02 Maret 2008

Artikel I Made Suastika


CALON ARANG DALAM TRADISI BALI KINI

I Made Suastika



Calon Arang dalam Berbagai Bidang
Pada bagian ini dibahas keunikan Pulau Bali, yaitu memiliki tradisi yang dapat ditunjukkan dalam bidang kebudayaan, terutama kentalnya pengaruh Jawa Kuna (di Jawa sudah tidak dikenal lagi) yang dipelihara oleh masyarakat Bali sebagai warisannya. Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa pengaruh unsur Jawa telah melahirkan tradisi baru berupa tradisi sastra tulis Calon Arang, yakni awalnya di Jawa berupa legenda (bernilai kesejarahan) yang berasal dari tradisi lisan, kemudian diubah dalam tradisi tulis (keberaksaraan) yang ditemukan dalam genere prosa, puisi (kidung), dan geguritan. Namun, pada periode terakhir, yakni pada abad ke-20 telah lahir genre kakawin (kakawin Calon Arang) yang muncul dari kreativitas pengarang Bali lewat ciptaan baru. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa teks-teks tersebut memiliki jalinan yang erat, terutama dalam alur cerita dan isi teks (tema) dalam tradisi Bali itu.
Secara ringkas, tema cerita Calon Arang bersifat magis pada semua teks tulis, meskipun ada perbedaan alur cerita, tokoh tambahan, dan panjang pendeknya alur cerita. Tokoh utama Calon Arang memiliki tema sentral dalam alur cerita dengan murid-muridnya yang beragam jumlahnya. Kematian, sebagai akhir cerita Calon Arang, yaitu lewat peperangan rahasia (ilmu sihir).
Pada teks belakangan (geguritan) kental dengan istilah berbahasa Bali kini (kapara). Lebih lanjut Calon Arang dengan berbagai versinya dalam tradisi tulis dapat dibaca dalam Pigeaud (1967-1981) dan kajian Suastika (1997).

Calon Arang dalam Tradisi Lisan
Dalam tradisi lisan, perkembangan Calon Arang tidak dapat dipisahkan dengan tradisi tulis. Tradisi lisan berkembang bersamaan dengan tradisi tulis dalam kebudayaan Bali, yakni sejalan dengan dinamika masyarakatnya, bahkan dilihat dari segi isi dan media yang dipakainya bertumpang tindih. Dalam tradisi lisan, Calon Arang ditemukan pada teks-teks satua yang bersifat magis. Misalnya, satua barong, rangda, leak, rarung dan satua magis lainnya (dong geleh, durga, tonya, memedi). Disamping itu, Calon Arang digunakan secara lisan sebagai lakon pertunjukan pewayangan dan drama tari. Selain itu, kebanyakan tradisi lisan Calon Arang erat kaitannya dengan seni pertunjukan di Bali, seperti lakon arja (drama tari) Calon Arang, Katundung Ratna Manggali, Kautus Baradah, Siat Bradah-Calon Arang ring Setra, dan Kautus Rarung. Tokoh utama Rangda di Bali diperankan oleh Matah Gede yang pada bagian akhir cerita berubah menjadi rangda.
Pertunjukan lakon Calon Arang banyak berkembang di Bali, terutama di desa-desa yang memiliki barong dan rangda yang disebut due pura. Misalnya, dramatari Calon Arang di Pentih Sukawati, Batuan, Bangli, Tampak Gangsul, pura di Jalan Diponegoro, Denpasar (8 November 2006), dan lain-lain.
Di samping itu, pada tahun 1997 pernah dilakukan festival wayang Calon Arang se-Bali. Ketika itu tampil (yang diawali dengan diskusi) dalang senior sebagai model, yaitu dalang Ida Bagus Baskara dari Buduk, yakni sekitar tahun 1960-an telah mementaskan lakon Calon Arang dengan tema rwa bineda (dua aspek negatif/buruk-positif/baik) dan proses pencarian darma oleh Calon Arang. Selain itu, pelepasan (pencarian bobot keimanan tertinggi) menjadi tema pertunjukan waktu itu.
Dalam pementasan yang lebih luas dan mendasar Calon Arang digunakan dalam tema PKB (Pesta Kesenian Bali Tahun 1998 dengan segala aktivitasnya yang bersumber dari teks Calon Arang). Kegiatan yang bersumber dari cerita Calon Arang) tersebut, yakni meliputi : serasehan (seminar), pertunjukan tari (dramatari), sastra daerah, lukis, pawai, dan lain-lain.
Wayang kulit Calon Arang adalah salah satu jenis pertunjukan wayang yang dikenal di Bali dengan tokoh Walu Nateng Girah (Rangdeng Dirah). Dalam hal ini disebut pertunjukan wayang Calon Arang karena mengambil tema Calon Arang yang sangat terkenal di Bali. Salah satu penyebab mengapa pementasan wayang Calon Arang pernah mengalami penurunan frekuensi pementasannya, yakni diakibatkan oleh adanya pemahaman yang berbeda terhadap esensi teks, yang sesungguhnya bertemakan rwa-bineda dan pendakian darma (kelepasan). Namun, disimpangkan ke arah yang lebih menonjolkan aspek magis dan dalam pementasannya disebut ngundang-undang (memanggil-manggil) seseorang, yakni dengan mengatakan bahwa orang itu pandai ngeleak dan kalau berani datang kemari dekat dengan dalang untuk berperang. Siapakah sesungguhnya yang lebih sakti, yang menang memakan yang kalah. Jangan hanya berani dari jauh, tidak menampakkan diri, dan tiba-tiba lenyap dari tempatnya.
Dalam salah satu adegan, yakni ketika Calon Arang menyebutkan kekuatan ilmunya (niscaya lingga). Hal ini membuat penonton ”agak ketakutan” karena munculnya adegan magis, yakni berupa pemotongan babi guling yang belum dikebiri (celeng butuhan). Ini merupakan salah satu adegan magis, karena Calon Arang yang diasosiasikan dengan rangda, leak dalam adegan memakan makanan kesukaannya sehingga jelas menunjukkan adegan yang membuat penonton agak berdebar-debar. Adegan-adegan di atas sering memunculkan sikap yang bersifat arogan sang dalang tidak jarang sikap ini ditanggapi negatif oleh masyarakatnya hingga sering menimbulkan konflik (kesenjangan) di dalam masyarakat.
Alur cerita biasanya dimulai dengan adegan pengertian rahasia yang dilakukan oleh Calon Arang (Randeng Girah) yang membuat banyak rakyat, terutama di daerah pinggiran, sekarang ia menolong menguburkan mayat, besoknya ia sendiri mati. Akibatnya para mentri, patih meminta pertolongan caturbuja, yaitu sebuah upacara untuk menanggulangi bencana, yakni dengan menjalankan praktik-praktik darma.
Akhirnya diketahui penyebab penyakit, yakni Rangdeng Dirah dan murid-muridnya menari di kuburan. Akibatnya, negeri menjadi panas, sakit, dan gering. Setelah jelas diketahui penyebab penyakit, maka Mpu Bahula melamar Ratna Mangali putri Calon Arang. Permintaan itu dipenuhi, sehingga usaha Mpu Bahula berhasil mendapatkan lepiakara (ilmu utama) yang dimiliki Calon Arang kemudian menyerahkan kepada Mpu Baradah.
Calon Arang meminta supaya diruwat, tetapi Mpu Baradah menolaknya. Selanjutnya terjadilah perang rahasia dengan ucapan-ucapan suci (mantra) Om dasaksara, bayu, sabda, idep. Calon Arang mati, tetapi dihidupkan kembali (pengurip-urip, sang Hyang Kaja Premana ring sariranta). Calon Arang diruwat dan akhirnya mencapai moksah. Hal ini yang menyebabkan wayang Calon Arang digunakan untuk ruwatan.

Calon Arang dalam Seni Lukis
Dalam hal ini ada sejumlah lukisan yang mengambil tema dari teks Calon Arang. Hal itu dapat diketahui dari koleksi lukisan Museum Klasik I Nyoman Gunarsa di Klungkung, Bali. Museum ini yang mengoleksi beberapa lukisan klasik Bali mulai dari zaman Klungkung/Gelgel sampai masa kini.
Lukisan lain berjudul Calon Arang dan Sisyanya sedang menari di kuburan. Beberapa lukisan klasik yang bertemakan Calon Arang (termasuk episode Calon Arang) dikoleksi Museum Klasik I Nyoman Gunarsa.
Lukisan berjudul Calon Arang karya Walter Spies (1932) merupakan koleksi yang sampai saat ini disimpan di Museum Asma, Ubud. Beberapa lukisan lain yang dibuat pelukis Bali Modern seperti lukisan berjudul rangda, dan sejumlah karya magis yang dibuat oleh pelukis Bali di antaranya Ngurah T.Y.

Calon Arang dalam Pementasan Barong-Rangda
Pementasan/pertunjukan barong-rangda ada yang asli seperti pementasan due pura yang dilakukan pada setiap hari odalan (hari suci) di pura tersebut. Dalam hal ini ada sejumlah pertunjukan barong-rangda sebagai simbol kebaikan dan keburukan yang mengambil inti sari lakon Calon Arang. Pertunjukan barong-rangda dipentaskan di Batubulan, Puri Ubud, beberapa tempat lain seperti berjudul Barong Dance sebagai pertunjukan wisata (balih-balihan). Dalam kairan ini adalah Barong simbol Mpu Baradah (simbol kebenaran/kebaikan/dharma) dan rangda simbol Calon Arang (keburukan/angkara murka/adharma).

Calon Arang dalam Drama Modern
Pertunjukan Calon Arang dalam drama modern pernah dipentaskan oleh kelompok seni (sanggar) yang dimainkan oleh Cok Sawitri dkk. ketika dilakukan Festival Seni Pertunjukkan Nasional di Taman Tirta Gangga Karangasem sekitar tahun 2002 yang lalu. Lakon yang mengambil tema betapa kuatnya laki-laki menghegemoni kaum perempuan, sampai-sampai tidak ada pembelaan terhadap dirinya. Dalam hal ini wanita terpinggirkan citranya akibat kekuatan patriarkhi. Wanita yang ditokohkan oleh Calon Arang dari Girah hampir tidak dapat membela diri, baik secara budaya dan hukum, apalagi di bawah bayangan kekuasan Raja Erlangga yang tersohor itu. Sehubungan dengan hal ini sebutan Calon Arang adalah Rangdeng Dirah dan Walu Nateng Dirah.

Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Tradisi Calon Arang di Bali berkembang dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Bali, terutama lewat teks tulis, tradisi lisan, lakon seni pewayangan (wayang kulit Calon Arang), lewat seni lukis klasik dan modern, dramatari Calon Arang (pertunjukkan sakral dan pertunjukan wisata barong-rangda), dan satua-satua yang magis (tenget).
2) Hubungan antara tradisi itu bertumpang tindih, saling melengkapi, serta menyatu dalam payung budaya dan tradisi masyarakat Bali yang religius, terutama karena adanya pemahaman terhadap nilai hakiki Calon Arang. Nilai itu, seperti : kalepasan, rwa-bineda, ruwat, darma, dan jalan menuju kematian.


1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel di blog ini bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersediaa plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com
http://www.infogue.com/seni_budaya/calon_arang_dalam_tradisi_bali_kini/