28 April 2010

BEASISWA DAN PROGRAM KAJIAN TRADISI LISAN

PEDOMAN

KAJIAN TRADISI LISAN
SEBAGAI KEKUATAN KULTURAL
PROGRAM PENGADAAN DAN PENELITIAN AHLI TRADISI LISAN
Progam khusus DIKTI di UI, UPI, UNUD, USU, dan UGM bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan , NESO, dan KITLV

____________________________________________________________________


Bab I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Di tengah kemajuan peradaban umat manusia, yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi modern, tradisi lisan sebagai kekuatan kultural merupakan sumber pembentukan peradaban dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini penting karena tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya sangat kompleks yang mengandung, tidak hanya cerita, mitos, legenda, dan dongeng , tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hasil seni.



Kesadaran akan pentingnya tradisi lisan sebagai sumber ilmu pengetahuan mulai terasa ketika sumber-sumber pengetahuan modern yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis kerap tidak memberi jawaban terhadap keunikan-keunikan lokal yang dihadapi. Hal itu terjadi karena selama ini perguruan tinggi hanya bertumpu lebih banyak pada literatur yang mengagungkan kajian ilmu pengetahuan dalam bentuk-bentuk baku yang tertulis, sementara referensi yang bersumber dari tradisi lisan cenderung diabaikan.

Di sisi lain, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang . Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan tersebut, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber ilmu pengetahuan pada masa sekarang dan akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Perguruan Tinggi mempunyai peran penting menyiapkan program konkret mengubah media pewarisan tradisi lisan tanpa meninggalkan hakikat tradisi lisan itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya. Dalam kaitan ini penting juga memperhatikan upaya pengembangan potensi, penyusunan langkah-langkah perlindungan termasuk perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), pengembangan, dan pemanfaatan tradisi lisan sebagai kekuatan kultural yang kreatif.

Tradisi bukanlah dilihat sebagai barang antik yang harus diawetkan, yang beku, yang berasal dari masa lalu dan tidak pernah akan dan boleh berubah yang kemudian diagungkan dan diabadikan. Justru sudut pandang seperti ini akan mengangkat tradisi, khususnya tradisi lisan seperti yang telah diungkapkan dalam berbagai penelitian, dalam sejarah kegemilangan masa lalunya saja tanpa dapat mengaktualkannya dalam situasi masa kini. Perlu sekali untuk membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan yang dengan itu sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas.

Argumen di atas memungkinkan bahwa saat ini diperlukan penelitian dan kajian tradisi lisan yang dapat digunakan untuk membuka wawasan masyarakat yang pluralistik. Dengan demikian, penelitian ini berdiri dalam suatu konteks yang sifatnya pragmatis. Untuk itu, objek penelitian yang berupa tradisi lisan harus dapat diletakkan dalam suatu konteks sosial budaya (misalnya, kesadaran identitas, dan pendidikan). serta politik. dan ekonomi. Selain itu, perlu pula diingat bahwa sebagai titik tolak penelitian, tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan direvitalisasi, atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya.

B. TUJUAN DAN SASARAN

1. Tujuan Program Kajian Tradisi Lisan (KTL) ini adalah:
a. Meningkatkan kualifikasi dosen pengampu keilmuan bidang Tradisi Lisan melalui pendidikan lanjutan pada Program Pascasarjana (S2 dan S3).
b. Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan.
2. Sasaran Program Kajian Tradisi Lisan ini adalah:
a. Para dosen Perguruan Tinggi Negri dan Swasta dari berbagai bidang[1] yang mempunyai minat, kepedulian, dan komitmen pada tradisi lisan;
b. Para calon dosen Perguruan Tinggi Negri dan Swasta yang belum menjadi dosen tetap tetapi sudah dicalonkan/diusulkan menjadi staf dosen tetap di Perguruan Tinggi bersangkutan (dengan melampirkan surat keterangan Rektor terkait);
[1] Bidang ilmu yang langsung terkait dengan kajian tradisi lisan, adalah susastra, bahasa, seni pertunjukan, sejarah, antropologi, religi, hukum, filsafat, komunikasi,pengetahuan dan teknologi tradisional .

Bab II
PROGRAM KAJIAN TRADISI LISAN
Program Kajian Tradisi Lisan ini diselenggarakan dalam kluster kajian langka oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tingi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), NESO , dan KITLV.

A. PENYELENGGARAAN PROGRAM KAJIAN TRADISI LISAN
1. Universitas/Perguruan Tinggi Penyelenggara
Perguruan tinggi yang menyelenggarakan Program Studi yang dapat mengampu Kajian Tradisi Lisan adalah sebagai berikut:
1.1 Universitas Indonesia (UI)
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya: Program Studi Ilmu Susastra Peminatan Budaya Pertunjukan
Alamat: Kampus UI Depok Jawa Barat 16424 Telp : 021-7270009 (Humas) /7863528 /7863529 Fax : 021-7270038

1.2 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI),
Sekolah Pascasarjana, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Alamat: Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154
Telp : 022-2005090 / 2013163 / 2001197
Fax : 022-2005090

1.3 Universitas Sumatra Utara (USU)
Sekolah Pascasarjana, Program Studi Linguistik dan Program Studi Linguistik Konsentrasi Wacana Susastra
Alamat: Jl. Sivitas Akademika Kampus USU, Medan.
Telp : 061-8212453
Fax : 061-8212453

1.4 Universitas Udayana (UNUD),
Program Pascasarjana, Program Studi Linguistik Konsentrasi Wacana Naratif dan Progam Kajian Budaya
Alamat: Jl. Nias13, Denpasar Bali
Telp/Fax : 0361-246653

1.5 Universitas Gajah Mada (UGM),
Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi
Alamat: Jl. Teknika Utara, Pogung, Sleman Yogyakarta 55281
Telp : 0274-544979 / 555881 / 564239
Email: ppsugm@idola-net.id

2. Kurikulum
Kuliah yang disepakati untuk S2 dan S3 Program Kajian Tradisi Lisan:
1. Teori dan Metode Kajian Tradisi Lisan : 4 SKS (minimal 3 SKS, tergantung beban tugasnya)
2. Tradisi Lisan Nusantara : 4 SKS (minimal 3 SKS, tergantung beban tugasnya)
3. Studi Lapangan : 3 SKS
4. Bacaan Terbimbing : 6 SKS (Khusus hanya untuk S3)
3. Tenaga Pengajar
Nama-nama Dosen, Pembimbing, Promotor, dan Kopromotor KTL:
A. USU:
1. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.
2. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.
3. Prof. Ahmad Samin Siregar
4. Dr. Syahron Lubis, M.A.
5. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
6. Dr. Matius C.A. Sembiring, M.A.
7. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.
8. Dr. M. Takari, M.Hum.
9. Dr. Dwi Widawati, M.Hum.

B. UI:
1. Prof. (Emeritus) Dr. Achadiati
2. Prof. (Emeritus) Dr. Taufik Abdulah
3. Prof. (Emeritus) Dr. Benny H. Hoed
4. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono
5. Prof. Dr. Edi Sedyawati
6. Prof. Dr. Parwatri Wahyono
7. Prof. Dr. Melani Budianta
8. Prof. Dr. Rahayu Supanggah
9. Prof. Dr. I Wayan Dibia
10. Dr. Pudentia MPSS, M.Hum
11. Dr. Talha Bachmid
12. Dr. Mukhlis PaEni
13. Dr. Ninuk Kleden
14. Dr. Nyak Ubiet Raseuki
15. Dr. Sutamat Arybowo
C. UPI:
1. Prof. Dr. Yus Rusyana
2. Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd.
3. Dr. Ruhaliah

D. UGM

1. Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra MA. M.Phil.
2. Prof. Dr. Stephanus Djawanai M.A.
3. Prof. Timbul Haryono M.Sc
4. Prof. Dr. Imran T Abdullah
5. Prof. Dr. C. Soebakdi Soemanto, S.U.
6. Prof. Dr. Marsono. S.U.
7. Prof. Dr. Suhartono
8. Prof Dr. Soepomo Poedjosoedarmo
9. Dr. Ida Rochani Adi, S.U
10. Dr. Pujo Semedi, M.A.
11. Dr. Aris Mundayat M.A.
12. Dr. Daud Aris Tanudirjo M.A.
13. Dr. Lono Lastoro Simatupang

E. UNUD

1. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.
2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.
3. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.
4. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S.
5. Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S.
6. Prof. Dr. I Nengah Duija, M.Si.
7. Dr.I Nyoman Suarka, M.Hum

2 Dosen Tamu:
1. Prof. Dr. H.M.J. Maier (UC Riverside)
2. Prof. Dr. Charles Jeurgens (Universitas Leiden)
3. Dr. Roger Tol (KITLV)
3. Praktisi Seni :
1. Kenedi Nurhan
2. Ratna Riantiarno
3. Jabatin Bangun
4. Endo Suanda

B. KEGIATAN KAJIAN TRADISI LISAN (KTL):
Kajian ini meliputi 2 (dua) kegiatan utama, yaitu:
1. Pendidikan Program Pascasarjana (Program Magister dan Doktor) yang berbasis pada keilmuan Tradisi Lisan dengan dukungan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), dukungan dana penelitian dari DP2M, dana dukungan dari lembaga lain.
Kegiatan lain yang berkaitan dengan pendidikan adalah:
1) Pelatihan atau pembekalan bagi mahasiswa yang mengikuti program ini.
2) Rapat Kerja (Workshop) Penyusunan Kurikulum, silabus, dan materi bersama untuk mata kuliah Kajian Tradisi Lisan di 5 (lima) perguruan tinggi.
3) Penyamaan persepsi Pembimbing , Promotor, dan Ko-Promotor dalam penentuan topik riset, pembimbingan, dan pengujian.
2. Penelitian payung dengan topik kajian tradisi lisan sebagai kekuatan kultural dan kegiatan Pendampingan Masyarakat Tradisi.
Topik-topik penting dan menarik yang dicadangkan dalam lima tahun mendatang meliputi kajian mengenai 3 ranah utama, yaitu:
1) perlindungan dan pemeliharaan tradisi;
2) pengembangan dan revitalisasi, dan
3) kebijakan dan strategi kebudayaan.
Dengan memperhatikan cakupan materi yang meliputi berbagai hal di atas, maka kajian tradisi lisan merupakan kajian multidisiplin, seperti bahasa, seni (termasuk di dalamnya sastra dan seni pertunjukan), sejarah, antropologi, religi,filasafat,hukum, pengetahuan dan teknologi tradisional.
Sumber primer kajian adalah penutur, pembawa, atau nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi pula masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Pementasan, pertunjukan, ritual, atau peragaan menjadi kata kunci dalam hal ini. Di samping tradisi dan nara sumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini. Informasi dan data dari sumber utama kajian ini ditranskripsi, direkam, didokumentasi, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang kemudian menjadi teks kajian dan publikasi.
Sumber sekunder/ kedua kajian tradisi lisan meliputi data arsip, dokumen, rekaman dan dokumentasi terdahulu, dan sumber-sumber/referensi dari perpustakaan dan yang terkait.

B. PESERTA PROGRAM
1. Peserta Program KTL adalah dosen tetap perguruan tinggi negeri dan swasta di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang memiliki jenjang jabatan akademik (JJA) sekurang-kurangnya Asisten Ahli.
2. Dosen yang belum mempunyai NIP dan JJA Asisten Ahli dapat pengikuti Program ini apabila ada pernyataan yang ditandatangani Rektor di atas materai Rp. 6.000.- yang menerangkan bahwa yang bersangkutan akan dimasukkan menjadi tenaga pendidik (dosen) pada perguruan tinggi tersebut.
3. Calon Peserta harus menyerahkan surat keterangan dari Ketua/Pimpinan ATL di wilayah calon peserta.

C. JUMLAH ALOKASI BEASISWA
Program Kajian Tradisi Lisan ini dirancang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun berturut-turut dengan alokasi BPPS per tahun sebanyak 25 orang untuk Program Magister dan 20 orang untuk Program Doktor.

D. BIAYA PENYELENGGARAAN PROGRAM
Biaya pelaksanaan kedua kegiatan tersebut pada butir C.1. akan diakomodasi oleh Direktorat Ketenagaan dengan menggunakan dana Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS).


Bab III TOPIK PENELITIAN

A. Pengantar

Bangsa Indonesia sekarang ini menghadapi permasalahan yang kompleks mengenai globalisasi dan perubahan sosial budaya yang sangat cepat. Sesungguhnya globalisasi merupakan gerak kebudayaan, tidak mengenal batas negara maupun ideologi, sehingga dapat menyebar hingga ke pelosok Nusantara melalui industri budaya. Akibat perubahan sosial budaya yang cepat dan kurangnya kesiapan masyarakat Indonesia dikawatirkan dapat melemahkan peradaban seperti etika sosial, budi pekerti, dan sebagainya. Keadaan seperti inilah yang membuat bangsa Indonesia perlu secara integratif melakukan reorientasi kebijakan supaya dapat memperlambat keterpurukan di bidang kebudayaan. Dalam kaitan dengan masalah ini pula penting bagi bangsa Indonesia untuk melakukan transformasi sosial budaya terhadap kenyataan hidup sehari-hari melalui berbagai kebijakan yang mengarah kembali ke situasi masyarakat yang berkeadaban. Tanpa melalui transformasi semacam itu, berbagai tantangan sulit untuk dapat diatasi.

Salah satu kajian strategis yang telah diagendakan dalam Kajian Tradisi Lisan pada hakikatnya merupakan upaya serius dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya berbagai masalah sekaligus upaya untuk mengatasinya. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi – Depdiknas dapat memberikan kontribusi yang penting dalam membantu penyiapan tenaga pengajar bidang langka tradisi lisan di seluruh Indonesia secara signifikan dengan melakukan transformasi sosial budaya berupa penelitian-penelitian kebudayaan melalui berbagai kajian yang hasilnya untuk menjawab persoalan runtuhnya etika sosial maupun budi pekerti yang dialami masyarakat Indonesia dewasa ini dan berupa kegiatan pendampingan masyarakat tradisi.

Penyususunan rancangan penelitian dalam Kajian Tradisi Lisan pada dasarnya merujuk pada: RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025 yang diturunkan pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2010-2014. Semua itu diharapkan agar dapat menghasilkan kajian yang dapat digunakan untuk menjawab masalah persiapan menghadapi berbagai perubahan di Indonesia. Pada RPJMN 2010-2014, mencakup kegiatan memantapkan kembali NKRI, membangun kemampuan IPTEK, memperkuat daya saing nasional. RPJMN tersebut secara tidak langsung mengandung arti pentingnya transformasi sekaligus inovasi bidang sosial budaya menjadi fokus dalam kajian-kajian yang diperlukan.

B. Sumber Kajian

Sumber utama kajian adalah penutur, pembawa, termasuk di sini nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti. Pementasan, pertunjukan, ritual, atau peragaan menjadi kata kunci dalam hal ini. Di samping dan tradisi dan nara sumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga termasuk dalam kategori ini. Informasi dan data dari sumber utama kajian ini ditranskripsi, direkam, didokumentasi, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang kemudian menjadi teks kajian dan publikasi.

Sumber kedua kajian tradisi lisan meliputi data arsip, dokumen, rekaman dan
dokumentasi terdahulu, dan sumber-sumber/referensi dari perpustakaan dan
yang terkait.

C. Wilayah Penelitian
Banyaknya kelompoik etnis yang identik dengan bahasa memperlihatkan
keberagaman kebudayaan di Indonesia dan untuk memudahkan kajian ini,
sebagai langkah awal saja, keberagaman etnis itu dapat dikelompokkan ke dalam
19 wilayah hukum adat sesuai dengan batasan yang digunakan oleh C. Van Volenhoven (1913), yakni
1. Aceh
2. Gayo, Alas, dan Batak termasuk Nias dan Batu
3. Minangkabau termasuk Mentawai
4. Sumatera Selatan termasuk Enggano
5. Melayu
6. Bangka dan Biliton (Belitung)
7. Kalimantan
8. Sangir Talaud/Minahasa, termasuk Sulut, Sultra, dan Sulteng
9. Gorontalo
10. Toraja
11. Sulawesi Selatan (Bugis dan Makasar)
12. Ternate
13. Ambon dan Maluku termasuk Kepulauan Barat Daya
14. Irian (=Papua)
15. Timor (=NTT)
16. Bali dan Lombok
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur
18. Surakarta dan Jogyakarta (Jawa Mataraman)
19. Jawa Barat

D. Sasaran
Dengan tujuan yang diuraikan di atas, sasaran penelitian dengan tema utama
“Tradisi Lisan Sebagai Kekuatan Kultural Membangun Peradaban” adalah:
a. Memahami permasalahan dan kondisi tradisi lisan di seluruh wilayah Indonesia;
b. Menemukan pemecahan masalah (teoritis untuk kepentingan akademik dan praktis untuk kepentingan tradisi) dan mampu melakukan pemberdayaan masyarakat tradisi lisan;
c. Menciptakan model untuk menghadirkan tradisi lisan dalam kehidupan nyata masyarakat.;
d. Menghasilkan inovasi dan revitalisasi yang bertumpu pada tradisi lisan;
e. Memberikan masukan pada pihak-pihak berkenaan untuk menyusun kebijakan yang menggunakan pendekatan budaya.

Sejauh mana sasaran yang telah ditetapkan untuk lima tahun mendatang tersebut tercapai dapat dilihat dari keahlian tradisi lisan yang dihasilkan oleh program khusus pengembangan kajian langka Kajian Tradisi Lisan (KTL) seperti yang telah disebutkan pada sub bab 2 di atas. Indikator keahlian dapat dikelompokkan menjadi keahlian dalam hal
1. Melahirkan berbagai konsep dan teori;
2. Menghasilkan berbagai model (model pembelajaran, revitalisasi, pendekatan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat);
3. Mengelola warisan budaya tradisi

E. Tema Payung Penelitian
Untuk mencapai tujuan dengan sasaran seperti yang disebutkan di atas, tema payung penelitian dapat dirumuskan ke dalam lima topik besar, yaitu
1. Sastra dan Seni Pertunjukan;
2. Religi termasuk Ritual dan Upacara Tradisional;
3. Sejarah dan Hukum Adat;
4. Kearifan Tradisional, Pengetahuan Tradisional, dan Sistem Kognitif lainnya;
5. Manusia dan Lingkungannya (maritim/bahari, pertanian, hutan)
Rencana penelitian dalam Kajian Tradisi Lisan pada periode lima tahun mendatang akan mengangkat 5 (lima) tema payung penelitian yang dianggap penting seperti yang telah disebutkan di atas dengan rincian sebagai berikut.

1. Sastra dan Seni Pertunjukan

Indonesia memiliki potensi kekayaan budaya yang besar dan menyebar ke penjuru Nusantara, tetapi kekayaan budaya yang besar itu akan mengalami masa pasang surut, bila tidak diinteraksikan kepada generasi penerus. Pada kenyataannya dewasa ini tidak sedikit kekayaan budaya yang mengalami dan mengarah pada kepunahan. Generasi muda tidak lagi memahami kebudayaannya sehingga dapat mengarah pada lunturnya identitas mereka. Di antaranya, tradisi sastra dan seni pertunjukan tradisional yang hampir tidak dipedulikan lagi padahal sastra dan seni pertunjukan berisi ekspresi masyarakat pemiliknya dan manifestasi kehidupan yang ditampilkan dengan estetis.

Sastra dan seni pertunjukan memiliki fungsi sama sebagai wahana stabilitas masyarakat, sehingga masyarakat akan memiliki keteraturan tanpa menggunakan otoriterisme. Melalui seni pertunjukan seseorang mampu menyampaikan pesan kultural tanpa ada perasaan ”menggurui” dan melatih kepekaan masyarakat untuk melakukan sesuatu tanpa merasa ”diperintah” atau terhegemonisasi. Sesungguhnya baik melalui sastra maupun seni pertunjukan, masyarakat Indonesia sudah memiliki norma-norma dalam penyampaian pesan kepada khalayak sehingga dalam proses demokratisasi akan mengurangi rasa ketidak santunan atau etika sosial. Menurut cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah di Nusantara telah digambarkan bagaimana kehidupan masyarakat tingkat bawah telah mampu mewujudkan komunikasi dengan raja, menegur raja dengan cara sedemikian rupa tanpa tanpa rajanya marah. Melalui sastra dan seni pertunjukan maka masyarakat dapat bertindak sendiri sebagai ”penerjemah” modernisasi yang masih dianggap asing. Dalam kaitan ini tradisi diinteraksikan pada perubahan-perubahan yang terjadi di tengah masyarakat tanpa ada gejolak yang berarti. Masyarakat tradisi dapat mereformulasi dan menginterpretasikan sendiri atau mensiasati proses pembangunan tanpa saling berhadapan dengan kekuasaan untuk kepentingan sesaat.

Oleh karena itu, kajian-kajian yang berkaitan dengan tradisi sastra dan seni pertunjukan perlu berkesinambungan dilakukan secara akademik agar dapat memberikan sumbangan dalam mencari solusi mangatasi berbagai masalah kehidupan yang terekspresikan dalam sastra dan seni pertunjukan tersebut. Selain itu, kepekaan estetis yang didapatkan dalam mengkaji sastra dan seni pertunjukan akan dapat memperlihatkan berbagai masukan mengenai inovasi penciptaan dan keunggulan estetik dalam kaitan dengan berbagai simbol yang diekspresikannya.

2. Religi termasuk Ritual dan Upacara Tradisional

Masalah yang dihadapi masyarakat pemilik tradisi dewasa ini adalah makin memudarnya kekuatan religi termasuk di dalamnya ritual dan upacara tradisional yang sesungguhnya merupakan kekuatan masyarakat di daerah-daerah untuk perekat kebersamaan. Oleh karena itu, program penelitian religi, ritual, dan upacara tradisional diarahkan untuk transformasi kultural terkait dengan kegiatan pembangunan jangka panjang. Program penelitian ini bertujuan untuk menemukan makna pada pengalaman masyarakat dan hubungan antara religi dan kondisi masyarakat. Tema penelitian yang diangkat antara lain adalah respon lembaga pendidikan agama dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi, interaksi agama dengan budaya lokal, isu-isu terkait intelektualisasi agama, dan aspirasi agama dan non agama di kalangan komunitas lokal.

Di samping itu, perlu dilakukankajian ritual dan pandangan hidup suatu komunitas. Program ini akan difokuskan pada hal-hal yang terkait dengan ajaran kebijakan sebagai bentuk pemikiran filsafat hidup, antara lain beberapa isu penelitian etnofilosofi dan agama lokal yang merupakan pandangan hidup masyarakat pendukungnya.

Penelitian globalisasi dan ketahanan budaya yang bertumpu pada upacara adat yang masih dipakai acuan kehidupan suatu komunitas dapat dilakukan.. Program penelitian ini lebih difokuskan pada hal-hal yang terkait dengan geo-budaya, nilai-nilai kebudayaan lokal dan eksistensinya dalam konteks global. Nilai-nilai kebudayaan lokal seperti “pidato adat” mulai berkurang bahkan tokohnya di masing-masing daerah tinggal 1 atau 2 orang, bahkan sudah ada yang punah. Upacara adat biasanya merupakan kegiatan keteraturan sesuai dengan siklus kehidupan mulai dari upacara kelahiran sampai upacara kematian.

3. Sejarah dan Hukum Adat

Kita dapat menyaksikan bersama bahwa pengetahuan sejarah “Indonesia” pada umumnya masih berorientasi dari “pusat” kekuasaan dalam segala zaman. Bagaimana berbagai daerah memberi sumbangan yang amat berarti dalam pembentukan NKRI dan dalam penataan daerah yang bersangkutan dalam konteks menjadi “Indonesia”, misalnya tidak banyak terungkap. Bagaimana pergolakan sosial di berbagai wilayah di Indonesia telah mencatatatkan peristiwa yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara amat penting untuk dikaji. Pengetahuan mengenai sejarah lokal penting dalam kerangka membangun peradaban yang sedang terus berlangsung ini.

Masalah hukum adat merupakan hal sangat penting di Indonesia dewasa ini, terutama yang berkaitan dengan perubahan sosial dan politik seperti korupsi, kekerasan, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa perubahan sosial politik memberi warna lain pada perkembangan dan penerapan hukum di Indonesia. Kajian seperti ini ditanggapi melalui perspektif hukum dan masyarakat yang mengangkat tidak hanya masalah hukum saja tetapi bagaimana interaksinya dengan konteks masyarakat Indonesia. Interaksi seperti ini sangat penting dan menjadi kajian masyarakat dan budaya tentang problematik hukum di Indonesia. Selain itu dalam kaitan dengan proses demokratisasi yang tengah berjalan dewasa ini juga ke depan, negara demokrasi sudah tentu perlu disertai penegakan hukum. Sebaliknya, negara yang mengedepankan hukum perlu dikawal dengan pemahaman demokrasi.

Akhir-akhir ini pemahaman tentang hukum di Indonesia masih berangkat dari pemahaman hukum kontemporer, sehingga mengalami a-historis dan implementasinya di lapangan sangat ironis. Hal ini dikarenakan pada akhir-akhir ini penegakan hukum di Indonesia kurang peduli terhadap peran hukum adat yang pada masa lalu pernah menjadi acuan dalam menyelesaikan masalah.
Selain terjadi pemahaman a-historis, masyarakat langsung meloncat diperkenalkan penegakan HAM dan HAKI yang sosialisasinya sangat kurang, sehingga masyarakat di tingkat bawah menjadi gamang. Sebagai akibatnya telah terjadi aktivitas masyarakat tidak mau dikontrol karena mereka berasumsi telah melakukan sesuatu sebagai bagian dari hak azasinya.

Program penelitian yang berhubungan dengan HAM , HAKI dan implementasinya mendorong ditaatinya aturan-aturan hukum tentang HAM dan HAKI, dengan melakukan kajian-kajian tentang substansi, termasuk penafsiran terhadapnya, dan memahami bentuk-bentuk resistensi yang ada dalam masyarakat sehingga dapat dicari pola dan mekanisme terbaik penegakan HAM dan HAKI di Indonesia secara tradisional yang dahulu pernah diikuti leluhur bangsa Indonesia. Penelitian yang terkait dengan permasalahan perlindungan warganegara dan perlindungan hak-hak asasi masyarakat, baik kelompok khusus (minoritas, perempuan dan anak, penyandang cacat, dan lain-lain) maupun hak asasi manusia secara umum. Dalam beberapa tahun. Sehingga program ini akan difokuskan pada studi tentang perlindungan hukum pada masyarakat adat, terutama yang menyangkut hak ulayat.

Agar pemahaman hukum di Indonesia dewasa ini tidak terjadi loncatan yang datang secara tiba-tiba, tampaknya penelitian tentang pemahaman hukum adat masih sangat perlu dilakukan, karena diharapkan dapat memahami proses hukum secara baik. Dengan demikian masyarakat Indonesia yang sangat plural ini diharapkan dapat memahami hukum adat sesuai latar belakang komunitasnya.

Untuk memahami hukum adat secara baik diperlukan data otentik dari lapangan, karena itu dibutuhkan pemahaman sejarah lisan. Pada mulanya sejarah lisan justru mengandung kearifan karena selalu aktual dapat dikemukakan kapan saja, dan dapat memberi inspirasi generasi penerus untuk mengemukakan sesuatu data secara jujur. Data yang dikemukakan secara lisan dan berkesinambungan turun-temurun kepada generasi penerus, akan memberi arti dan pemaknaan yang tidak mungkin di dapatkan dari budaya tulisan. Oleh karena itu, hal ini penting untuk diadakan penelitian tersendiri mengenai sejarah lisan di Indonesia. Biasanya hasil temuan dalam sejarah lisan mengandung hal-hal baru yang tidak pernah dikemukakan secara tertulis. Kebenaran secara tertulis seolah merupakan kebenaran absolut, padahal masih terdapat kebenaran lain, yaitu yang tidak tertulis tetapi malah lebih logis.

4. Kearifan Lokal, Pengetahuan Tradisional, dan Sistem Kognitif Lain

Pengetahuan manusia bukan tiba-tiba ada, melainkan melalui proses yang panjang sehingga menjadi sebuah peradaban. Leluhur/nenek moyang kita yang mendiami wilayah Nusantara sudah mempedulikan bagaimana mendapatkan sebuah pengetahuan baik dari pengalaman maupun dari intuisi kehidupan. Tanpa terkecuali bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan cara menyelesaikan masalah sehingga kendala yang merintanginya dapat diatasi.

Pengetahuan mengenai kearifan lokal, teknologi, pengobatan tradisional dapat dijumpai di pelosok Nusantara. Nenek moyang kita sudah mneggunakannya sejak berabad yang lalu untuk menjalankan kehidupan. Hal tersebut diwujudkan dalam upacara-upacara dalam bentuk mitos, nyanyian, tarian, musik, maupun dalam bentuk makanan yang bisa disajikan secara langsung kepada manusia. Upacara pengobatan melalui musik dan nyanyian memberikan terapi yang cukup bijak, sehingga tidak terjadi ekses bagi yang sakit. Berbagai contoh lain dapat diberikan.

Dalam mengelola konflik, misalnya masing-masing daerah di Nusantara memiliki acuan untuk mengelola konflik sosial, sehingga konflik segera dapat diatasi dengan kearifan lokal setempat. Biasanya melalui pendekatan budaya masyarakat setempat, konflik segera selesai tanpa ada pihak yang merasa dirugikan dan dipermalukan.

Kearifan lokal sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat dalam menghadapi persoalan hidup, seperti bagaimana mengatasi ketahanan diri. Pada masa lalu leluhur bangsa Indonesia mampu bertahan dan dapat mengakomodasi unsur budaya dari luar dan mengintegrasikannya ke dalam budaya sendiri. Masyarakat Indonesia memiliki unsur majemuk yang komplek sebagai sistem saling berhubungan dan berpengaruh bagi bagian-bagian lainnya. Setiap bagian dari masyarakat tetap eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, eksistensi tersebut dapat diwujudkan melalui fungsi keseluruhan dan perlu diidentifikasikan.

Semua itu diperlukan penelitian-penelitian yang hasilnya dapat dijadikan pedoman untuk melangkah ke depan. Ini berarti tata cara tersebut merupakan pedoman bagi keberlangsungan kehidupan. Misalnya, mitos yang ditransformasikan dalam pagelaran, dapat dijadikan alat pendidikan bagi masyarakat. Mitos juga dapat diaktualisasikan sebagai pranata-pranata sosial dan kebudayaan sehingga dapat menjadi identitas kebudayaan. Cerita-cerita yang diaktualisasikan sebagai pranata kebudayaan juga dapat sebagai alat pencerminan angan-angan atau harapan. Potensi tersebut dalam jangkauan yang lebih luas dapat dijadikan sarana membina kerukunan masyarakat, perekat kebersamaan, memupuk semangat gotong royong, dan toleransi kehidupan agama.

5. Manusia dan Lingkungan (Maritim/Bahari, Pertanian, Hutan)

Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia akan mengalami krisis, jika tidak dikelola dengan bijak. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia perlu seimbang, supaya bangsa indonesia mampu mengendalikan kerusakan baik secara fisik maupun kulturalnya. Kini, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang tadinya menjadi sumber kekuatan kebudayaan menjadi berkurang karena sudah mengalami perubahan. Oleh karena itu, bila generasi penerus tidak peduli lagi terhadap pelestarian alam, maka manusia yang menghuni alam tersebut tidak memiliki lagi acuan bagi kehidupan di sekitarnya. Perlu diakui bahwa hingga saat ini pemerintah belum mampu mengendalikan kerusakan lingkungan atau perubahan fungsi sumber daya alam yang menjadi tumpuan sumber daya manusia.

Banyak suku bangsa yang dahulu memelihara hutan, misalnya untuk kepentingan sumber daya kebudayaan dihancurkan melalui perubahan fungsi dari hutan menjadi perkebunan. Saudara kita yang dulu bisa mengambil madu /lebah, sekarang hutannya hilang sehingga lebahnya juga hilang. Ini berarti kebudayaan cara mengambil madu yang berkelanjutan juga akan punah. Memahami contoh tersebut, sudah saatnya mulai dipikirkan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan bagaimana manusia masa lalu dapat menjaga pelestarian alam sesuai dengan siklus kehidupan. Di sini kehidupan manusia dari lahir, berkembang, sampai meninggalkan alam dunia dapat dicari potensinya sebagai acuan kembali untuk pemeliharaan alam seisinya.

Perhatian bangsa Indonesia terhadap jati diri sebagai bangsa maritim tampaknya terabaikan. Sesungguhnya banyak pelajaran yang mestinya dapat dipetik dari sini yang menunjukkan bahwa masyarakat maritim dapat menguasai nusantara. Sekarang keadaan ini tidak lagi dikenal generasi baru, bahkan cerita tentang maritim pun sudah jarang dijumpai. Permasalahan ini dikarenakan bangsa Indonesia sudah terlalu lama meninggalkan kebanggaan nenek moyangnya sebagai bangsa pelaut. Oleh karena itu, agar generasi penerus tidak mengulangi kesalahan ini, perlu dilakukan upaya untuk membangkitkan kembali semangat kemaritiman melalui penelitian dan kajian-kajian.
Kita dapat menyaksikan bersama salah satu contoh kebudayaan yang terabaikan, misal kebudayaan maritim yang pernah dimiliki Indonesia berabad-abad lalu telah lama ditinggalkan. Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa Indonesia kehilangan budaya maritim, antara lain:
Pertama, budaya maritim mengalami kemunduran pada abad ke-18 ketika kolonialis Belanda mulai membatasi akses masyarakat Indonesia untuk berhubungan dengan laut, seperti larangan berdagang dengan pihak selain Belanda. Padahal suatu peradaban, seperti seni sastra, seni pertunjukan, seni kerajinan, dan lain-lain, muncul dan berkembang pada awalnya dari wilayah pantai atau pesisir.

Kedua, kebijakan yang dilakukan pemerintah sejak kemerdekaan kurang berpihak pada bidang maritim, misalnya perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah otonom dirumuskan berdasarkan perbandingan luas wilayah darat terhadap penduduk. Layaklah bila beberapa gubernur menuntut keadilan DAU karena wilayah lautnya lebih luas daripada daratan. Ini menunjukkan pula bahwa generasi penerus tidak peka dan tidak peduli terhadap keberadaan laut yang mempersatukan kepulauan Nusantara.
Ketiga, bangsa Indonesia belum memanfaatkan laut dengan sebaik-baiknya. Peluang pemanfaatan potensi laut yang begitu melimpah belum dikelola untuk menghasilkan keuntungan ekonomis bagi negara. Dengan luas wilayah perairan yang mencapai 3,2 juta kilometer persegi, ditambah hak atas sumber daya laut di perairan ZEE seluas 2,7 juta kilometer persegi, yang mampu menghasilkan sekitar 6,7 juta ton ikan setiap tahun, tetapi kenyataannya, ikan hasil tangkapan dari wilayah perairan Indonesia pada umumnya dinikmati oleh pengusaha-pengusaha asing. Juga dunia pariwisata pantai belum dikelola oleh bangsa Indonesia dengan baik.

Untuk menggerakkan peradaban maritim ke depan, ada beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian utama: (1) Pembangunan maritim adalah amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sebagai negara kepulauan sudah menjadi kewajiban kita untuk membangun sektor maritim bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. (2) Budaya maritim sebenarnya telah menjadi budaya bangsa Indonesia, khususnya pada kelompok-kelompok masyarakat pesisir, namun sejauh ini belum ada kebijakan maritim yang terpadu dan bersifat lintas sektoral. Merupakan suatu ironi bahwa sebagai negara kepulauan dan negara maritim terbesar di dunia, Indonesia justru tidak memiliki kebijakan maritim yang seharusnya jadi acuan bagi pembangunan nasional. (3) Model pembangunan di bidang maritim memang bukan merupakan sesuatu yang mudah, apalagi jika hanya bergantung pada anggaran pemerintah. Oleh karena itu, perlu dicari model pembangunan maritim berbasis kebudayaan.
Pengembangan budaya maritim tersebut tidak berarti mengesampingkan masalah pertanian dan kehutanan di darat. Sesungguhnya ketiga hal tersebut (maritim, pertanian, kehutanan) merupakan satu kesatuan ekosistem yang salah satunya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jadi pada akhirnya bangsa Indonesia perlu mengembangkan konsep pembangunan terpadu, agar ketiga hal tersebut saling memiliki fungsi bagi kehidupan. Generasi sekarang belum sadar bahwa hilangnya hutan berarti hilangnya peradaban pula.

Kiranya momentum lima tahun ke depan (2010-2014) merupakan waktu yang tepat untuk melihat kembali peradaban bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim dan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, serta merupakan negara agraris yang memiliki pertanian dan kehutanan bagi penduduknya. Sudah tentu akan dilihat dari aspek cerita rakyat yang dimilikinya maupun tradisi lisan pada umumnya.

6 komentar:

Andi Sumar Karman mengatakan...

Luar biasa! Semoga ini akan menjadi langkah nyata menuju pengidentifikasian, pendokumentasian, dan publikasi terkait upaya-upaya pemahaman terhadap nilai-nilai tradisi (lisan) yang ditafsir banyak kalangan telah (mulai) semakin menghilang.

JAMRIN ABUBAKAR mengatakan...

Salam kenal.
Saya warga dari kota Palu, Sulawesi Tengah, ingin mendapatkan informasi tentang apakah ada program ATL untuk wilayah Sulawesi Tengah, khususnya mengenai penelitian atau penulisan cerita legenda?
Mohon informasinya. terima kasih

Jamrin Abubakar

Anonim mengatakan...

gimana cara dapat info lengkap mengenai beasiswa ini ya..

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
habriyanti mengatakan...

gimana caranya biar dapat beasiswa na ^^

HABRIYANTI mengatakan...

SEMOGA SUKSES