulerkan Syair Abdoel Moeloek karya Raja Ali Haji. Dari masa Wan Bakar inilah cikal bakal adanya Teater Tradisional Dulmuluk. Pada awalnya, adalah pembacaan syair yang disebut juga teater mula atau teater tutur.
Pada masa sebelum zaman kesultanan Palembang pembacaan syair sangat disukai masyarakat. Di Palembang dikenal dengan pembacaan syair Abdul Muluk. Ternyata pembacaan syair tersebut sangat digemari oleh masyarakat, karena itu pada tahun 1854 dibentuklah perkumpulan pembacaan syair oleh Wan Bakar di kampung Tangga Takat (16 ulu). Sebagai teater tutur, penyampaiannya dibawakan oleh seorang pembaca di hadapan pendengar atau penontonnya di Rumah Wan Bakar yang berbentuk rumah limas Palembang. Rumah limas ini terdiri drai lantai yang bertingkat yang disebut bengkilas. Antara bengkilas yang satu dengan yang lain dibatasi oleh sekeping papan tebal yang dinamai kekejeng. Pembaca syair duduk pada bengkilas yang lebih tinggi dari pendengar atau penonton.
Sebagai calon aktor Dulmuluk saat Ujuk berusia 7 tahun, maka Ujuk Saidi belajar dari abangnya. Di usia delapan tahun Saidi Kamaluddin bermain Dulmuluk untuk pertama kalinya. Tak tanggung-tanggung dia memerankan tokoh perempuan. Di masa itu memang kaum perempuan agak tabu bermain Dulmuluk, itu sebabnya setiap tokoh perempuan, seperti tokoh Siti Rofiah dimainkan oleh pria. “Saat aku maen pertamokali, aku hanya dibayar selawe rupiah,” kenang Saidi yang pernah mendapat anugerah seni dari Gubernur Sumsel tahun 2001. Di usianya yang sudah tua ini, Ujuk Saidi bahkan masih terus bermain Dulmuluk ke pelosok-pelosok desa. Kesetiaan Saidi terhadap dunia kesenian tradisional itu menjadikan Asosiasi Tradisi Lisan, sebuah lembaga yang konsern terhadap seni tradisi mengajukan Saidi bersama Sailin untuk menerima penghargaan Maestro dari pemerintah pusat. Bakat besarnya di bidang keaktoran kini diikuti oleh anaknya, yakni Yudhi yang beberapa waktu lalu ikut tampil bersama ayahnya di Gedung Kesenian Jakarta. /apb/
18 Februari 2008
SELOKA ADAT SUKU ANAK DALAM
Linny Oktovianny
Jika kita menelusuri hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di daerah Provinsi Jambi maka kita dapat menjumpai Suku Anak Dalam (SAD). TNBD merupakan habitat SAD. TNBD merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi, ditetapkan pemerintah menjadi kawasan Taman Nasional. TNBD dapat ditempuh selama 3 jam dari Pauh kemudian sekitar 2 jam ke wilayah Bukit Suban.
SAD merupakan sebutan Pemerintah untuk menyebut SAD yang berarti manusia minoritas di Pedalaman. Selain itu, SAD dikenal juga dengan sebutan Orang Rimba atau Orang Kubu. Orang Kubu merupakan sebutan yang digunakan oleh Orang Melayu Jambi dan Palembang terhadap suku yang menyebut dirinya “Orang Rimba”. Kubu dalam bahasa Melayu berarti blok-blok pertahanan yang dilakukan secara bergerilya di dalam hutan. Orang Rimba tidak suka disebut Orang Kubu karena sarat dengan konotasi negatif. Sementara, Orang Rimba nama yang digunakan untuk menyebut mereka sendiri sebagai manusia yang tinggal di Pedalaman Hutan Bukit Duabelas.
TNBD MERUPAKAN HABITAT SAD
Sebagian ahli memperkirakan SAD berasal dari nenek moyang ras Melayu tua (proto Melayu). Versi lain menyebutkan, Orang Rimba berasal dari perpaduan orang Bongson dari daerah Vietnam dengan orang Yunan. Perkawinan ras ini menghasilkan ras Bioto Melayu atau orang Melayu dan orang Rimba.
TUMENGGUNG TARIF, SALAH SATU SAD DI DESA AIR HITAM
Hutan bagi SAD merupakan sumber kehidupan. Mereka lahir, besar, dan akan mati di hutan. Tidaklah mengherankan bila hutan menjadi tempat istimewa bagi SAD. Hutan adalah tempat mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara, dan menghidupi. Hutan juga menjadi sumber norma-norma, nilai-nilai, dan pandangan hidup mereka. Kehidupan SAD sarat dengan ritual. Kegiatan ritual SAD harus berlangsung dalam hutan dan steril dari orang luar. Dalam kegiatan ritual tersebut, SAD mempersembahkan berbagai jenis bunga-bunga kepada dewa-dewa yang mereka puja pada saat bedeker (besale), antara lain Dewa Kayu, dewa di laut, dewa di gunung, dewa di langit, Dewa Gajah. Dewa Harimau, Dewa Trenggiling, Dewa Siamang, dan dewa di gua. Bunga menjadi hal yang penting bagi SAD. Selain untuk memuja dan memanggil dewa-dewa, bunga juga menjadi syarat mutlak untuk bebalai ‘pesta pernikahan’. Hal tersebut tergambar pada seloka adat berikut ini.
Ado rimbo ado bungo Ada rimba ada bunga
Ado bungo ado dewo ada bunga ada dewa
Hopi ado rimbo hopi ado bungo Tidak ada rimba tidak ada bunga
Hopi ado bungo hopi ado dewo Tidak ada bunga tidak ada dewa
SAD mempunyai berbagai aturan yang diwarisi secara turun temurun. Kehidupan SAD sarat berbagai tabu dan pantangan disertai sanksi-saksi adat bagi yang melanggarnya. Hal tersebut tergambar pada seloka berikut.
Ditunjuk diajo Sudah diberitahu
Dak inget ditangi Masih juga dilanggar
Adat Suku Anak dalam tersebut ada tiga, yaitu rumah tangga (laki-bini), jadi kawin dan berburu. Adat rumah tangga (laki-bini) adalah meletakkan istri dalam adat. Maksudnya istri atau suami hendaknya tahu akan tugas dan kewajibannya.
Hal ini tercantum dalam seloka berikut.
Hak dan Kewajiban Suami
Nang kedelok Mau kucari
Lauq ikan Lauk ikan
Asem gerom Asam garam
Beju koin Baju uang
Kintang kali Merawat jika sakit
Huma tanom Ladang tanam
Hak dan Kewajiban Istri
Kayu aik Kayu air
Masak mato Masak mata
Tikar bantal Tikar bantal
Seloka di atas memperlihatkan perbedaan tugas kewajiban suami dan istri.
Adat laki-bini ini tidak boleh digunakan sembarang sesuai dengan seloka berikut.
Adat tiado hopi kupak Adat tiada boleh dilanggar
Memakai tiado boleh sumbing Memakai tiada boleh diubah
Apabila suami atau istri tidak memenuhi tugas dan kewajibannya akan didenda 40 kain atau dicerai. Apabila istri atau suami berselingkuh maka akan didenda 500 kain dan semua harta akan diambil. Perkara ini berhak diputuskan oleh penghulu.
Adat SAD yang terkenal adalah Pucuk Undang-Undang Delapan dan Teliti Duabelas. Pucuk Undang-Undang Delapan terdiri atas 4 (empat) Undang-undang di bawah, yaitu Sio Bakar, Amo Geram, Tantang Pahamun, dan Tabung Racun dan 4 (empat) Undang-undang di Atas, yaitu mencerah telur (Kawin dengan anak sendiri), melebung dalam (kawin dengan saudara sendiri), menikam bumi (kawin dengan induk/orang tua), dan mandi pancuran gading (kawin atau selingkuh dengan istri atau suami orang).
Jika terjadi kesalahan pada Pucuk Undang-Undang Delapan di Atas (mencerah telur, melebung dalam, menikam bumi, dan mandi pancuran gading) adalah kesalahan yang tidak dapat ditoleransi atau diampuni. Hal ini sesuai dengan seloka adat yang berbunyi sebagai berikut.
Beremai mati dak beremai mati Walaupun dibayar tetap mati
Salah tangan, tangan bekerat Salah tangan, tangan dipotong
Salah kaki, kaki bekerat Salah kaki, kaki dipotong
Salah mulut, mulut besait Salah mulut, mulut digaris/dipotong sebelah
Salah lidah, lidah bekerat Salah lidah, lidah dipotong
Salah mato, mato becukik Salah mata, mata diambil
Pucuk Undang-Undang Delapan yang di Bawah dan Teliti Duabelas adalah kesalahan yang masih dapat dimaafkan atau diampuni. Berikut adalah seloka mengenai hal ini.
Salah kecik bisah lepai Salah kecil bisa lepas
Salah besak bisah jadi kecik Salah besar bisa menjadi kecil
Rampoi rampik samin sakal Merampas, mencur, mengambil harta orang
(Seloka terpegang anak gadis orang)
Tesesat tejerami Tersesat terjerami
Tepegang tepakai Terpegang terpakai
Teecoh tekacau Memiliki Terpakai
(seloka terinjak tikar orang)
Setiap kesalahan besar atau kecil yang diperbuat oleh SAD diputuskan oleh penghulu. Sebelum perkara tersebut diputuskan dan apa pun bentuk perkara tersebut haruslah disertai bukti-bukti yang jelas. Hal tersebut sesuai seloka berikut.
Tampuk tangkai ciri tando Tampuk tangkai ciri tanda
Tanohnyo nang di parit Tanahnya yang digaris
Kayunyo nang di tekuk Kayunya yang ditekuk
Jika semua telah dibuktikan dengan benar maka si pembuat kesalahan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah dengan keadaan, sesuai dengan seloka berikut.
Tesekup dengen jalonyo nang bekandung tertutup dengan jala yang terkandung
Dalam kehidupan sehari-hari SAD berupaya tidak salah melangkah dan menyesal di kemudian hari seperti tampak dalam seloka berikut.
Saloh tijak salah langkoh salah tijak salah langkah
Saloh pandong saloh pengoli salah pandang salah penglihatan
Bertahun-tahun lamanya SAD hidup dalam hutan tanpa berkeinganan mengubah hutan. Hal ini tampak pada seloka adat “Merubah Alam” berikut ini.
Hopi ado idup segelonyo Tidak ada hidup semuanya
Hopi ado hati segelonyo Tidak ada hati semuanya
SALAH SATU ANAK SAD YANG BERMAIN DI JALAN DESA TERDEKAT
Kehidupan SAD sangat bergantung pada rimba. SAD hidup bersama suka-duka penuh keakraban. Seirang dengan berkurangnya hutan dan globalisasi setakat ini, kehidupan SAD juga terdesak. Bukan tidak mungkin suatu saat kita bukan hanya kehilangan hutan, tetapi komunitas SAD di dalamnya. Kalau begitu, siapa bertanggung jawab?
Jika kita menelusuri hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di daerah Provinsi Jambi maka kita dapat menjumpai Suku Anak Dalam (SAD). TNBD merupakan habitat SAD. TNBD merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi, ditetapkan pemerintah menjadi kawasan Taman Nasional. TNBD dapat ditempuh selama 3 jam dari Pauh kemudian sekitar 2 jam ke wilayah Bukit Suban.
SAD merupakan sebutan Pemerintah untuk menyebut SAD yang berarti manusia minoritas di Pedalaman. Selain itu, SAD dikenal juga dengan sebutan Orang Rimba atau Orang Kubu. Orang Kubu merupakan sebutan yang digunakan oleh Orang Melayu Jambi dan Palembang terhadap suku yang menyebut dirinya “Orang Rimba”. Kubu dalam bahasa Melayu berarti blok-blok pertahanan yang dilakukan secara bergerilya di dalam hutan. Orang Rimba tidak suka disebut Orang Kubu karena sarat dengan konotasi negatif. Sementara, Orang Rimba nama yang digunakan untuk menyebut mereka sendiri sebagai manusia yang tinggal di Pedalaman Hutan Bukit Duabelas.
TNBD MERUPAKAN HABITAT SAD
Sebagian ahli memperkirakan SAD berasal dari nenek moyang ras Melayu tua (proto Melayu). Versi lain menyebutkan, Orang Rimba berasal dari perpaduan orang Bongson dari daerah Vietnam dengan orang Yunan. Perkawinan ras ini menghasilkan ras Bioto Melayu atau orang Melayu dan orang Rimba.
TUMENGGUNG TARIF, SALAH SATU SAD DI DESA AIR HITAM
Hutan bagi SAD merupakan sumber kehidupan. Mereka lahir, besar, dan akan mati di hutan. Tidaklah mengherankan bila hutan menjadi tempat istimewa bagi SAD. Hutan adalah tempat mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara, dan menghidupi. Hutan juga menjadi sumber norma-norma, nilai-nilai, dan pandangan hidup mereka. Kehidupan SAD sarat dengan ritual. Kegiatan ritual SAD harus berlangsung dalam hutan dan steril dari orang luar. Dalam kegiatan ritual tersebut, SAD mempersembahkan berbagai jenis bunga-bunga kepada dewa-dewa yang mereka puja pada saat bedeker (besale), antara lain Dewa Kayu, dewa di laut, dewa di gunung, dewa di langit, Dewa Gajah. Dewa Harimau, Dewa Trenggiling, Dewa Siamang, dan dewa di gua. Bunga menjadi hal yang penting bagi SAD. Selain untuk memuja dan memanggil dewa-dewa, bunga juga menjadi syarat mutlak untuk bebalai ‘pesta pernikahan’. Hal tersebut tergambar pada seloka adat berikut ini.
Ado rimbo ado bungo Ada rimba ada bunga
Ado bungo ado dewo ada bunga ada dewa
Hopi ado rimbo hopi ado bungo Tidak ada rimba tidak ada bunga
Hopi ado bungo hopi ado dewo Tidak ada bunga tidak ada dewa
SAD mempunyai berbagai aturan yang diwarisi secara turun temurun. Kehidupan SAD sarat berbagai tabu dan pantangan disertai sanksi-saksi adat bagi yang melanggarnya. Hal tersebut tergambar pada seloka berikut.
Ditunjuk diajo Sudah diberitahu
Dak inget ditangi Masih juga dilanggar
Adat Suku Anak dalam tersebut ada tiga, yaitu rumah tangga (laki-bini), jadi kawin dan berburu. Adat rumah tangga (laki-bini) adalah meletakkan istri dalam adat. Maksudnya istri atau suami hendaknya tahu akan tugas dan kewajibannya.
Hal ini tercantum dalam seloka berikut.
Hak dan Kewajiban Suami
Nang kedelok Mau kucari
Lauq ikan Lauk ikan
Asem gerom Asam garam
Beju koin Baju uang
Kintang kali Merawat jika sakit
Huma tanom Ladang tanam
Hak dan Kewajiban Istri
Kayu aik Kayu air
Masak mato Masak mata
Tikar bantal Tikar bantal
Seloka di atas memperlihatkan perbedaan tugas kewajiban suami dan istri.
Adat laki-bini ini tidak boleh digunakan sembarang sesuai dengan seloka berikut.
Adat tiado hopi kupak Adat tiada boleh dilanggar
Memakai tiado boleh sumbing Memakai tiada boleh diubah
Apabila suami atau istri tidak memenuhi tugas dan kewajibannya akan didenda 40 kain atau dicerai. Apabila istri atau suami berselingkuh maka akan didenda 500 kain dan semua harta akan diambil. Perkara ini berhak diputuskan oleh penghulu.
Adat SAD yang terkenal adalah Pucuk Undang-Undang Delapan dan Teliti Duabelas. Pucuk Undang-Undang Delapan terdiri atas 4 (empat) Undang-undang di bawah, yaitu Sio Bakar, Amo Geram, Tantang Pahamun, dan Tabung Racun dan 4 (empat) Undang-undang di Atas, yaitu mencerah telur (Kawin dengan anak sendiri), melebung dalam (kawin dengan saudara sendiri), menikam bumi (kawin dengan induk/orang tua), dan mandi pancuran gading (kawin atau selingkuh dengan istri atau suami orang).
Jika terjadi kesalahan pada Pucuk Undang-Undang Delapan di Atas (mencerah telur, melebung dalam, menikam bumi, dan mandi pancuran gading) adalah kesalahan yang tidak dapat ditoleransi atau diampuni. Hal ini sesuai dengan seloka adat yang berbunyi sebagai berikut.
Beremai mati dak beremai mati Walaupun dibayar tetap mati
Salah tangan, tangan bekerat Salah tangan, tangan dipotong
Salah kaki, kaki bekerat Salah kaki, kaki dipotong
Salah mulut, mulut besait Salah mulut, mulut digaris/dipotong sebelah
Salah lidah, lidah bekerat Salah lidah, lidah dipotong
Salah mato, mato becukik Salah mata, mata diambil
Pucuk Undang-Undang Delapan yang di Bawah dan Teliti Duabelas adalah kesalahan yang masih dapat dimaafkan atau diampuni. Berikut adalah seloka mengenai hal ini.
Salah kecik bisah lepai Salah kecil bisa lepas
Salah besak bisah jadi kecik Salah besar bisa menjadi kecil
Rampoi rampik samin sakal Merampas, mencur, mengambil harta orang
(Seloka terpegang anak gadis orang)
Tesesat tejerami Tersesat terjerami
Tepegang tepakai Terpegang terpakai
Teecoh tekacau Memiliki Terpakai
(seloka terinjak tikar orang)
Setiap kesalahan besar atau kecil yang diperbuat oleh SAD diputuskan oleh penghulu. Sebelum perkara tersebut diputuskan dan apa pun bentuk perkara tersebut haruslah disertai bukti-bukti yang jelas. Hal tersebut sesuai seloka berikut.
Tampuk tangkai ciri tando Tampuk tangkai ciri tanda
Tanohnyo nang di parit Tanahnya yang digaris
Kayunyo nang di tekuk Kayunya yang ditekuk
Jika semua telah dibuktikan dengan benar maka si pembuat kesalahan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah dengan keadaan, sesuai dengan seloka berikut.
Tesekup dengen jalonyo nang bekandung tertutup dengan jala yang terkandung
Dalam kehidupan sehari-hari SAD berupaya tidak salah melangkah dan menyesal di kemudian hari seperti tampak dalam seloka berikut.
Saloh tijak salah langkoh salah tijak salah langkah
Saloh pandong saloh pengoli salah pandang salah penglihatan
Bertahun-tahun lamanya SAD hidup dalam hutan tanpa berkeinganan mengubah hutan. Hal ini tampak pada seloka adat “Merubah Alam” berikut ini.
Hopi ado idup segelonyo Tidak ada hidup semuanya
Hopi ado hati segelonyo Tidak ada hati semuanya
SALAH SATU ANAK SAD YANG BERMAIN DI JALAN DESA TERDEKAT
Kehidupan SAD sangat bergantung pada rimba. SAD hidup bersama suka-duka penuh keakraban. Seirang dengan berkurangnya hutan dan globalisasi setakat ini, kehidupan SAD juga terdesak. Bukan tidak mungkin suatu saat kita bukan hanya kehilangan hutan, tetapi komunitas SAD di dalamnya. Kalau begitu, siapa bertanggung jawab?
GURITAN:DULU DAN KINI
Oleh Linny Oktovianny
KIRA-KIRA abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 pernah muncul cerita yang dituturkan dengan lagu atau irama tertentu yang cukup populer di kalangan masyarakat Besemah, yaitu guritan. Penuturan cerita atau beguritan dilaksanakan pada saat syukuran saat panen, kenduri pernikahan, atau ketika purnama menerangi jagat Besemah. Ngguritan atau menuturkan cerita guritan biasanya berisi ajaran moral, nasihat, aturan-aturan adat, kepahlawanan dan kerajaan masa lalu serta cerita tentang manusia berikut tingkah lakunya.
Biasanya beguritan atau Penuturan cerita memakan waktu yang cukup lama. Beguritan dilaksanakan seusai salat Maghrib sampai tengah malam.
Pada waktu yang lalu guritan diguritkan dengan cara yang unik, yaitu penggurit (penutur guritan) duduk bersila dengan khusyuk, tangannya berlipat di atas sambang, suatu alat khusus dari bambu yang berdiameter 9 cm dan panjang 2 jengkal dan dilubangi pada bagian ujungnya. Sambang digunakan penggurit untuk mengolah vibrasi suaranya. Penggurit memerlukan nafas panjang dan kepekaan terhadap isi cerita serta kelancaran bertutur. Keahlian mengatur nafas, suara dan improvisasi merupakan hal yang penting bagi penggurit ketika guritan akan dituturkan karena umumnya cerita guritan sangat panjang.
Selain itu, sambang juga berfungsi sebagai alat untuk berkosentrasi. Biasanya sambil memejamkan mata penggurit menundukkan kepala yang berfungsi untuk mengingat dan berkosentrasi pada cerita yang sedang dituturkan. Sambang juga memiliki fungsi untuk mengatasi rasa lelah penggurit.
Penghayatan merupakan kekuatan guritan. Guritan yang dituturkan dengan interpretasi penggurit yang baik akan semakin memikat dan nikmat untuk diikuti oleh pendengarnya. Biasanya, pendengar juga larut mendengarkan kisah yang dijalin dalam guritan. Melalui pembacaan guritan dapat dihadirkan suasana magis yang muncul sebagai gema dari masa silam. Guritan mampu menghadirkan kembali kenangan-kenangan masa lampau jagat Besemah yang samar-samar ada dibenak masyarakat. Bagi penontonnya guritan memiliki daya pikat tersendiri lantaran serius mengikuti perkembangan cerita yang dituturkan melalui guritan. Hal tersebut terkadang membuat penonton menangis, gemas, tertawa bahkan menjadi sangat emosional.
Untuk dapat menuturkan guritan dengan tuntas sangat diperlukan penghayatan, kemampuan teknis mencakup vokal, ekspresi, dan intonasi serta ingatan yang tajam. Tidak banyak orang yang dapat menyampaikan guritan dengan baik apalagi sampai mencapai taraf ahli.
Guritan memiliki dua versi yaitu guritan lama dan guritan baru. Guritan lama umumnya berisi kisah-kisah dan pribahasa-pribahasa, sedangkan guritan yang baru materinya mengandung kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa sejarah selama gerilya. Guritan yang baru merupakan gubahan dan berpijak pada format guritan lama.
Sulit untuk mengetahui secara pasti sejak kapan guritan sudah mulai ada di tanah Besemah karena sedikitnya data-data yang mendukung ranah tersebut. Guritan lama sulit dan sudah tidak dapat ditelusuri lagi. Tahu-tahu guritan tersebut sudah ada di tengah-tengah masyarakat Besemah. Bahasa yang digunakan dalam guritan Besemah versi lama menggunakan bahasa lama yang terkadang orang Besemah sendiri banyak kurang paham atau tidak mengerti sama sekali maknanya. Karena bahasa Besemah yang lama sudah jarang digunkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Besemah.
Guritan dulu dituturkan secara monolog oleh seorang pencerita. Kini guritan dapat dituturkan secara bergantian oleh dua orang atau lebih sesuai dengan kebutuhan atau isi cerita yang dituturkan.
Kini tidak banyak lagi orang yang dapat menuturkan guritan dengan pemahaman yang baik terlebih-lebih menuturkan guritan versi lama. Guritan masa kini lebih banyak bercerita mengenai kehidupan manusia seperti karakter manusia beserta kepahlawanannya yang tentu saja masih dapat kita teladani bersama.
Berikut adalah Cuplikan Guritan Keriye Rumbak ngempang Lematang.
Uuuuuy
Tembay uway tembay lengguway
Tembay bejejak di pantunan
“Pantun mamak ngambik buluh
Ambik ujung buwang di pangkal
Ambik di tengah njadi sigian
Pacak dibuwat sambang ayik
Ayik keghing sambang dikepit
Njadi peranti nebah guritan”.
Dide mandak pantun di sane
Pantunan masih diganjurkan
“Pantun dicare ughang dusun
Minjam pahat minjam landasan
Minjam mate-pisaw landap
Minjam adat dusun-laman
Minjam care kandik berucap”
Iluk niyan mangkal pantunan
Lah iluk pule mangkal guritan
Guritan ini kami batasi
Guritan care jeme baghi
Cerite sukat KERIYE RUMBAK
Lanang gedang NGEMPANG LEMATANG
Kamu ndak tau ceriteannye
Aningi kuday mangke sampay
Uuuuuy
Seliyuk selimbang alay
Betemu muware sangkup tanjungan
Singgan dikukup aban putih
Sibang disinjar mate-aghi
Di bawah langit teterukup
Di pucuk bumi tarebentang
Kah pantak undur bekelam
Tentangan bukit Isaw-isaw
Balik sane kumpay berapat
Balik ke sini kumpay teghapung
Balik sane banjaran umbak
Balik ke sini banjaran bungin
Berekat sepate sesumbaran
Nggah kelaway alap ungkay
Nggah rapitan tanah mudik.
Artinya:
Oooooi
Tembay uway tembay lengguway
(mula dibuka cerita)
Mula berawal pada pantun (perumpamaan)
Pantun paman mengambil bambu
Diambil bagian ujung, dibuang bagian pangkal
Diambil bagian tengah
Yang dapat dibuat sambai
Jika air kering (tidak ada air) Sambang dikepit
(dibawa di bawah ketiak)
Dijadikan alat untuk menuturkan guritan
Tidak berhenti pantun di bagian itu
Pantunan (perumpamaan) masih diteruskan
“yaitu pantun (seumpama) orang di dusun
Meminjam pahat meminjam landasan
Meminjam mata parang yang tajam
Meminjam (memakai) adat kebiasaan dusun-laman
Meminjam cara untuk bertutur”
Sungguh baik memulai pantunan (kisahan/pemisahan)
Sudah bagus pula untuk memulai guritan
Guritan ini kami batasi
Guritan cara orang-orang dulu
Cerita tentang kehidupan KERIYE RUMBAK
Lelaki perkasa yang membendung sungai Lematang
Kamu mau tau ceritanya?
Dengarkan dulu supaya sampai
Oooooi
Sekelokan seputar pohon alay
Bertemu muara yang sempit
Terlihat sepertiditutupi awan putih
Ketika disinari cahaya matahari
Di bawah langit tertelungkup
Di atas bumi terbentang
Akan membuat rasa-rasa ingin menyepi di situ
Setentang dengan bukit isaw-isaw
Ke sanalah kumpay (nama jenis tumbuhan lebak berkumpul)
Ke sinilah kumpay terapung
Ke arah sana barisan ombak berkejar-kejaran
Ke sanalah juga tumpukan pasir
Berkat sampah dan semboyan
Dengan saudara perempuan yang cantik lagi jenjang
Dengan saudara-saudara tetangga di uluan
(Guritan “KERIYE RUMBANG NGEMPANG LEMATANG” dituturkan oleh Irfan dan Sarkowi, ditranskripsikan penulis dan diterjemahkan A. Bastari Suan)
Linny Oktovianny
KIRA-KIRA abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 pernah muncul cerita yang dituturkan dengan lagu atau irama tertentu yang cukup populer di kalangan masyarakat Besemah, yaitu guritan. Penuturan cerita atau beguritan dilaksanakan pada saat syukuran saat panen, kenduri pernikahan, atau ketika purnama menerangi jagat Besemah. Ngguritan atau menuturkan cerita guritan biasanya berisi ajaran moral, nasihat, aturan-aturan adat, kepahlawanan dan kerajaan masa lalu serta cerita tentang manusia berikut tingkah lakunya.
Biasanya beguritan atau Penuturan cerita memakan waktu yang cukup lama. Beguritan dilaksanakan seusai salat Maghrib sampai tengah malam.
Pada waktu yang lalu guritan diguritkan dengan cara yang unik, yaitu penggurit (penutur guritan) duduk bersila dengan khusyuk, tangannya berlipat di atas sambang, suatu alat khusus dari bambu yang berdiameter 9 cm dan panjang 2 jengkal dan dilubangi pada bagian ujungnya. Sambang digunakan penggurit untuk mengolah vibrasi suaranya. Penggurit memerlukan nafas panjang dan kepekaan terhadap isi cerita serta kelancaran bertutur. Keahlian mengatur nafas, suara dan improvisasi merupakan hal yang penting bagi penggurit ketika guritan akan dituturkan karena umumnya cerita guritan sangat panjang.
Selain itu, sambang juga berfungsi sebagai alat untuk berkosentrasi. Biasanya sambil memejamkan mata penggurit menundukkan kepala yang berfungsi untuk mengingat dan berkosentrasi pada cerita yang sedang dituturkan. Sambang juga memiliki fungsi untuk mengatasi rasa lelah penggurit.
Penghayatan merupakan kekuatan guritan. Guritan yang dituturkan dengan interpretasi penggurit yang baik akan semakin memikat dan nikmat untuk diikuti oleh pendengarnya. Biasanya, pendengar juga larut mendengarkan kisah yang dijalin dalam guritan. Melalui pembacaan guritan dapat dihadirkan suasana magis yang muncul sebagai gema dari masa silam. Guritan mampu menghadirkan kembali kenangan-kenangan masa lampau jagat Besemah yang samar-samar ada dibenak masyarakat. Bagi penontonnya guritan memiliki daya pikat tersendiri lantaran serius mengikuti perkembangan cerita yang dituturkan melalui guritan. Hal tersebut terkadang membuat penonton menangis, gemas, tertawa bahkan menjadi sangat emosional.
Untuk dapat menuturkan guritan dengan tuntas sangat diperlukan penghayatan, kemampuan teknis mencakup vokal, ekspresi, dan intonasi serta ingatan yang tajam. Tidak banyak orang yang dapat menyampaikan guritan dengan baik apalagi sampai mencapai taraf ahli.
Guritan memiliki dua versi yaitu guritan lama dan guritan baru. Guritan lama umumnya berisi kisah-kisah dan pribahasa-pribahasa, sedangkan guritan yang baru materinya mengandung kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa sejarah selama gerilya. Guritan yang baru merupakan gubahan dan berpijak pada format guritan lama.
Sulit untuk mengetahui secara pasti sejak kapan guritan sudah mulai ada di tanah Besemah karena sedikitnya data-data yang mendukung ranah tersebut. Guritan lama sulit dan sudah tidak dapat ditelusuri lagi. Tahu-tahu guritan tersebut sudah ada di tengah-tengah masyarakat Besemah. Bahasa yang digunakan dalam guritan Besemah versi lama menggunakan bahasa lama yang terkadang orang Besemah sendiri banyak kurang paham atau tidak mengerti sama sekali maknanya. Karena bahasa Besemah yang lama sudah jarang digunkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Besemah.
Guritan dulu dituturkan secara monolog oleh seorang pencerita. Kini guritan dapat dituturkan secara bergantian oleh dua orang atau lebih sesuai dengan kebutuhan atau isi cerita yang dituturkan.
Kini tidak banyak lagi orang yang dapat menuturkan guritan dengan pemahaman yang baik terlebih-lebih menuturkan guritan versi lama. Guritan masa kini lebih banyak bercerita mengenai kehidupan manusia seperti karakter manusia beserta kepahlawanannya yang tentu saja masih dapat kita teladani bersama.
Berikut adalah Cuplikan Guritan Keriye Rumbak ngempang Lematang.
Uuuuuy
Tembay uway tembay lengguway
Tembay bejejak di pantunan
“Pantun mamak ngambik buluh
Ambik ujung buwang di pangkal
Ambik di tengah njadi sigian
Pacak dibuwat sambang ayik
Ayik keghing sambang dikepit
Njadi peranti nebah guritan”.
Dide mandak pantun di sane
Pantunan masih diganjurkan
“Pantun dicare ughang dusun
Minjam pahat minjam landasan
Minjam mate-pisaw landap
Minjam adat dusun-laman
Minjam care kandik berucap”
Iluk niyan mangkal pantunan
Lah iluk pule mangkal guritan
Guritan ini kami batasi
Guritan care jeme baghi
Cerite sukat KERIYE RUMBAK
Lanang gedang NGEMPANG LEMATANG
Kamu ndak tau ceriteannye
Aningi kuday mangke sampay
Uuuuuy
Seliyuk selimbang alay
Betemu muware sangkup tanjungan
Singgan dikukup aban putih
Sibang disinjar mate-aghi
Di bawah langit teterukup
Di pucuk bumi tarebentang
Kah pantak undur bekelam
Tentangan bukit Isaw-isaw
Balik sane kumpay berapat
Balik ke sini kumpay teghapung
Balik sane banjaran umbak
Balik ke sini banjaran bungin
Berekat sepate sesumbaran
Nggah kelaway alap ungkay
Nggah rapitan tanah mudik.
Artinya:
Oooooi
Tembay uway tembay lengguway
(mula dibuka cerita)
Mula berawal pada pantun (perumpamaan)
Pantun paman mengambil bambu
Diambil bagian ujung, dibuang bagian pangkal
Diambil bagian tengah
Yang dapat dibuat sambai
Jika air kering (tidak ada air) Sambang dikepit
(dibawa di bawah ketiak)
Dijadikan alat untuk menuturkan guritan
Tidak berhenti pantun di bagian itu
Pantunan (perumpamaan) masih diteruskan
“yaitu pantun (seumpama) orang di dusun
Meminjam pahat meminjam landasan
Meminjam mata parang yang tajam
Meminjam (memakai) adat kebiasaan dusun-laman
Meminjam cara untuk bertutur”
Sungguh baik memulai pantunan (kisahan/pemisahan)
Sudah bagus pula untuk memulai guritan
Guritan ini kami batasi
Guritan cara orang-orang dulu
Cerita tentang kehidupan KERIYE RUMBAK
Lelaki perkasa yang membendung sungai Lematang
Kamu mau tau ceritanya?
Dengarkan dulu supaya sampai
Oooooi
Sekelokan seputar pohon alay
Bertemu muara yang sempit
Terlihat sepertiditutupi awan putih
Ketika disinari cahaya matahari
Di bawah langit tertelungkup
Di atas bumi terbentang
Akan membuat rasa-rasa ingin menyepi di situ
Setentang dengan bukit isaw-isaw
Ke sanalah kumpay (nama jenis tumbuhan lebak berkumpul)
Ke sinilah kumpay terapung
Ke arah sana barisan ombak berkejar-kejaran
Ke sanalah juga tumpukan pasir
Berkat sampah dan semboyan
Dengan saudara perempuan yang cantik lagi jenjang
Dengan saudara-saudara tetangga di uluan
(Guritan “KERIYE RUMBANG NGEMPANG LEMATANG” dituturkan oleh Irfan dan Sarkowi, ditranskripsikan penulis dan diterjemahkan A. Bastari Suan)
Linny Oktovianny
06 Februari 2008
Pantun dari Ruang Domestik Sampai Ruang Publik
Catatan dari Pertunjukan Pantun Nusantara 2007 :
Puto Hatong, Puto Karudding, Jaja Hamira dan Jaja Sumanga, dua perempuan dan dua lelaki berpakaian serba hitam melantunkan pantun yang diiringi alunan seruling bersuasana menyayat dan magis. Puto Hatong dan ketiga kawannya mengawali pertunjukan Pantun Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu lalu (9/12).
Basing (pantun meratapi kematian) yang disajikan oleh Puto Hatong dan ke tiga kawannya itu adalah nyanyian dan suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria yang memainkan suling Basing dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Basing yang mereka gunakan terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter.
Dalam masyarakat etnis Kajang (Sulawesi Tenggara), pada mulanya nyanyian itu hanya dimainkan dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi. Karena akhir-akhir ini Basing telah mengalami perubahan fungsi. Menurut Dr. Halilintar Latief, sekarang ini sudah ada Basing untuk upacara adat, menyambut tamu, dan lain-lain. Sebelumnya Basing merupakan nyanyian ratapan dari keluarga yang ditinggalkan. Basing yang dilantunkan untuk kematian itu disebut Basing Tempa Sorong. Tabu dilantunkan disembarang waktu, apalagi jika tidak ada kematian.
Ratapan sebagai ekspresi yang diungkapkan dalam bentuk pantun ternyata bukan sekedar terdapat dalam upacara kematian saja. Sebuku Gayo atau pepongoten dalam masyarakat Gayo misalnya dikenal sebagai seni meratap yang diungkapkan secara indah, puitis, dan disertai tangisan. Bersebuku merupakan tradisi dalam pesta perkawinan masyarakat Gayo. Para dara terlebih dahulu belajar bersebuku karena ketika ia memasuki jenjang perkawinan akan melakukan tradisi itu
Seni meratap gaya Gayo ini ditampilkan oleh Hidayah, Sri Bintan, Mayawati gayo, Mutiara, dan Khairul Saleh dengan penuh penghayatan. Sesuai dengan fungsinya pepongoten yakni ketika pengantin wanita yang akan meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mengikuti suami, maka akan bersebuku kepada orang tua dan teman sepergaulan. Dalam sebuku itulah diungkapkan rasa sedih pengantin wanita meninggalkan orang tua, rumah, tempat bermain, dan sanak saudara.
Dalam pengadeganan Pantun Nusantara ini oleh Nano Riantiarno selaku sutradara pertunjukan, maka seni meratap orang Gayo ini ditempatkan setelah upacara Kacar-kucur yakni pantun dalam ritual pengantin Jawa dan upacara Malake-an Gala yakni upacara memberi gelar pada sang pengantin yang berasal dari Minang.
Memang terasa lucu dan unik, ketika setelah serangkaian ritual pengantin Jawa selesai, maka dilangsungkan pemberian gelar kepada Sang Pengantin Jawa. Zulkifli Dt. Sinaro nan Kuniang, Iqbal Dt. Nan Muda, dan Junaidi yang menyajikan Malake-an Gala akhirnya menabalkan gelar Sutan kepada Sang Pengantin Jawa dalam sebuah ritual “seni pertunjukan”.
Selama lebih kurang 120 menit Nano Riantiarno meracik 12 daerah yang meliputi Upacara Nelu Bulanin (Bali), Kayat (Riau), Pantun Meminang (Kepulauan Riau), Sebuku Gayo (Aceh), Kacar-Kucur (Jawa tengah), Malake-an Gala (Sumatra Barat), Nenggung (Palembang), Jantuk (Betawi), Kaganti (Buton), Panas Pela (Ambon), Basing (Kajang), dan Belian Sentu (Kutai). Dari beberapa ritual itu tentunya sebagian bertolak dari ruang domestik dan sebagian lainnya memang berada di ruang publik. Tak dapat disangkal bahwa pantun memang terbukti merupakan produk budaya tertua kita. Sebagian besar telah telah ditampilkan pada Pantun Nusantara 2007 yang diprakarsai oleh Asosiasi Tradisi Lisan, Universitas Indonesia, Unika Atma Jaya, dan NBSF Depbudpar RI.
Pantun Nusantara 2007 telah memperlihatkan “kesantunan, keindahan, dan keunikan berbahasa” berbagai komunitas masyarakat di Indonesia dalam menyampaikan berbagai ekspresi perasaan, pikiran, gagasan, dan hal lainnya dengan pilihan diksi yang tepat dan sesuai dengan pendengarnya. Kematian sengaja diketengahkan pada awal dan bukan akhir pementasan untuk menciptakan suasana dramatik dan menahan “minat” penonton hingga akhir pertunjukan.(Tim ATL/SS)
Puto Hatong, Puto Karudding, Jaja Hamira dan Jaja Sumanga, dua perempuan dan dua lelaki berpakaian serba hitam melantunkan pantun yang diiringi alunan seruling bersuasana menyayat dan magis. Puto Hatong dan ketiga kawannya mengawali pertunjukan Pantun Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu lalu (9/12).
Basing (pantun meratapi kematian) yang disajikan oleh Puto Hatong dan ke tiga kawannya itu adalah nyanyian dan suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria yang memainkan suling Basing dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Basing yang mereka gunakan terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter.
Dalam masyarakat etnis Kajang (Sulawesi Tenggara), pada mulanya nyanyian itu hanya dimainkan dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi. Karena akhir-akhir ini Basing telah mengalami perubahan fungsi. Menurut Dr. Halilintar Latief, sekarang ini sudah ada Basing untuk upacara adat, menyambut tamu, dan lain-lain. Sebelumnya Basing merupakan nyanyian ratapan dari keluarga yang ditinggalkan. Basing yang dilantunkan untuk kematian itu disebut Basing Tempa Sorong. Tabu dilantunkan disembarang waktu, apalagi jika tidak ada kematian.
Ratapan sebagai ekspresi yang diungkapkan dalam bentuk pantun ternyata bukan sekedar terdapat dalam upacara kematian saja. Sebuku Gayo atau pepongoten dalam masyarakat Gayo misalnya dikenal sebagai seni meratap yang diungkapkan secara indah, puitis, dan disertai tangisan. Bersebuku merupakan tradisi dalam pesta perkawinan masyarakat Gayo. Para dara terlebih dahulu belajar bersebuku karena ketika ia memasuki jenjang perkawinan akan melakukan tradisi itu
Seni meratap gaya Gayo ini ditampilkan oleh Hidayah, Sri Bintan, Mayawati gayo, Mutiara, dan Khairul Saleh dengan penuh penghayatan. Sesuai dengan fungsinya pepongoten yakni ketika pengantin wanita yang akan meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mengikuti suami, maka akan bersebuku kepada orang tua dan teman sepergaulan. Dalam sebuku itulah diungkapkan rasa sedih pengantin wanita meninggalkan orang tua, rumah, tempat bermain, dan sanak saudara.
Dalam pengadeganan Pantun Nusantara ini oleh Nano Riantiarno selaku sutradara pertunjukan, maka seni meratap orang Gayo ini ditempatkan setelah upacara Kacar-kucur yakni pantun dalam ritual pengantin Jawa dan upacara Malake-an Gala yakni upacara memberi gelar pada sang pengantin yang berasal dari Minang.
Memang terasa lucu dan unik, ketika setelah serangkaian ritual pengantin Jawa selesai, maka dilangsungkan pemberian gelar kepada Sang Pengantin Jawa. Zulkifli Dt. Sinaro nan Kuniang, Iqbal Dt. Nan Muda, dan Junaidi yang menyajikan Malake-an Gala akhirnya menabalkan gelar Sutan kepada Sang Pengantin Jawa dalam sebuah ritual “seni pertunjukan”.
Selama lebih kurang 120 menit Nano Riantiarno meracik 12 daerah yang meliputi Upacara Nelu Bulanin (Bali), Kayat (Riau), Pantun Meminang (Kepulauan Riau), Sebuku Gayo (Aceh), Kacar-Kucur (Jawa tengah), Malake-an Gala (Sumatra Barat), Nenggung (Palembang), Jantuk (Betawi), Kaganti (Buton), Panas Pela (Ambon), Basing (Kajang), dan Belian Sentu (Kutai). Dari beberapa ritual itu tentunya sebagian bertolak dari ruang domestik dan sebagian lainnya memang berada di ruang publik. Tak dapat disangkal bahwa pantun memang terbukti merupakan produk budaya tertua kita. Sebagian besar telah telah ditampilkan pada Pantun Nusantara 2007 yang diprakarsai oleh Asosiasi Tradisi Lisan, Universitas Indonesia, Unika Atma Jaya, dan NBSF Depbudpar RI.
Pantun Nusantara 2007 telah memperlihatkan “kesantunan, keindahan, dan keunikan berbahasa” berbagai komunitas masyarakat di Indonesia dalam menyampaikan berbagai ekspresi perasaan, pikiran, gagasan, dan hal lainnya dengan pilihan diksi yang tepat dan sesuai dengan pendengarnya. Kematian sengaja diketengahkan pada awal dan bukan akhir pementasan untuk menciptakan suasana dramatik dan menahan “minat” penonton hingga akhir pertunjukan.(Tim ATL/SS)
Spirit Sastra Lisan
Oleh Anwar Putra Bayu
Saat ini arus modernisasi semakin kuat, maka saat ini pula kita rasakan “mengecilnya” peranan sastar lisan di tengah kehidupan kita. Lalu di balik itu tentunya bahasa dan sastra daerah ikut menyertai. Tak berlebihan kemudian akan menghilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal yang dipunyai oleh sebuah “keluarga” (etnik).
Melihat gelagat itu, tampaknya sudah ada upaya pelestarian atau pun tindakan “penyelamatan” yang ditempuh oleh sebagian orang atau lembaga baik secara konservasi maupun secara inovasi.
Saat ini pula, bahkan jauh sebelumnya banyak upaya dari berbagai lembaga kebudayaan melakukan penelitian, perekaman, dan pertunjukan dalam melakukan usaha penyelamatan dan pelestarian.
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) misalnya, sejak tahun 1993 sudah melakukan kerja pelestarian tradisi lisan dengan berbagai kegiatan antara lain perekaman suara dan gambar, seminar nasional dan internasional, festival, penerbitan jurnal, dan buku seri sastra lisan. Maka wajarlah bila bulan Juli 2007 lalu di Balai Sidang Jakarta, Asosiasi Tradisi Lisan ini telah mendapatkan penghargaan (award) dari Pemerintah Indonesia atas perannya dalam meningkatkan kepedulian masyarakat akan tradisi lisan (folklore).
Dalam konteks pelestarian sastra lisan, memang sedikit sekali yang melakukan sebuah upaya inovasi pada aspek penampilan atau pertunjukannya. Terutama inovasi yang muncul dari kalangan seniman tradisi itu sendiri. Kalau pun ada kerja inovasi terhadap tradisi lisan sebagai seni pertunjukan, maka dia muncul justru dari seniman modern atau seniman akademis.
Wisran Hadi dramawan asal Sumbar itu misalnya, sebagai salah satu tokoh teater modern Indonesia, dia telah menggunakan pengucapan teater modernnya dengan aksentuasi tradisi sastra lisan Minangkabau. Sandiwara Cindua Mato salah satu karyanya sangat jelas menunjukan akar tradisi sastra lisan yang berkembang di Sumatera Barat. Sebut saja Randai menjadi seni pertunjukan yang menarik dalam kemasan Wisran Hadi.
Ketika derasnya arus modernisasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang melanda kehidupan masyarakat kita, maka perlu kita mengajukan pertanyaan kepada tradisi lisan kita seperti Jelihiman, Guritan, Ande-ande, Betadut, dan Betogou. Apakah masih menarik penyajian tradisi lisan (folklore) tersebut untuk zaman sekarang ini sebagai sebuah tontona dimana “penampakan” tidak mampu memenuhi cita rasa estetika serta hiburan bagi masyarakat saat ini?
Boleh jadi, masyarakat dengan gaya hidup modern sekarang ini, pertunjukan tradisi lisan (sastra lisan) yang berlama-lama itu tentu akan menjawab: “sudah bukan zamannya lagi”. Artinya, penuturan sastra lisan yang memakan waktu berhari-hari itu saat ini sudah tidak bisa lagi dikosumsi dan harus menghilang dari peredaran.
Itu sebabnya sebagian orang banyak yang cemas dengan lenyapnya tradisi sastra lisan. Sebagian orang sepertinya memandang sastra lisan sebagai sesuatu yang terancam seperti etnis atau masyarakat pendukungnya yang telah melahirkan dan membesarkannya. “Sayang kalau tradisi lisan yang masih bertahan hidup akan mengalami kepunahan,” kata Ahmad Bastari Suan saat mengamati sebuah pertunjukan tradisi lisan Reduy dari Prabumulih beberapa waktu lalu.
Namun, saya percaya bahwa “spirit” sastra lisan tidak akan pernah mati, itu telah dibuktikan dengan membaca ulang teks tulisan di hadapan publik. Pembacaan puisi dan pembacaan cerpen selalu disimak bersama-sama, sebagaimana ketika masyarakat pendukung Guritan dan Jelihiman mendengar para penuturnya. Seperti halnya ketika ada sebagian orang menuliskan kembali teks sastra lisan kemudian dilisankan kembali, sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh Teater Alam dalam tradisi lisan Betadut atau Anwar Beck saat membacakan teks tulis Ande-Ande di hadapan publik di sebuah hotel berbintang.
Saat ini arus modernisasi semakin kuat, maka saat ini pula kita rasakan “mengecilnya” peranan sastar lisan di tengah kehidupan kita. Lalu di balik itu tentunya bahasa dan sastra daerah ikut menyertai. Tak berlebihan kemudian akan menghilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal yang dipunyai oleh sebuah “keluarga” (etnik).
Melihat gelagat itu, tampaknya sudah ada upaya pelestarian atau pun tindakan “penyelamatan” yang ditempuh oleh sebagian orang atau lembaga baik secara konservasi maupun secara inovasi.
Saat ini pula, bahkan jauh sebelumnya banyak upaya dari berbagai lembaga kebudayaan melakukan penelitian, perekaman, dan pertunjukan dalam melakukan usaha penyelamatan dan pelestarian.
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) misalnya, sejak tahun 1993 sudah melakukan kerja pelestarian tradisi lisan dengan berbagai kegiatan antara lain perekaman suara dan gambar, seminar nasional dan internasional, festival, penerbitan jurnal, dan buku seri sastra lisan. Maka wajarlah bila bulan Juli 2007 lalu di Balai Sidang Jakarta, Asosiasi Tradisi Lisan ini telah mendapatkan penghargaan (award) dari Pemerintah Indonesia atas perannya dalam meningkatkan kepedulian masyarakat akan tradisi lisan (folklore).
Dalam konteks pelestarian sastra lisan, memang sedikit sekali yang melakukan sebuah upaya inovasi pada aspek penampilan atau pertunjukannya. Terutama inovasi yang muncul dari kalangan seniman tradisi itu sendiri. Kalau pun ada kerja inovasi terhadap tradisi lisan sebagai seni pertunjukan, maka dia muncul justru dari seniman modern atau seniman akademis.
Wisran Hadi dramawan asal Sumbar itu misalnya, sebagai salah satu tokoh teater modern Indonesia, dia telah menggunakan pengucapan teater modernnya dengan aksentuasi tradisi sastra lisan Minangkabau. Sandiwara Cindua Mato salah satu karyanya sangat jelas menunjukan akar tradisi sastra lisan yang berkembang di Sumatera Barat. Sebut saja Randai menjadi seni pertunjukan yang menarik dalam kemasan Wisran Hadi.
Ketika derasnya arus modernisasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang melanda kehidupan masyarakat kita, maka perlu kita mengajukan pertanyaan kepada tradisi lisan kita seperti Jelihiman, Guritan, Ande-ande, Betadut, dan Betogou. Apakah masih menarik penyajian tradisi lisan (folklore) tersebut untuk zaman sekarang ini sebagai sebuah tontona dimana “penampakan” tidak mampu memenuhi cita rasa estetika serta hiburan bagi masyarakat saat ini?
Boleh jadi, masyarakat dengan gaya hidup modern sekarang ini, pertunjukan tradisi lisan (sastra lisan) yang berlama-lama itu tentu akan menjawab: “sudah bukan zamannya lagi”. Artinya, penuturan sastra lisan yang memakan waktu berhari-hari itu saat ini sudah tidak bisa lagi dikosumsi dan harus menghilang dari peredaran.
Itu sebabnya sebagian orang banyak yang cemas dengan lenyapnya tradisi sastra lisan. Sebagian orang sepertinya memandang sastra lisan sebagai sesuatu yang terancam seperti etnis atau masyarakat pendukungnya yang telah melahirkan dan membesarkannya. “Sayang kalau tradisi lisan yang masih bertahan hidup akan mengalami kepunahan,” kata Ahmad Bastari Suan saat mengamati sebuah pertunjukan tradisi lisan Reduy dari Prabumulih beberapa waktu lalu.
Namun, saya percaya bahwa “spirit” sastra lisan tidak akan pernah mati, itu telah dibuktikan dengan membaca ulang teks tulisan di hadapan publik. Pembacaan puisi dan pembacaan cerpen selalu disimak bersama-sama, sebagaimana ketika masyarakat pendukung Guritan dan Jelihiman mendengar para penuturnya. Seperti halnya ketika ada sebagian orang menuliskan kembali teks sastra lisan kemudian dilisankan kembali, sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh Teater Alam dalam tradisi lisan Betadut atau Anwar Beck saat membacakan teks tulis Ande-Ande di hadapan publik di sebuah hotel berbintang.
Langganan:
Postingan (Atom)