24 Maret 2008

Berita Gambar

Tumpengan: DR. Pudentia bersama seorang tokoh tradisi lisan memotong tumpeng ulang tahun ke 10 ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) di apartemen Aston, Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Menurut Al-Azhar dari Riau, sedikit sekali LSM yang bergerak di bidang tradisi (budaya) yang memiliki nafas panjang. "Kita bersyukur bahwa ATL sampai hari ini (10 Desember 2007) masih eksis di tengah krisis ekonomi dan budaya," kata pria brewok itu.

22 Maret 2008

Artikel (2)

Menghidupi Tradisi Literasi:
Problematika bagi Siswa, Guru, Sekolah, dan Negara
Oleh Wachid Eko Purwanto*

Prof. Leo Fay (1980), mantan presiden International Reading Asociation (IRA) pernah meyakinkan para koleganya dengan sebuah kalimat ringkas, to read is to prossess a power for transcending whatever physical human can muster.
Di Indonesia, faktor yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan membaca adalah, pertama, tradisi kelisanan (orality) yang secara historis-kultural masyarakat kita menyimpan warisan budaya lisan atau budaya tutur yang hampir-hampir telah memfosil. Berapa abad saja kita pernah kehilangan momentum literasi disebabkan masyarakat tempo dulu lebih memanjakan tradisi lisan (omong-dengar) dari pada tradisi literasi (baca tulis). Baru sekitar paruh abad VIII tradisi kita mengenal budaya literasi sebagai persinggungan dengan budaya Hindu, Budha, dan Islam. Itu pun baru menyentuh segelintir golongan, seperti elit kerajaan dan agamawan. Pada paruh abad XIX tradisi literasi berkembang; bersinggungan dengan para priyayi.
Bersamaan dengan itu, lembaga pendidikan kolonial Belanda menyebarluaskan lebih merata, hingga akhirnya setelah kemerdekaan, sekolah-sekolah bangsa kita meneruskan tradisi baca-tulis tersebut kepada masyarakat umum. Dapat diperhitungkan, persinggungan budaya literasi masyarakat kita bisa diibaratkan sebagaimana bocah yang sedang belajar berjalan. Bandingkan dengan catatan sejarah bangsa lain, Jepang misalnya, memerlukan satu abad untuk membentuk tradisi literasi, yakni saat dimulainya Restorasi Meiji. Pada zaman tersebut Jepang melakukan kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi secara besar-besaran. Negara itu juga mengupayakan budaya literasi kepada masyarakatnya. Pada saat itu Jepang bukanlah negara yang ‘diperhitungkan’ bangsa-bangsa lain, namun sekarang telah terbukti negara Matahari Terbit itu menjelma raksasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, akibat sistem persekolahan kita yang kurang memberi peluang bagi tradisi literasi kepada peserta didik. Sampai saat ini model pengajaran di kelas pada umumnya masih bersandar pada tataran lisan sang guru. Guru menjadi terlalu banyak bicara, sedangkan siswa terlalu sukar menjadi pendengar. Berbagai pendekatan pendidikan yang selayaknya mensyaratkan hadirnya tradisi literasi lebih banyak dilakukan dalam perspektif kelisanan. Para guru, maaf, pada umumnya jarang menjadikan kegiatan membaca sebagai frame of reference (kerangka berpijak) pembelajaran yang ia lakukan kepada para siswa. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof Ahmad Slamet Harjasujana; manusia-manusia yang dihasilkan oleh persekolahan kita masih merupakan masyarakat aliterat, yakni manusia-manusia yang bisa membaca namun lebih memilih untuk tidak membaca. Dikarenakan kegiatan membaca hanya sekedar kegiatan yang tidak mendapat penekanan utama dalam dunia pendidikan kita.
International Achievment Education Asociation (IAEA) sebagai salah satu badan UNESCO pernah membuat laporan penelitian di negara-negara yang anak-anaknya memiliki minat dan keterampilan baca yang baik, misal Amerika, Finlandia, dan negara-negara Eropa, pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai akses mudah dalam mendapatkan bermacam bacaan berkualitas, baik di perpustakaan sekolah maupun di rumah. Penelitian yang pernah dipublikaskan sekitar tahun 1988 tersebut betapa membikin sedih, bahwa pada penelitian ini, anak-anak Indonesia menduduki peringkat ke 29 dari 30 negara yang menjadi sampel. Tampaknya, sesudah hampir duapuluh tahun negara kita tercinta masih belum beranjak dari kedudukan miris ini, sebagaimana yang disitir Taufik Ismail, kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan memalukan, ke seratus sekian dari negara-negara lain.
Lantas, apakah kita harus terus menyalahkan ‘dosa asal’ yang dilakukan oleh nenek moyang kita dalam memanjakan tradisi lisan? Tentu sudah tidak pada tempatnya, sebab sekaranglah waktunya berbenah jika tidak mau merasakan ketertinggalan yang lebih parah. Kita bisa mulai dari langkah sederhana dengan memahami bahwa kemahiran membaca adalah conditio sine quanon, prasyarat mutlak bagi setiap manusia yang ingin memperoleh kemajuan. Sebuah contoh peristiwa mungkin akan lebih menguatkan, sebutlah misalnya seorang Hartoonian, salah satu politikus AS yang pernah diwawancarai oleh seorang wartawan perihal apa yang harus dilakukan oleh bangsa Amerika untuk mempertahankan supremasinya. Jawaban yang tidak disangka dari Hoortanian, if we want to be a super power we must have individuals with much higher levels of literacy. Wow, bukankah tradisi literasi adalah sesuatu yang sangat luar biasa, bisa mengantarkan masyarakatnya memegang kekuasaan adidaya?
Saat ini, hal perlu menjadi fokus perhatian adalah masihkah bangsa kita belum juga sadar pentingnya budaya literasi? Sebagian orang di belahan negara lain sudah bisa berangkat wisata ke bulan, sebagian masyarakat kita masih terheran-heran dengan perangkat komputer. Sebagian yang lain berangan-angan, bagaimana caranya bisa membeli ponsel bekas. Akan tetapi, jarang yang mempunyai pikiran, bagaimana negara kita bisa menciptakan pesawat terbang yang lebih nyaman atau minimal membuat kendaraan sendiri tanpa mengimpor suku cadang. Bukankah suatu negara yang menguasai teknologi tertentu, apalagi dengan menjadikannya hak paten bisa membuat tambang yang tidak habis-habis menghasilkan keuntungan?
Boleh saja, saat ini kita berkata beruntung; kekayaan alam masih melimpah, tapi entah dua-tiga-empat generasi mendatang. Saat ini, bahkan di semua wilayah tambang bumi, masyarakatnya hanya menjadi buruh kasar. Anehnya, mereka merasa bangga memakai seragam perusahaan asing, juga upah yang tidak seberapa dibanding penghasilan investornya. Lebih parah lagi, buruh kerja tambang ini sebagian besar usia sekolah. Mereka tidak ingin sekolah dikarenakan sebagian teman sebaya dan tetangga yang pernah mencicipi sekolah lebih tinggi tidak bekerja ketika pulang kampung selain menjadi buruh kasar tambang. “Lalu, apa bedanya sekolah dengan tidak sekolah?” Itulah pendapat kasar yang sebagian besar dibenarkan oleh keadaan.
Di sinilah sesungguhnya sekolah dituntut peran strategisnya. Sekolah merupakan lembaga legal-formal yang sengaja diadakan pemerintah untuk mencapai target-target pendidikan tertentu. Akan tetapi, sampai detik ini jikalau mau jujur, kurikulum pendidikan di negara kita, saya percaya, masih belum sepenuhnya dapat dipercaya. Kurikulum kita memang berupaya mati-matian mengangkat anak-anak didiknya dari kebodohan, minimal bebas buta aksara, namun di sisi lain tidak juga mengupayakan kecerdasan. Hasilnya, sekolah-sekolah kita magel, dalam istilah Jawa tidak mentah tetapi tidak juga bisa matang. Apabila magel terjadi pada buah-buahan, maka pantasnya cuma dibuang!
Perhatikan kurikulum kita, bukankah tampaknya kurikulum ini lebih senang membebani para pekerja pendidikan dan peserta didiknya dengan tugas-tugas untuk sekedar meraih target nilai yang ditetapkan dari atas sana daripada membuat mereka merasa senang, nyaman, dan selalu kehausan berbagi dan menuntut ilmu? Memang benar, target nilai akan selalu dibutuhkan, namun perlu juga diingat bahwa pemenuhan target nilai bukan satu-satunya kewajiban pertama dan utama sekolah. Saat ini di beberapa wilayah target nilai malah menjadi masalah baru, lebih lagi apabila seorang gubernur atau bupati sudah menargetkan wilayahnya lulus 100%. Bisa dipastikan yang akan tertimpa abu panas adalah para kepala sekolah dan guru. Pekerja pendidikan bakal pontang-panting menyulap nilai peserta didiknya.
Dilihat dari sudut pandang lain, selama ini target nilai telah menjelma menjadi hantu menakutkan bagi siswa, bukannya pendorong semangat belajar. Lantas, apa yang salah? Hal yang perlu dibenahi adalah tradisi literasi bagi para siswa. Tidak bisa dipungkiri, hanya sekolah sebagai lembaga pendidikan legal-formal yang dapat ‘memaksa’ para siswa untuk menjadikan tradisi literasi sebagai gaya hidup. Apabila tradisi literasi ini sudah mengakar kuat dalam diri siswa, seberapa pun tingginya target nilai yang diinginkan pemerintah akan dengan mudah tercapai. Sebagai bukti, bukankah siswa-siswa yang berprestasi selalu mempunyai latar belakang tradisi literasi yang mengakar?
Ebel (1972: 35) pernah mengingatkan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kemampuan pemahaman bacaan yang dapat dicapai oleh peserta didik dan perkembangan minat bacanya bergantung pada faktor berikut, pertama, peserta didik yang bersangkutan. Kedua, keluarga. Ketiga, kebudayaannya. Keempat, situasi sekolah. Sedangkan Pearson memilahnya menjadi dua faktor utama, yakni faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa kepemilikan kompetensi bahasa si pembaca, minat, motivasi, dan kemampuan membaca. Faktor ekstrinsik terbagi dalam dua kategori, pertama, unsur yang berasal dari dalam teks bacaan berkait dengan keterbacaan (readibility) dan organisasi teks atau wacana. Kedua, unsur yang berasal dari lingkungan baca; berkait dengan fasilitas, guru, model pengajaran, dll.
Di sinilah peranan pemerintah dalam dunia pendidikan dituntut untuk menghidupi budaya literasi para siswa. Caranya dengan menyediakan bahan bacaan yang berkualitas dengan kuantitas memadai, membuat opini publik lewat iklan layanan masyarakat bahwa tradisi literasi merupakan landasan penting bagi kemajuan individu dan negara, menyediakan media yang dapat menampung aspirasi dari hasil-hasil tradisi literasi, dan yang lebih penting adalah tidak memanfaatkan tradisi literasi sebagai proyek, sebab hanya akan menjadi bumerang bagi pemerintah nantinya.
Pertanyaannya, beranikah kita mengubah kegiatan membaca sebagai frame of reference, dengan ‘memaksa’ para peserta didik mengunyah tradisi literasi? Ingat, apabila kita tidak memaksakan pil pahit ini, entah sampai generasi ke berapa ratus anak didik kita mampu menjadi manusia-manusia unggul. Bukankah kita sepakat bahwa semua jenis peradaban selalu berpangkal tolak dari satu hal sederhana saja, yaitu menghidupkan dan menghidupi tradisi literasi?
Oleh karena itu, agar penyakit yang diderita bangsa ini tidak semakin kronis, ada baiknya kita cerna pernyataan Andre Morois, sastrawan Perancis, pada hakekatnya salah satu misi terpenting kehadiran dunia persekolahan mulai SD hingga perguruan tinggi adalah untuk mengantarkan para peserta didik agar mampu “membuka gerbang perpustakaan” sendiri, atau dengan kata lain, manusia yang mencetak manusia-manusia berbudaya literasi. Morois, lebih lanjut secara tajam mengatakan: apabila dunia persekolahan tidak mampu merealisasikan misi tersebut, proses bersekolah boleh dianggap sebagai suatu kegiatan yang sia-sia!

* Wachid Eko Purwanto, S.Pd. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Kompas, Koran Sindo, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Jurnal Perempuan, Jurnal Kreativa, Koran Merapi, dan beberapa media lainnya. Bergiat di MISHBAH Cultural Studies Center. (sumber:www.tandabaca.com)

08 Maret 2008

Arsip Berita (2)


27 Maestro Seni Tradisi
Dapat Honor


Sebanyak 27 maestro seni tradisi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke menerima penghargaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Para seniman berusia lanjut itu setiap bulannya diberikan honorarium sebesar Rp 1 juta untuk mendukung para seniman melakukan transfer pengetahuan kepada para generasi pelanjutnya.
''Pemberian penghargaan ini berangkat dari keprihatinan pemerintah atas kebudayaan kita yang semakin banyak diambil oleh negara lain. Kami berharap dengan penghargaan ini akan mampu mendukung aktivitas para maestro seni tradisi untuk mewariskan keahlian mereka kepada generasi selanjutnya,'' kata Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film (NBSF), Mukhlis Paeni di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kriteria pemberian kepada para seniman tradisi ini, lanjut Mukhlis, tidak mudah. Di antaranya keahlian yang dimiliki merupakan tradisi yang sudah langka. Selanjutnya keahlian tersebut telah dilakoninya minimal selama 20 tahun. ''Dan, yang lebih penting lagi adalah para seniman yang diibaratkan mati segan hidup tak mau,'' kata Mukhlis memberi perumpamaan terhadap kondisi keseharian para seniman terpilih.
Dengan diberikannya penghargaan berupa honorarium transfer pengetahuan tiap bulan sebesar Rp 1 juta, Muhklis berharap para maestro seni dapat lebih berkonsentrasi menularkan keilmuan mereka atas penguasaan seni tradisi. ''Honorariun transfer pengetahuan akan dihentikan jika para maestro itu dianggap tidak mampu lagi mewariskan keilmuannya,'' katanya. Honor tersebut mulai diberikan pada Januari 2008 ini.
Pemilihan 27 nama itu melibatkan sejumlah pakar dalam bidangnya masing-masing, seperti Dr Mukhlis Paeni, Romo Mudji Sutrisno, Nano Riantiarno, Prof Dr Achadiati, Prof Sardono W Kusumo, Prof Dr Sapardi Sjoko Damono, Prof Dr Ida Sundari Husen, Titi Said, dan Dr Pudentia MPSS MA.
Menurut Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, Dr Pudentia, MPSS, MA, timnya telah bekerja sejak Januari tahun lalu. Dari hasil verifikasi itu terjaring 50 nama seniman tradisi. Namun, setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat, akhirnya ditetapkan 27 nama sebagai maestro seni tradisi. ''Ada pun dalam bank data kami di Indonesia kira-kira masih terdapat 300 sampai 400-an seniman tradisi yang tersisa di seluruh Indonesia,'' katanya.
Encim Masnah, 75 tahun, penyanyi klasik gambang kromong dari Tangerang, Banten, mewakili ke-27 maestro penerima penghargaan, menyatakan kegembiraannya. ''Selama ini kami berjuang sendiri untuk meneruskan warisan turun temurun orang tua kami. Penghargaan ini memberikan dorongan kami untuk makin giat mewariskan seni tradisi kepada generasi selanjutnya,'' kata dia. (akb)


sumber:www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=318740&kat_id=383 - 31k

06 Maret 2008

Arsip Berita (1)


Bermula dari Syair Raja Ali Haji


Dari manakah dulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau.
Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, Selasa (28/2), mengungkapkan, salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk Palembang.
Seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk sempat menjadi alat propaganda Jepang.
Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. ”Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu,” kata Anwar Putra Bayu.
Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumsel Muhsin Fajri menilai, pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Perjalanan dulmuluk mulai surut sejak tahun 1990-an, ketika alternatif hiburan semakin banyak, terutama melalui televisi dan film layar lebar. Teater tradisi itu semakin merosot setelah orang yang menggelar hajatan lebih memilih pertunjukan organ tunggal. Akhirnya, dulmuluk seperti kehabisan energi, kehilangan pamor, dan tidak mampu bangkit lagi.
”Dulmuluk terlambat beradaptasi dengan zaman yang berubah begitu cepat. Hanya bermodalkan cerita yang monoton dan manajemen ala kadarnya, dulmuluk sulit bersaing dengan hiburan modern,” katanya.
Sebenarnya, beberapa kelompok seniman berusaha melestarikan dan membina generasi muda menekuninya. Beberapa acara digelar: festival, pelatihan, siaran di televisi, dan pementasan dulmuluk secara terbuka. Namun, sedikit generasi muda yang tertarik, sedangkan generasi tua terus berkurang.
”Kalau mau bertahan, dulmuluk hendaknya memperbarui diri dengan menciptakan kreasi cerita, pendekatan, dan tema yang lebih sesuai dengan kehidupan sekarang. Pakem lama tidak sakral sehingga bisa diadaptasikan dengan perubahan zaman,” kata Zulkhair Ali, dokter spesialis penyakit dalam di RS Muhammad Hoesin, Palembang. Dokter yang dikenal sebagai ZA Nara Singa ini aktif menghidupkan spirit dulmuluk dalam teater modern pada berbagai pementasan. (ilham khoiri)


Sumber:www2.kompas.com/kompas-cetak/0603/03/sumbagsel/2480852.htm - 39k -

02 Maret 2008

Artikel I Made Suastika


CALON ARANG DALAM TRADISI BALI KINI

I Made Suastika



Calon Arang dalam Berbagai Bidang
Pada bagian ini dibahas keunikan Pulau Bali, yaitu memiliki tradisi yang dapat ditunjukkan dalam bidang kebudayaan, terutama kentalnya pengaruh Jawa Kuna (di Jawa sudah tidak dikenal lagi) yang dipelihara oleh masyarakat Bali sebagai warisannya. Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa pengaruh unsur Jawa telah melahirkan tradisi baru berupa tradisi sastra tulis Calon Arang, yakni awalnya di Jawa berupa legenda (bernilai kesejarahan) yang berasal dari tradisi lisan, kemudian diubah dalam tradisi tulis (keberaksaraan) yang ditemukan dalam genere prosa, puisi (kidung), dan geguritan. Namun, pada periode terakhir, yakni pada abad ke-20 telah lahir genre kakawin (kakawin Calon Arang) yang muncul dari kreativitas pengarang Bali lewat ciptaan baru. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa teks-teks tersebut memiliki jalinan yang erat, terutama dalam alur cerita dan isi teks (tema) dalam tradisi Bali itu.
Secara ringkas, tema cerita Calon Arang bersifat magis pada semua teks tulis, meskipun ada perbedaan alur cerita, tokoh tambahan, dan panjang pendeknya alur cerita. Tokoh utama Calon Arang memiliki tema sentral dalam alur cerita dengan murid-muridnya yang beragam jumlahnya. Kematian, sebagai akhir cerita Calon Arang, yaitu lewat peperangan rahasia (ilmu sihir).
Pada teks belakangan (geguritan) kental dengan istilah berbahasa Bali kini (kapara). Lebih lanjut Calon Arang dengan berbagai versinya dalam tradisi tulis dapat dibaca dalam Pigeaud (1967-1981) dan kajian Suastika (1997).

Calon Arang dalam Tradisi Lisan
Dalam tradisi lisan, perkembangan Calon Arang tidak dapat dipisahkan dengan tradisi tulis. Tradisi lisan berkembang bersamaan dengan tradisi tulis dalam kebudayaan Bali, yakni sejalan dengan dinamika masyarakatnya, bahkan dilihat dari segi isi dan media yang dipakainya bertumpang tindih. Dalam tradisi lisan, Calon Arang ditemukan pada teks-teks satua yang bersifat magis. Misalnya, satua barong, rangda, leak, rarung dan satua magis lainnya (dong geleh, durga, tonya, memedi). Disamping itu, Calon Arang digunakan secara lisan sebagai lakon pertunjukan pewayangan dan drama tari. Selain itu, kebanyakan tradisi lisan Calon Arang erat kaitannya dengan seni pertunjukan di Bali, seperti lakon arja (drama tari) Calon Arang, Katundung Ratna Manggali, Kautus Baradah, Siat Bradah-Calon Arang ring Setra, dan Kautus Rarung. Tokoh utama Rangda di Bali diperankan oleh Matah Gede yang pada bagian akhir cerita berubah menjadi rangda.
Pertunjukan lakon Calon Arang banyak berkembang di Bali, terutama di desa-desa yang memiliki barong dan rangda yang disebut due pura. Misalnya, dramatari Calon Arang di Pentih Sukawati, Batuan, Bangli, Tampak Gangsul, pura di Jalan Diponegoro, Denpasar (8 November 2006), dan lain-lain.
Di samping itu, pada tahun 1997 pernah dilakukan festival wayang Calon Arang se-Bali. Ketika itu tampil (yang diawali dengan diskusi) dalang senior sebagai model, yaitu dalang Ida Bagus Baskara dari Buduk, yakni sekitar tahun 1960-an telah mementaskan lakon Calon Arang dengan tema rwa bineda (dua aspek negatif/buruk-positif/baik) dan proses pencarian darma oleh Calon Arang. Selain itu, pelepasan (pencarian bobot keimanan tertinggi) menjadi tema pertunjukan waktu itu.
Dalam pementasan yang lebih luas dan mendasar Calon Arang digunakan dalam tema PKB (Pesta Kesenian Bali Tahun 1998 dengan segala aktivitasnya yang bersumber dari teks Calon Arang). Kegiatan yang bersumber dari cerita Calon Arang) tersebut, yakni meliputi : serasehan (seminar), pertunjukan tari (dramatari), sastra daerah, lukis, pawai, dan lain-lain.
Wayang kulit Calon Arang adalah salah satu jenis pertunjukan wayang yang dikenal di Bali dengan tokoh Walu Nateng Girah (Rangdeng Dirah). Dalam hal ini disebut pertunjukan wayang Calon Arang karena mengambil tema Calon Arang yang sangat terkenal di Bali. Salah satu penyebab mengapa pementasan wayang Calon Arang pernah mengalami penurunan frekuensi pementasannya, yakni diakibatkan oleh adanya pemahaman yang berbeda terhadap esensi teks, yang sesungguhnya bertemakan rwa-bineda dan pendakian darma (kelepasan). Namun, disimpangkan ke arah yang lebih menonjolkan aspek magis dan dalam pementasannya disebut ngundang-undang (memanggil-manggil) seseorang, yakni dengan mengatakan bahwa orang itu pandai ngeleak dan kalau berani datang kemari dekat dengan dalang untuk berperang. Siapakah sesungguhnya yang lebih sakti, yang menang memakan yang kalah. Jangan hanya berani dari jauh, tidak menampakkan diri, dan tiba-tiba lenyap dari tempatnya.
Dalam salah satu adegan, yakni ketika Calon Arang menyebutkan kekuatan ilmunya (niscaya lingga). Hal ini membuat penonton ”agak ketakutan” karena munculnya adegan magis, yakni berupa pemotongan babi guling yang belum dikebiri (celeng butuhan). Ini merupakan salah satu adegan magis, karena Calon Arang yang diasosiasikan dengan rangda, leak dalam adegan memakan makanan kesukaannya sehingga jelas menunjukkan adegan yang membuat penonton agak berdebar-debar. Adegan-adegan di atas sering memunculkan sikap yang bersifat arogan sang dalang tidak jarang sikap ini ditanggapi negatif oleh masyarakatnya hingga sering menimbulkan konflik (kesenjangan) di dalam masyarakat.
Alur cerita biasanya dimulai dengan adegan pengertian rahasia yang dilakukan oleh Calon Arang (Randeng Girah) yang membuat banyak rakyat, terutama di daerah pinggiran, sekarang ia menolong menguburkan mayat, besoknya ia sendiri mati. Akibatnya para mentri, patih meminta pertolongan caturbuja, yaitu sebuah upacara untuk menanggulangi bencana, yakni dengan menjalankan praktik-praktik darma.
Akhirnya diketahui penyebab penyakit, yakni Rangdeng Dirah dan murid-muridnya menari di kuburan. Akibatnya, negeri menjadi panas, sakit, dan gering. Setelah jelas diketahui penyebab penyakit, maka Mpu Bahula melamar Ratna Mangali putri Calon Arang. Permintaan itu dipenuhi, sehingga usaha Mpu Bahula berhasil mendapatkan lepiakara (ilmu utama) yang dimiliki Calon Arang kemudian menyerahkan kepada Mpu Baradah.
Calon Arang meminta supaya diruwat, tetapi Mpu Baradah menolaknya. Selanjutnya terjadilah perang rahasia dengan ucapan-ucapan suci (mantra) Om dasaksara, bayu, sabda, idep. Calon Arang mati, tetapi dihidupkan kembali (pengurip-urip, sang Hyang Kaja Premana ring sariranta). Calon Arang diruwat dan akhirnya mencapai moksah. Hal ini yang menyebabkan wayang Calon Arang digunakan untuk ruwatan.

Calon Arang dalam Seni Lukis
Dalam hal ini ada sejumlah lukisan yang mengambil tema dari teks Calon Arang. Hal itu dapat diketahui dari koleksi lukisan Museum Klasik I Nyoman Gunarsa di Klungkung, Bali. Museum ini yang mengoleksi beberapa lukisan klasik Bali mulai dari zaman Klungkung/Gelgel sampai masa kini.
Lukisan lain berjudul Calon Arang dan Sisyanya sedang menari di kuburan. Beberapa lukisan klasik yang bertemakan Calon Arang (termasuk episode Calon Arang) dikoleksi Museum Klasik I Nyoman Gunarsa.
Lukisan berjudul Calon Arang karya Walter Spies (1932) merupakan koleksi yang sampai saat ini disimpan di Museum Asma, Ubud. Beberapa lukisan lain yang dibuat pelukis Bali Modern seperti lukisan berjudul rangda, dan sejumlah karya magis yang dibuat oleh pelukis Bali di antaranya Ngurah T.Y.

Calon Arang dalam Pementasan Barong-Rangda
Pementasan/pertunjukan barong-rangda ada yang asli seperti pementasan due pura yang dilakukan pada setiap hari odalan (hari suci) di pura tersebut. Dalam hal ini ada sejumlah pertunjukan barong-rangda sebagai simbol kebaikan dan keburukan yang mengambil inti sari lakon Calon Arang. Pertunjukan barong-rangda dipentaskan di Batubulan, Puri Ubud, beberapa tempat lain seperti berjudul Barong Dance sebagai pertunjukan wisata (balih-balihan). Dalam kairan ini adalah Barong simbol Mpu Baradah (simbol kebenaran/kebaikan/dharma) dan rangda simbol Calon Arang (keburukan/angkara murka/adharma).

Calon Arang dalam Drama Modern
Pertunjukan Calon Arang dalam drama modern pernah dipentaskan oleh kelompok seni (sanggar) yang dimainkan oleh Cok Sawitri dkk. ketika dilakukan Festival Seni Pertunjukkan Nasional di Taman Tirta Gangga Karangasem sekitar tahun 2002 yang lalu. Lakon yang mengambil tema betapa kuatnya laki-laki menghegemoni kaum perempuan, sampai-sampai tidak ada pembelaan terhadap dirinya. Dalam hal ini wanita terpinggirkan citranya akibat kekuatan patriarkhi. Wanita yang ditokohkan oleh Calon Arang dari Girah hampir tidak dapat membela diri, baik secara budaya dan hukum, apalagi di bawah bayangan kekuasan Raja Erlangga yang tersohor itu. Sehubungan dengan hal ini sebutan Calon Arang adalah Rangdeng Dirah dan Walu Nateng Dirah.

Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Tradisi Calon Arang di Bali berkembang dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Bali, terutama lewat teks tulis, tradisi lisan, lakon seni pewayangan (wayang kulit Calon Arang), lewat seni lukis klasik dan modern, dramatari Calon Arang (pertunjukkan sakral dan pertunjukan wisata barong-rangda), dan satua-satua yang magis (tenget).
2) Hubungan antara tradisi itu bertumpang tindih, saling melengkapi, serta menyatu dalam payung budaya dan tradisi masyarakat Bali yang religius, terutama karena adanya pemahaman terhadap nilai hakiki Calon Arang. Nilai itu, seperti : kalepasan, rwa-bineda, ruwat, darma, dan jalan menuju kematian.


Dokumen Foto (1)

Yudhi Kamaluddin saat menenggung
dalam acara Festival Pantun Nusantara
di Gedung Kesenian Jakarta